Senin, 11 April 2016

PESONA TAYUB DI DESA RAMBAT



Desa mawa cara, negara mawa tata; ungkapan yang sering kita gunakan untuk menggambarkan adat kebiasaan yang ada di suatu daerah yang tak dijumpai di daerah lain. Seperti halnya kesenian tayub yang kita jumpai di desa Rambat. Budaya adi luhung yang masih dilestarikan di zaman modern ini.

Acara hajat baik itu pernikahan, khitanan, kelahiran anak, kekahan, ruwatan, maupun hajat yang lain di desa Rambat hampir selalu diramaikan dengan kesenian tayub. Mengapa warga Rambat gemar nanggap tayub? Mungkin karena kesenian rakyat itu menarik dan dapat diterima oleh semua golongan masyarakat baik kalangan tua, muda dari status sosial yang berbeda-beda. Biayanya pun cukup terjangkau bagi yang punya hajat dari kalangan ekonomi menengah ke atas di desa Rambat. Selain itu kecantikan penari plus suaranya yang indah merupakan daya tarik yang cukup menyedot perhatian hadirin. Bagi yang lebih mampu biasanya nanggap campur sari pada siang hari dan tayub atau wayang kulit pada malam harinya.
Hiburan rakyat yang berupa tarian diiringi gending Jawa ini disuguhkan mulai pukul 21.00 hingga pagi atau dini hari hari untuk menghibur para tamu. Penampilan tayub ini terdiri dari penari (ledhek) yang sekaligus melantunkan tembang-tembang sesuai permintaan tamu undangan; dan pengiring yang memainkan seperangkat alat gamelan. Jadi tayub selalu ditampilkan live (siaran langsung).
Biasanya penari didatangkan dari daerah Toroh, Wirosari, Sumberlawang Sragen maupun daerah sekitarnya ke Rambat. Jumlah penari sesuai permintaan pihak yang punya kerja, bisa 2 atau 3 orang. Bahkan pada pesta pernikahan Sekdes Rambat 13 Juni 2004, beliau sampai nanggap 9 orang penari dengan harga tanggapan Rp. 2.000.000,-. Harga itu pun bervariasi tergantung jam terbang sang penari yang ditanggap. Sedangkan grup gamelan disewakan tersendiri. Meskipun tidak dari satu grup, namun permainan antara penari/penembang dan iringan musiknya terjadi harmonis, selaras dan pas sehingga cukup memanjakan indera pendengaran dan penglihatan kita, apalagi kalau penarinya  senior tetapi masih cukup muda.
Menurut keterangan warga, tradisi nanggap tayub ini sudah berlangsung sejak dulu dan sampai kini masih menjadi pilihan utama jenis hiburan di acara-acara hajatan. Namun ternyata lain dulu lain sekarang. Ketika ditanya apa bedanya tayub dahulu dan sekarang di desa Rambat, seorang warga menjawab :“Wah, tayub sekarang lebih baik, lebih santun, ledheknya berpakaian cukup tertutup”. Selain itu ada aturan-aturan yang melindungi kehormatan sang penari (ledhek) seperti : tamu yang menari harus menjaga jarak dengan ledhek, tidak boleh menyentuh atau berlaku tak sopan kepada ledhek. “Kalau dulu, ledheknya cuma pakai kemben, tidak pakai baju, lalu tamu yang menari boleh berlaku semaunya pada ledhek di atas panggung.
Urutan siapa-siapa yang menari bersama ledhek juga diatur oleh seorang yang disebut pengarih yang bertanggung jawab mengatur pembagian sampur (selendang untuk menari) kepada orang yang akan menari. Tayub dibuka dengan alunan gending Jawa selama beberapa saat. Sang penari mulai menempatkan diri di panggung dan memainkan beksan (tarian) Gambyong Pareanom sebagai beksan pembuka. Usai gambyong pareanom, pengarih membacakan daftar urutan para tamu dan kerabat yang dikelompok-kelompokkan tersendiri untuk tampil di atas panggung.
Urutan pertama yang dipersilakan menari bersama ledhek adalah keluarga yang punya hajat. Satu atau dua tembang mengalun di sela tarian mereka hingga usai. Kemudian urutan ke 2 adalah orang-orang yang disegani yaitu dari kalangan sesepuh desa, mantan perangkat desa kemudian perangkat desa yang sedang menjabat serta tamu undangan dari desa lain.
Biasanya sekelompok tamu dan kerabat yang naik panggung berjumlah 6 - 8 orang mengelilingi sang penari. Pada pertengahan tembang mereka beralih posisi dengan penari tetap di tengah. Kesempatan berikutnya barulah untuk kaum muda. Oleh karena sekelompok dapat terdiri dari puluhan orang, maka satu kelompok dibagi lagi urutannya. Sebelum atau sesudah menari biasanya tamu di panggung memberikan uang saweran kepada penari. Besarnya bervariasi, antara ribuan sampai puluhan ribu rupiah per orang. Bahkan ada yang tak keberatan menghabiskan ratusan ribu rupiah dalam semalam untuk menikmati tarian ini. Kadang saking antusiasnya sekelompok yang tampil meminta 2 - 3 tembang  dalam satu penampilan. Itulah yang menyebabkan acara ini memerlukan waktu yang lama hingga pagi atau dini hari.
Sayangnya tayub selama ini masih menjadi kesenian tradisional yang terutama dinikmati oleh kaum lelaki mungkin karena penarinya perempuan. Sedangkan kaum perempuan hanya menyaksikan tarian dan tembangnya di luar panggung. Namun pesona tayub tetap menarik bagi kaum lelaki maupun perempuan, terbukti banyak pula kaum ibu yang menyaksikan di tengah keramaian penonton.
Tayub, tradisi luhur yang sebenarnya merupakan kekayaan khasanah budaya Jawa dan Nasional hendaknya tetap diuri-uri. Namun dahulu tradisi ini pernah mendapat penilaian buruk karena ada beberapa pihak yang memanfaatkannya sebagai semacam prostitusi terselubung baik dari penikmatnya maupun dari penarinya. Tak jarang terjadi keonaran atau perkelahian karena pengaruh minuman yang memabukkan. Hingga tradisi ini pernah berhenti sesaat.
Namun sekarang dan khususnya di desa Rambat, masyarakat sepakat mengembalikan citra baik tayub sebagai seni budaya nan adi luhung dan dicintai masyarakat dengan penerimaan penuh hormat dan santun kepada sang penari maupun semua pihak yang mendukung lestarinya budaya ini.


Eunike
di tahun 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar