Senin, 11 April 2016

Koinonia Prayers before meal



taken from Koinonia

1
For health and strength
And daily food
We praise your name
Oh, Lord
(2x)

2
Morning has come the table’s spread
Thanks be to God
Who gives us bread
Praise God for bread!

3
Bless our friends, bless our home,
Come, oh Lord and be with us
May our heart grow with peace
Bring your love to surround us
Friendship and peace
May they bloom and grow
Bloom and grow forever
Bless our friends, bless our food
Bless our friendship forever

4
Hibi no kate o
Atae tamou
Megumi no mikami wa
Homu beki kana
Amen

5
Arigatou,
Subarashi megumi o,
Arigatou,
Tokoshie no inochi o,
Itsumo tomo ni,
Ite kudasaru
Subarashi…Iesu…sama







6
Oh, the Lord is good to me
And so I thank the Lord
For giving me the things I need
The sun and the rain and the apple seed
The Lord is good to me
Amen, Amen
Amen, Amen, Amen
Amen

7
God has created a new day
Silver and green and gold
Live that the sunset may find us
Worth God’s gift to hold

8
Ame tsuci kozorite
Kashikomi tataeyo
Mimegumi afururu
Chichi miko mitama o
Amen

9
For sun and rain
For grass and grain
For all who toil
On sea and soil
That we may eat
This daily food
We give our loving
Thanks, dear God
(2x)

10
Praise God from whom all blessing flow
Praise God all creatures here below
Praise God above ye heavenly hosts
Creator, Christ and Holy Ghost
Amen




FOOD SECURITY/ FOOD SOVEREIGNTY IN VILLAGES




As a food security program officer I found a key to start food sovereignty in the villages. There are insurance for goods such as cars, buildings, and other valuables and even for our soul. But there is no insurance for the agricultural activities carried out by the villagers. Yet, they have always proven to get past all these high risk. They are the heroes of food security, but those who bear the greatest risk of hunger. Rural areas collectively are the provider of food for the world. We will practice self-sufficiency. At least 60% of our food needs can be met from the fields that we managed together then we can increase to be wider time to time until we reach food sufficiency fully.
We can manage our activity which is where we work on the management of crop & vegetables, livestock and the kitchen. When we are divided into different groups, we will we have diverse management of crop production and different schedule of planting and harvesting produce.  But we worked together, collecting all for everybody in our community. Through this type of  diverse management of the fields, if there was no harvest from one field because it was attacked by pests or other causes, we still had harvest from other fields. This cycle will show us how farmer's communityy are the most dependable group who manifest food sovereignty, even though there is no insurance for their farming activities.
For apply that practice above I found a key, that is iindependent learning.  In this one person could not depend on others to do things for them, but we lived together with a responsibility of interdependency. This was in the field, livestock, kitchen and many other activities will open our eyes about what in reality a community should be. We also should give thanks to God for the harvest every year by Harvest Thanksgiving Celebration.
As rural leaders in Indonesia, we can learn a very good way to lead our community, that is through servant leadership. We did not only watch movies and discuss about leaders and their movements in the world such as Mahatma Gandhi, Mother Teresa, Nelson Mandela, Martin Luther King but we also can learn how to apply it in our community. When we experience real servant leadership then all of those activities will change our minds as a grass root leaders. We can start from ourselves in our family or community. We can make our planning, managing and continue to increase our capability for serving rural people.

