Selasa, 19 Februari 2013

Potensi aquatik desa Rambat



Potensi aquatic sungai Serang di desa Rambat

Potensi aquatik yang terletak di sebelah Timur desa Rambat selama ini belum cukup diperhatikan. Itulah fakta yang kita lihat, bila dibanding perairan Waduk Kedung Ombo di sisi jauh lain. Bila kita saksikan perairan yang membentang selebar + 50 m dan membasahi bibir daratan sebelah Timur Rambat akan muncul banyak harapan di benak kita, apa yang dapat kita perbuat dengan air gratis yang melimpah ini?
Sungai tersebut adalah Sungai Serang, yang merupakan aliran sungai asli sebelum proyek Waduk Kedung Ombo digarap di daerah tersebut. Warga dusun Ngendo dan Guyangan sejak dulu sudah melakukan penangkapan ikan dan udang di sungai itu.
Tulisan singkat ini akan mengulas juga tentang kawasan hutan di sebelah Barat Rambat sebelum tahun 1980-an (sebelum proyek KO diresmikan) yang topografi wilayahnya berbukit-bukit. Seperti kita ketahui dalam ekosistem yang seimbang, hutan memiliki manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia, salah satunya membantu meresapkan air ke dalam tanah sehingga air dapat disimpan untuk kemudian dikeluarkan melalui sumber-sumber air (sumur dalam, umbul, sendang) untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Namun hal itu kurang disadari oleh banyak pihak yang kemudian melakukan penebangan hutan secara liar tak terkecuali wilayah yang sekarang menjadi kawasan Waduk Kedung Ombo.
Makin berkurangnya jumlah tegakan di hutan tersebut menyebabkan berkurang pula kemampuan hutan melaksanakan fungsinya sebagai penyimpan air. Setiap hujan tiba, sungai Rambat selalu banjir karena aliran air dari hutan yang mulai gundul. Menurut cerita tokoh-tokoh masyarakat, banjir yang paling besar di wilayah itu terjadi pada tahun 1986. Sebanyak 96 KK dari dusun Rambat pindah ke Geneng dan Satreyan serta 60 KK dari Gambiran lama (dusun paling Timur dan berada di sekitar DAS lama) terpaksa mengungsi ke dusun-dusun lain di sebelah Barat yaitu Ngepungan dan Gambiran baru. Yang terakhir disebut demikian karena dusun Gambiran lama terendam air dan semua penduduknya hijrah ke tempat aman yang kemudian juga diberi nama dusun Gambiran. Demikian setiap tahun terjadi banjir di sungai itu.
Sejarah selanjutnya, proyek Kedung Ombo dilaksanakan dengan mentransmigrasikan penduduk baik dari dusun Kedungmiri yang memang digenangi dan sekarang menjadi areal kantor PLTA Mrica dan sebagian korban banjir dusun Rambat ke tempat tujuan transmigrasi di Sumatra.
Dengan adanya waduk Kedung Ombo, sungai Rambat tidak pernah banjir lagi. Dalam arti lebar sungai bertambah dibanding lebar aslinya sebelum penggenangan. Bertambah lebarnya sungai karena areal pemukiman dan persawahan milik rakyar di DAS aslinya sudah digenangi dengan sistem ganti rugi yang ditetapkan oleh pihak pelaksana proyek. Sungai itu mengalir ke arah Utara untuk memenuhi kebutuhan PLTA, irigasi, PDAM Kab. Grobogan sampai sungai Serang, berlanjut ke daerah Demak, Kudus, Pati, yang tentunya bermuara ke laut Jawa.

