Sabtu, 03 Maret 2012

Polemik Kedaulatan Pangan


Polemik Kedaulatan Pangan
 
Keprihatinan akan krisis pangan, energy dan air sudah dimulai puluhan tahun, bahkan krisis pangan kita sudah dimulai sejak berabad-abad yang lalu di zaman penjajahan Belanda. Dengan culture stelsel/ tanam paksa rakyat pribumi dipaksa menanam tanaman tertentu, dan tanam paksa itu telah membunuh 200.000 -300.000 nyawa rakyat pribumi Indonesia. Untuk ketahanan pangan siapa? Ketahanan pangan Belanda. Heran juga, jumlah penduduk saat itu belum sepadat sekarang, kok mati sebanyak itu ya. Bukan karena ditembak tetapi mati kelaparan. Pemilik pangan, justru mati kelaparan demi ketahanan pangan orang lain. Tetapi itulah fakta sejarah yang sungguh ironis.

Nusantara subur, zamrud kathulistiwa yang gemah ripah loh jinawi, bahkan ada yang meyakini Indonesia adalah negeri Atlantis yang hilang, negeri dengan kemakmuran, teknologi dan peradaban tinggi serta terkenal dengan kesuburan dan kejayaannya, lepas dari benar/tidaknya legenda itu, negeri kita ini jadi rebutan untuk dijarah rayah oleh negara-negara maju pada era imperium. Mulai dari pangan berkualitas, rempah-rempah sampai emas terbaik dilahirkan dari perut Ibu Pertiwi kita ini. Kita memiliki semuanya yang kualitas nomor 1 di dunia. Dan sampai saat ini penjarahan itu masih berlangsung namun dalam bentuk yang berbeda.
 
Berikut ini penguasa rantai pangan Indonesia : benih/ bibit pangan dan agrokimia dikuasai oleh Syngenta, Monsanto, Dupont dan Bayer. Pangan serat, pedagangan dan pengolahan bahan mentah dikuasai oleh Cargill, Louis Dreyfus dan ADM. Pengolahan pangan dan minuman dicengkeram oleh Nestle, Kraft Food, Unilever dan Pepsi Co. Pasar eceran pangan dikuasai Carrefour, Wal Mart, Metro dan Tesco (Sumber : Kompas, 2 Pebruari 2012).
 
Kebijakan pemerintah tentang ekspor/ impor pangan, belum pernah berpihak kepada petani. Malah sampah/ limbah diimpor, iya. 

Globalisasi pertanian memang sudah berlangsung ratusan tahun, lebih tua dari umur kita dan sudah masuk ke dalam aliran darah kita. Kita harus jujur terlebih dulu, siapapun kita sulit menghindar dari serangan produk pangan impor. Tetapi apakah kita akan membiarkan semua itu? Apa yang bisa kita lakukan sebagai gerakan?

Secara ekstrem, kita bisa stop konsumsi pangan berbahan gandum yaitu semua mi (jadi tidak hanya mi instan lho ya), roti, biscuit, sereal kemasan, buah, sayuran, beras, telur dan daging impor.
Yang menyedihkan, tempe dan tahu yang merupakan makanan rakyat Indonesia tulen, sekarang kedelainya dari impor dan transgenic. Piye jal? Kalau ekstrem, ya berhenti makan tempe dan tahu kecuali kita tahu kedelainya local dan organik. Stop konsumsi junk food. Tapi relistiskah itu sebagai gerakan? 
Sementara masih banyak fakta yang menunjukkan kita sulit lepas dari konsumsi pangan yang tanpa kita sadari itu tidak berpihak pada petani Indonesia tetapi justru berpihak pada penjajahan pangan.
Kita masak sayur masih menggunakan MSG, selain itu kita masih makan ayam sayur, telur leghorn, tempe-tahu transgenic, kerupuk yang sarat MSG dan bleng, jajanan kita juga masih roti, biscuit, kue dan mi berbahan gandum (impor), jajanan dari jagung meskipun jagung ditanam di Indonesia namun itu juga jagung hibrida yang sepaket dengan pupuk dan pestisida kimia. Susu formula juga impor. Kita masih makan semangka dan melon yang disemprot Furadan, Decis, Score dan dipupuk urea dan Phonskha. Untuk wedang manis, kita masih pakai gula impor yang pakai pemutih. Kita masih makan bakso yang mengandung borax, mi ayam (gandum impor berikut penyedapnya). Kalau mau njlimet, harus stop semua itu. Kalau mau ya konsumsi daging ayam kampung dan telur ayam kampung dari ternak piaraan sendiri, buat bakso sendiri tanpa borax. Anak-anak ke sekolah kita bekali makanan dari telo, ganyong atau kimpul.
Atau agak moderat semacam gerakan car free day, tetapi konteksnya pangan. Saat tertentu di kantor-kantor atau forum seminar disajikan makanan karbohidrat non gandum seperti i uwi, gembili, garut, kimpul, suweg, ubi jalar, kentang local, singkong dan ganyong. Tidak boleh lagi menyajikan masakan ber-MSG, ayam sayur, telur leghorn, termasuk tempe mendoan (karena ada gandumnya, kedelainya impor dan transgenik). Atau bagaimana ya.
Strategi advokasi dan suksesnya gerakan pertanian organik diharapkan bisa terwujud kalau kita mulai dari diri kita sendiri. Siapkah kita menjadikan diri kita sebagai icon organik melalui sikap dan gaya hidup kita untuk kedaulatan pangan dan harkat petani?