Salatiga, 25 Agustus 2015
Eunike Widhi Wardhani

Cinderela


Semalam aku diskusi dengan seorang teman tentang cerita cinderela.
Cerita klasik yang sebenarnya terus terjadi dalam berbagai bentuk dan berbagai kasus di masa kini.
Sang ibu tiri pasti akan memanjakan dan melindungi anak-anaknya, tidak perlu capek mengerjakan pekerjaan rumah tangga,  minum dan makan enak, semua serba mudah. Kalau ada undangan penting anak-anak itu yang disuruh menghadiri, karena akan bertemu sang pangeran (yang berarti keuntungan financial, nama baik, fasilitas, kemudahan, dll). Sementara itu semua pekerjaan berat harus dikerjakan oleh Cinderela seorang diri, makanpun jatahnya kurang dari saudaranya yang lain (haknya tidak diberikan sesuai yang seharusnya) dan kalau ada undangan “menggiurkan”, Cinderela dilarang ikut. Karena akan mengacaukan rencana ibu tiri dan anak-anaknya. Tak jarang kepada siapapun tamu yang menanyakan tentang Cinderela, sang ibu tiri berkata: “Ah, dia itu cuma pembantu, tidak perlu diajak ngobrol dengan kita, dia juga pembantu yang pemalas kok, pekerjaannya tidak pernah beres, kemarin saja mecahin gelas 2, hari ini lantai sudah kotor begini belum disapu, kami semua sudah lapar dia belum juga memasak sesuatu untuk kami makan, memang dia tidak berguna, jangan hiraukan dia”.
Di posisi manakah kita?
Apakah kita di posisi Cinderela?
Apakah kita seperti ibu tiri?
Ataukah kita seperti saudara-saudaranya Cinderela?
Tapi alam sudah mengaturnya, bahwa Sang Pangeran tetap menemukan Cinderela.


Eunike Brahmantyo



PESONA TAYUB DI DESA RAMBAT



Desa mawa cara, negara mawa tata; ungkapan yang sering kita gunakan untuk menggambarkan adat kebiasaan yang ada di suatu daerah yang tak dijumpai di daerah lain. Seperti halnya kesenian tayub yang kita jumpai di desa Rambat. Budaya adi luhung yang masih dilestarikan di zaman modern ini.