Pengembangan perikanan
Di dusun Rambat pernah dilakukan pengembangan bidang perikanan yang dipelopori oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah maupun Kabupaten Grobogan dalam bentuk bantuan peralatan untuk membuat Karamba model jaring. Dimulai dengan langkah sosialisasi, pembinaan, bantuan peralatan membuat karamba serta penyediaan bibit serta pakan ikan selama 1 bulan pertama, Dinas perikanan mengawali pengembangan perikanan di daerah itu. Benih ikan yang ditebar setiap 6 bulan (Januari – Juni) adalah : ikan nila, tawes, mujair. Selain itu pemerintah juga melakukan pembinaan (dilaksanakan oleh PPL bidang perikanan) selama 4 kali sebelum budidaya. Perkembangan selanjutnya tentang karamba itu ternyata gagal dan macet. Banyak factor penyebabnya antara lain : manajemen yang lemah serta terjadi pencurian ikan.
Nelayan di Ngendo dan Guyangan menyatakan kalau hasil tangkapan ikan sekarang ini makin menurun. Kalau dulu tangkapan mereka bisa mencapai 1 kuintal per hari per nelayan, kini hanya 7-10 kg per hari per nelayan. Mereka sulit memperhitungkan penghasilan dari penjualan ikan karena dapatnya pun tidak menentu. Untuk budidaya karamba lagi, banyak kendala. Selain soal manajemen, juga kondisi air yang tidak stabil, yaitu kadang surut, kadang pintu waduk dibuka, air melimpah. Analisis lain memprediksi, saat air surut suhunya menjadi tinggi dan itu tidak baik bagi kehidupan ikan.
Pemerintah melalui dinas perikanan kab. Grobogan dan provinsi Jawa Tengah telah memberikan permulaan penggarapan perairan ini dalam bentuk penebaran benih ikan air tawar. Nelayan Rambat dapat mengambil hasilnya setelah 1 tahun, ketika ikan-ikan sudah cukup besar dan sudah berkembang biak. Diharapkan masyarakat desa Rambat mendapatkan manfaat dari awal yang baik ini. Selanjutnya, masyarakat diharapkan dapat mengelola perikanan sungai atau karamba ini sebaik-baiknya.


Rambat, Juli 2004

Eunike Widhi Wardhani

Untuk siapakah kualitas diri kita persembahkan?



UNTUK SIAPAKAH KUALITAS DIRI TERBAIK KITA PERSEMBAHKAN ?
(sebuah refleksi seorang pendamping masyarakat desa)

Jika kita mendapat pertanyaan : “ Untuk apa anda hidup?”. “Siapa/ hal apa yang terpenting dalam hidupmu?”. Tentu banyak jawaban yang mudah dilontarkan. Seorang religius akan menjawab “Hidup saya untuk Tuhan”. Seorang pemikir menjawab “Hidup untuk belajar. Atau bisa muncul jawaban “Hidup untuk membahagiakan keluarga: istri/ suami, anak, orang tua. Seorang yang sedang bernasib buruk dan frustasi bisa saja menjawab : “Tidak untuk apa-apa atau siapa-siapa, tinggal mengikuti saja ke mana sang pemberi hidup membawa saya, karena saya tidak pernah minta nasib seperti ini”. Untuk siapakah kualitas diri terbaik kita persembahkan?. Pada saudara, teman, kepada Tuhan atau pada diri pribadi kita?
Sejarah dan pengalaman hidup dalam interaksi dengan berbagai kondisi biotik dan abiotik telah membentuk citra diri kita yang sekarang ini. Orang baik, orang jahat, miskin, kaya, jujur, penipu, pemaaf, pendendam, curang, dlsb; semua berpengaruh (berjasa) membentuk kepribadian kita yang sekarang ini. Apakah pribadi yang sudah terbentuk sekarang hanya berhenti sampai di sini? Ternyata tidak. Pembentukan pribadi itu berlangsung seumur hidup seiring detak jantung kita. Perubahan bisa meningkat namun bisa juga menurun tergantung kekuatan pribadi dan kekuatan dari luar pribadi kita.
Siapa yang akan menjadi pemenang dalam diri kita? Apakah pribadi kita yang kuat. Atau justru kekuatan dari luar/ pengaruh faktor luar lebih kuat mengubah pribadi kita. Tak masalah kekuatan mana yang menang, asalkan menuju kebaikan untuk sesama. Pribadi yang kuat tak tergoyahkan adalah potensi besar untuk sukses, sebaliknya bisa juga berbahaya.
Kita dibentuk oleh suatu kepentingan yang bisa datang dari pihak mana saja, kadang tanpa kita sadari saat itu. Ketika kita menemukan diri kita yang sesungguhnya, sudah terlalu berat kaki kita untuk beranjak karena berbagai belenggu yang kadang tampil sebagai kenyamanan, kemapanan, atau apapun yang membuat kita takut perubahan. Kita terjebak pada kondisi status quo.
Kalau kembali pada pertanyaan di awal tadi, “Untuk apa anda hidup? Apakah untuk selalu menjelajah, mencari dan membuat yang terbaik untuk sesama menemukan kualitas hidup terbaik atau untuk menjadi pro status quo. Kalau terbaik untuk diri kita sendiri itu bukan hal yang baru. Tetapi berbuat dan memberi diri untuk orang lain saat ini semakin langka dan mahal saja.
Tokoh-tokoh dunia masa lalu yang berhasil memberi diri untuk orang lain sebut saja : Yesus, Mahatma Gandhi, Bunda Theresa. Di Indonesia kita punya Rm. Mangun dan Munir, tokoh HAM. Mereka memilih berpihak pada orang-orang terbuang, miskin, orang yang tak punya banyak pilihan dan tertekan dengan kondisi social, politik, budaya, pendidikan dan banyak kelemahan lain.
 Miskin tak selalu berarti tak punya uang, namun juga miskin jiwa, miskin pengetahuan, miskin susila, orang yang putus asa hingga terjerumus pada kehidupan yang sesat. Tokoh-tokoh yang penuh kasih tadi mendekati dan menyahabati orang-orang seperti itu, justru bukan orang yang sudah punya segalanya. Dan hasil kerja mereka jelas yaitu perubahan. Dari takut menjadi berani. Dari putus asa menjadi berpengharapan, dari tak berbudaya menjadi berbudaya. Semua dilakukan dengan dorongan kasih sayang. Dorongan yang muncul spontan, tanpa dibuat-buat, tanpa pamrih untuk mendapat pujian atau imbalan, dari seorang yang punya kepribadian kasih yang asli.
Setiap langkah kakinya, setiap ucapannya dan apapun yang menjadi kegelisahannya tak pernah berujung kepentingannya sendiri namun kepentingan sahabat-sahabatnya yang terpuruk, tertindas dan tersiksa. Kasih asli itu yang melahirkan keberanian. Keberanian melahirkan tindakan nyata yang terus-menerus memperjuangkan hak setiap insan ciptaan Tuhan. Progressnya jelas dan asli, juga tak dapat ditutupi, tidak palsu dan tidak plin plan. Bahkan kematiannya sendiri (secara ragawi) tak mampu menghentikan semangat kasih itu. Perjuangan itu memang tiada akhirnya. Terus menantang setiap pribadi yang menyimpan sifat kasih yang asli.
Sebenarnya dalam tiap pribadi kita telah ada sifat kasih yang asli tersebut. Kasih itu kadang tersimpan, mungkin karena masih ragu untuk muncul. Atau kadang pernah muncul namun karena sendirian dan sekali terlibas tekanan, lalu menjadi surut. Tetapi hal itu tak akan berlangsung lama. Pada saatnya nanti akan muncul kembali tanpa bisa dibendung. Karena semangat kasih itu tak pernah mati.
Pribadi dengan sifat kasih yang asli tak pernah tenang menjalani hidup hanya untuk kepentingan diri sendiri. Sifat kasih yang asli itu tak pernah takut / merasa rugi berkorban diri dan mendidik keluarganya untuk berempati pada penderitaan orang lain, betapapun itu sungguh sulit dilakukan. Karena tekanan keras itu kadang justru muncul bermula dari keluarga seperti suami/ istri sendiri atau lingkungan. Berbagai kecurigaan dan tuntutan kadang menyulitkannya dan menunda untuk mengekspresikan kasih yang asli. Tergantung seberapa kuat pribadi kita. Kalau sangat kuat, maka tentangan dari pihak manapun dan siapapun akan terlewati. Namun kalau lemah, jangankan pengaruh dari luar, keplin-planan dalam diri kita sendiri bisa menjadi penghalang.