Acara hajat baik itu pernikahan, khitanan, kelahiran anak, kekahan, ruwatan, maupun hajat yang lain di desa Rambat hampir selalu diramaikan dengan kesenian tayub. Mengapa warga Rambat gemar nanggap tayub? Mungkin karena kesenian rakyat itu menarik dan dapat diterima oleh semua golongan masyarakat baik kalangan tua, muda dari status sosial yang berbeda-beda. Biayanya pun cukup terjangkau bagi yang punya hajat dari kalangan ekonomi menengah ke atas di desa Rambat. Selain itu kecantikan penari plus suaranya yang indah merupakan daya tarik yang cukup menyedot perhatian hadirin. Bagi yang lebih mampu biasanya nanggap campur sari pada siang hari dan tayub atau wayang kulit pada malam harinya.
Hiburan rakyat yang berupa tarian diiringi gending Jawa ini disuguhkan mulai pukul 21.00 hingga pagi atau dini hari hari untuk menghibur para tamu. Penampilan tayub ini terdiri dari penari (ledhek) yang sekaligus melantunkan tembang-tembang sesuai permintaan tamu undangan; dan pengiring yang memainkan seperangkat alat gamelan. Jadi tayub selalu ditampilkan live (siaran langsung).
Biasanya penari didatangkan dari daerah Toroh, Wirosari, Sumberlawang Sragen maupun daerah sekitarnya ke Rambat. Jumlah penari sesuai permintaan pihak yang punya kerja, bisa 2 atau 3 orang. Bahkan pada pesta pernikahan Sekdes Rambat 13 Juni 2004, beliau sampai nanggap 9 orang penari dengan harga tanggapan Rp. 2.000.000,-. Harga itu pun bervariasi tergantung jam terbang sang penari yang ditanggap. Sedangkan grup gamelan disewakan tersendiri. Meskipun tidak dari satu grup, namun permainan antara penari/penembang dan iringan musiknya terjadi harmonis, selaras dan pas sehingga cukup memanjakan indera pendengaran dan penglihatan kita, apalagi kalau penarinya  senior tetapi masih cukup muda.
Menurut keterangan warga, tradisi nanggap tayub ini sudah berlangsung sejak dulu dan sampai kini masih menjadi pilihan utama jenis hiburan di acara-acara hajatan. Namun ternyata lain dulu lain sekarang. Ketika ditanya apa bedanya tayub dahulu dan sekarang di desa Rambat, seorang warga menjawab :“Wah, tayub sekarang lebih baik, lebih santun, ledheknya berpakaian cukup tertutup”. Selain itu ada aturan-aturan yang melindungi kehormatan sang penari (ledhek) seperti : tamu yang menari harus menjaga jarak dengan ledhek, tidak boleh menyentuh atau berlaku tak sopan kepada ledhek. “Kalau dulu, ledheknya cuma pakai kemben, tidak pakai baju, lalu tamu yang menari boleh berlaku semaunya pada ledhek di atas panggung.
Urutan siapa-siapa yang menari bersama ledhek juga diatur oleh seorang yang disebut pengarih yang bertanggung jawab mengatur pembagian sampur (selendang untuk menari) kepada orang yang akan menari. Tayub dibuka dengan alunan gending Jawa selama beberapa saat. Sang penari mulai menempatkan diri di panggung dan memainkan beksan (tarian) Gambyong Pareanom sebagai beksan pembuka. Usai gambyong pareanom, pengarih membacakan daftar urutan para tamu dan kerabat yang dikelompok-kelompokkan tersendiri untuk tampil di atas panggung.
Urutan pertama yang dipersilakan menari bersama ledhek adalah keluarga yang punya hajat. Satu atau dua tembang mengalun di sela tarian mereka hingga usai. Kemudian urutan ke 2 adalah orang-orang yang disegani yaitu dari kalangan sesepuh desa, mantan perangkat desa kemudian perangkat desa yang sedang menjabat serta tamu undangan dari desa lain.
Biasanya sekelompok tamu dan kerabat yang naik panggung berjumlah 6 - 8 orang mengelilingi sang penari. Pada pertengahan tembang mereka beralih posisi dengan penari tetap di tengah. Kesempatan berikutnya barulah untuk kaum muda. Oleh karena sekelompok dapat terdiri dari puluhan orang, maka satu kelompok dibagi lagi urutannya. Sebelum atau sesudah menari biasanya tamu di panggung memberikan uang saweran kepada penari. Besarnya bervariasi, antara ribuan sampai puluhan ribu rupiah per orang. Bahkan ada yang tak keberatan menghabiskan ratusan ribu rupiah dalam semalam untuk menikmati tarian ini. Kadang saking antusiasnya sekelompok yang tampil meminta 2 - 3 tembang  dalam satu penampilan. Itulah yang menyebabkan acara ini memerlukan waktu yang lama hingga pagi atau dini hari.
Sayangnya tayub selama ini masih menjadi kesenian tradisional yang terutama dinikmati oleh kaum lelaki mungkin karena penarinya perempuan. Sedangkan kaum perempuan hanya menyaksikan tarian dan tembangnya di luar panggung. Namun pesona tayub tetap menarik bagi kaum lelaki maupun perempuan, terbukti banyak pula kaum ibu yang menyaksikan di tengah keramaian penonton.
Tayub, tradisi luhur yang sebenarnya merupakan kekayaan khasanah budaya Jawa dan Nasional hendaknya tetap diuri-uri. Namun dahulu tradisi ini pernah mendapat penilaian buruk karena ada beberapa pihak yang memanfaatkannya sebagai semacam prostitusi terselubung baik dari penikmatnya maupun dari penarinya. Tak jarang terjadi keonaran atau perkelahian karena pengaruh minuman yang memabukkan. Hingga tradisi ini pernah berhenti sesaat.
Namun sekarang dan khususnya di desa Rambat, masyarakat sepakat mengembalikan citra baik tayub sebagai seni budaya nan adi luhung dan dicintai masyarakat dengan penerimaan penuh hormat dan santun kepada sang penari maupun semua pihak yang mendukung lestarinya budaya ini.


Eunike
di tahun 2004