Kadang kita masuk ke suatu lingkungan yang sebelumnya tidak kita duga namun di dalamnya kita dibentuk, diberi kesempatan luas, ditunjukkan dengan berbagai ketidakadilan untuk kita sikapi dengan kasih yang asli tadi. Diri kita benar-benar diperhadapkan tepat di depan mata pada tantangan untuk mengubah ketidakadilan menjadi adil. Namun kadang kita perlu waktu lama untuk memahami itu. Kalau kita hanya masuk saja kemudian kita justru sibuk dengan diri kita sendiri, kita akan kehilangan waktu untuk belajar menggali sifat kasih asli dalam pribadi kita.
Dalam perjalanan itu kadang keinginan untuk mengekspresikan cinta kasih itu malah menjadi boomerang bagi kita. Kasih yang kita tawarkan tak jarang ditangkap dan dimanfaatkan pihak lain untuk memukul balik kita. Lalu godaan yang paling besar adalah bila kita harus memilih menjaga itu atau mencari titik aman untuk diri sendiri. Hasilnya jelas dan tegas. Kalau menjaga sifat kasih itu, berarti langkah selanjutnya akan penuh kepahitan. Kalau mencari aman, ya berakhirlah kesempatan untuk menggali sifat kasih yang asli.
Namun kepahitan yang nampaknya sangat pahit sekalipun, bagi seorang pribadi yang kuat dapat menjadi manis. Itu bukan bualan kosong. Karena sebenarnya pahit/manis adalah sebuah proses singkat. Sedangkan bagian terpenting dari rasa itu adalah justru pada sikap kita sendiri. Sikap kita dapat mengubah sesuatu yang pahit menjadi manis. Karena kekuasaan kita berada di atas rasa itu, dan bukan rasa itu yang boleh menguasai kita. Artinya kepahitan itu biasa, kadang bisa melemahkan untuk sementara. Namun jangan biarkan menjadi luar biasa dan mengendalikan kita.
Keberadaan kita di suatu tempat adalah hasil peran banyak pihak, baik kita sadari maupun yang tidak kita sadari. Pertemuan kita dengan tempat dan orang baru pun bukan sekedar sebuah kebetulan. Semua itu dibuat oleh orang-orang dan kita sendiri. Semua itu patut disyukuri.
Dalam perjalanan pelayanan kita kepada masyarakat kita bertemu dengan penindasan, kekerasan dan ketidakadilan meski kadang itu tertutup, terbungkus rapi dengan selimut ketidakberdayaan, rendahnya pengetahuan dan pengalaman masyarakat, serta pertolongan semu yang justru semakin memerosokkan masyarakat pada lumpur yang lebih dalam. Lumpur kemiskinan. Kita begitu dekat dengan kemiskinan itu. Bahkan kadang kemiskinan itu adalah kita sendiri.
Kita punya banyak teori tentang kemiskinan. Kita pun telah lama berada dalam lingkaran kemiskinan itu namun, teori-teori itu tetap saja tak mampu untuk benar-benar menolong dan hasilnya tak pernah jelas. Selalu kabur, tak terukur dan kita enggan untuk masuk lebih jauh ke dalam jantung kemiskinan itu. Kita sering hanya berdiri di pinggiran saja, mengamati dari jauh, sehingga tak tampak jelas. Karena kondisi asli memang selalu tersembunyi. Kondisi yang membutuhkan peran kita untuk ikut menguraikannya. Sedangkan yang tampak jelas adalah hal-hal baik yang beres-beres, tanpa pengamatan yang seksama kondisi itu tampak oke-oke saja, tak mengundang pertanyaan.
Ketika kita datang di pinggiran saja dan membawa sekeranjang kasih yang berujud “pertolongan” kitapun merasa telah banyak berbuat. Lebih parah lagi kita merasa sudah sangat berjasa. Kadang pekerjaan itu membuat kita lelah, energi dan pikiran kita terkuras namun kita tak lebih hanya lewat saat itu dan tak ada jiwa yang menghidupkan “saat itu”. Ketika kita berlalu, tetap saja, tak ada perubahan. Kita hanya berlatih saja dan tak pernah terampil, mungkin karena tidak berani menggunakan perangkatnya ketika latihan untuk membiasakan diri di medan perang.
Apa yang utama kita cari sebenarnya? Hanya keberhasilan teknis menjalankan proyek, menyenangkan lembaga donor, atau keberpihakan pada masyarakat? Atau memikirkan diri sendiri? Atau sebenarnya kita sedang menjadikan masyarakat sebagai obyek dan kitalah pemainnya? Atau bagaimana? Mungkin sulit menjawabnya karena kadang kita terpaksa/ terjebak pada salah satu atau beberapa kondisi di atas dalam waktu yang bersamaan karena berbagai tekanan. Maka tak ada kelirunya kalau sekarang kita menganalisa diri : siapakah diri kita yang sesungguhnya.
Akankah selamanya kita puas hanya menjadi agen pembangunan, penyalur dana proyek dari lembaga donor hanya agar itu berjalan terus, tanpa peduli bagaimana perasaan/ apa kebutuhan masyarakat, pokoknya dibabat saja? Akankah mata hati kita tutup rapat-rapat dari pandangan relung terdalam sebuah realita? Ataukah kita mengelak dari kecenderungan itu dan tetap menganggap diri kita sudah memberdayakan masyarakat?
Dunia pemberdayaan masyarakat memang aneh. Kaya pengalaman nyata yang sangat variatif, mendidik dan tak selalu dapat diungkapkan dengan kata-kata. Kadang dianggap seperti malaikat, membantu tanpa pamrih, dsb. Tapi benarkah demikian?  Benarkah kita bukan seorang otoriter? Benarkah kita merangkum aspirasi masyarakat? Ataukah sebaliknya kita seorang otoriter yang berbaju ORNOP? Apakah kita hanya tampak seperti pelayan masyarakat namun sebenarnya kita seorang pembabat aspirasi masyarakat? Apakah hanya aspirasi kita sendiri yang terpenting untuk dilakukan. Hanya keinginan kita sendiri yang kita bebankan di pundak masyarakat. Apakah kita hanya ingin menikmati dan puas melihat orang lain menuruti kehendak kita sendiri tanpa mengerti tentang itu? Jawabnya ada dalam pribadi masing-masing kita. Sedalam apa kita menghayati: untuk siapakah kualitas diri terbaik kita persembahkan?


Salatiga, 16 Maret 2006

Eunike Widhi Wardhani
Tulisan dimulai awal Maret 2006.

Kemiskinan, pendidikan dan kesehatan



BERDAMAI DENGAN KEMISKINAN?
OKE.
YANG PENTING SEHAT DAN BISA SEKOLAH

Dari waktu ke waktu, kemiskinan merupakan fenomena yang sangat mudah ditemukan di negara kita. Karena begitu kompleks dan dinamisnya kemiskinan itu, hingga kita masuk ke dalam lingkaran tak berujung. 
Tetapi apakah kita akan mewariskan kemiskinan itu kepada anak cucu sampai-sampai kesehatan dan pendidkan saja tidak mereka dapatkan?

Tak ada formula yang paling tepat untuk mengatasi permasalahan yang satu ini. Entah bagaimana awalnya hingga kemiskinan itu selalu muncul dan terjaga. Karena tak jarang kita justru telah sekian lama menjadi bagian di dalamnya (kemiskinan) dan sulit keluar. Begitu mudahnya kemiskinan itu ditemukan dan kategori tentang kemiskinan itu selalu berkembang. Saking banyaknya pemikir-pemikir maka orang-orang mempunyai definisi yang berbeda-beda tentang kemiskinan. Jangan-jangan kemiskinan itu sengaja diciptakan dan dibuat dinamis saja (?).
Siapa aktor di balik semua itu? ”Siapa” itu bisa orang, bisa sesuatu yang berkuasa/ pengaruhnya sangat kuat di luar kita dan sulit dikendalikan. Belum lagi banyak bencana alam yang silih berganti menambah jumlah kemiskinan. Yang paling memprihatinkan, adalah jika kemiskinan sampai menjauhkan anak-anak kita dari haknya untuk mendapatkan kesehatan dan pendidikan yang baik. Padahal UUD 1945 hasil amandemen pasal 28H dan pasal 31 dengan jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan mendapatkan pendidikan. Siapa yang akan bertanggung jawab?



Kemiskinan, kesehatan dan pendidikan
Sudharto dan Frieda (1984) memaparkan bahwa hakekat kemiskinan adalah kekurangan materi pada segolongan orang dibanding standar kehidupan yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Aspek sosial dan ekonomi berkaitan erat dengan kemiskinan itu. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung berpengaruh terhadap aspek kehidupan lain seperti keadaan kesehatan, pendidikan, kehidupan moral, rasa harga diri, dsb.
Kota merupakan pusat pemerintahan, teknologi, ilmu dan peradaban. Sedangkan desa merupakan pensuplai bahan pangan dan tenaga kerja. Perbedaan itu membedakan pula standar kemiskinan antara di kota dengan standar kemiskinan di desa. Orang yang berstatus miskin di kota, belum tentu miskin di desa atau sebaliknya. Misalnya batas kemiskinan di desa A adalah makan 2 kali sehari berupa nasi dan sayur (tanpa lauk), sedangkan di kota B adalah makan 3 kali sehari berupa nasi, sayur dan lauk. Usaha keras masyarakat miskin desa masih pada pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari. Lebih dari itu adalah impian yang sulit terwujud. Sedangkan masyarakat miskin di kota mengejar pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari namun dengan tuntutan yang lebih kompleks sesuai kondisi sosial masyarakat sekitarnya.
Artinya tingkat kemiskinan tidak dapat diukur dari konsumsi makan saja tanpa mempertimbangkan aspek sosial yang lebih luas seperti pendidikan, kesehatan, kebudayaan, persamaan hak untuk mengembangkan diri, tidak terisolasi/ terkucil dan dapat mengakses pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Kesehatan dan pendidikan dasar di negara kita ternyata belum dapat dinikmati secara layak oleh semua lapisan masyarakat. Kasus balita gizi buruk, penyakit akibat kekungan gizi yang fatal dan siswa putus sekolah sangat mudah dijumpai di kota maupun desa dengan berbagai penyebab.
Banyak masyarakat desa yang masih mempertahankan anggapan bahwa ”Wong wadon, sekolah dhuwur ora wurung mung tekan dapur, sumur lan kasur” atau ”Wong wadon ora perlu sekolah dhuwur-dhuwur, sing penting iso macak, masak lan manak (artinya kira-kira : Perempuan sekolah tinggi-tinggi hanya sampai dapur-memasak, sumur-mencuci dan kasur-melayani suami” atau ”Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi yang penting bisa memasak, berdandan dan menghasilkan keturunan”). Anggapan ini secara langsung mendukung terjaganya kemiskinan pendidikan bagi perempuan desa. Meskipun orang tua memiliki cukup biaya, namun hanya anak laki-laki yang disekolahkan setinggi-tingginya. Anak perempuan cukup sampai SLTP atau SLTA. Hal itu dipersubur dengan anggapan kalau anak gadis sudah berumur sekitar 18 tahun tetapi belum ada yang meminang, maka dicap sebagai perawan tua. Seolah pendidikan menjadi penghalang bagi perempuan desa untuk menjalani kehidupan berumah tangga. Memang ada yang menikah dan merawat anak seraya melanjutkan pendidikan tinggi sampai selesai, namun jumlahnya sangat kecil karena memerlukan dukungan moral, tenaga dan biaya yang cukup tinggi dari keluarga.
Kemiskinan memang berkait erat dengan kesehatan (lingkungan dan kecukupan gizi) dan pendidikan. Karena kedua hal itu merupakan standar paling mendasar dan mencerminkan peran dan tanggung jawab banyak pihak (masyarakat, ornop dan pemerintah) dan kedua aspek tersebut hendaknya diberlakukan sama, baik di kota maupun desa dalam menentukan tingkat kemiskinan. Artinya kalau di kota seseorang harus memperoleh standar sehat jasmani dan rohani serta mengenyam pendidikan serendah-rendahnya SLTA, maka di desa standarnya harus sama seperti itu.
Kalau hanya segolongan orang (misal : kaum laki-laki) saja yang menikmati pendidikan, lha perempuan bagaimana? Perlu keberanian untuk keluar dari paradigma yang menyesatkan itu. Terlebih lagi semua orang hendaknya memiliki tekad, niat dan upaya nyata bahwa setiap bayi yang terlahir saat ini, kelak harus mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang setinggi-tingginya. Sehingga kalaupun kemiskinan itu tetap ada di masa depan, maka mereka tetap memiliki kesehatan dan pendidikan yang baik.
Anak-anak kita mungkin belum mendapatkan fasilitas-fasilitas kesejahteraan seperti di negara-negara maju. Tetapi paling tidak mereka jangan sampai kehilangan kedua hal terpenting itu. Kesehatan dan pendidikan adalah hak setiap anak Indonesia. Dengan pendidikan dan kesehatan yang baik, mereka dapat menikmati hidup.
Namun kita tak boleh terjebak pada prinsip bahwa pendidikan yang baik itu hanya pendidikan formal dan harus mahal. Jangan pula tersesat pada anggapan bahwa anak yang berhasil dalam pendidikan adalah yang setelah lulus sekolah, mendapat pekerjaan dengan penghasilan berlimpah dan menjadi orang kaya. Kesuksesan dalam pendidikan tidak selalu ditandai dengan kekayaan materi. Pengertiannya bagaimana ? Kita memiliki persepsi sendiri-sendiri sehingga standarnya pun akan berbeda-beda dalam menilai sebuah kesuksesan.

Peran pemerintah ?
Selama ini telah cukupkah peran beberapa pihak terkait terhadap upaya pengentasan kemiskinan? Yang jelas pihak BPS, Bapeda atau lembaga-lembaga pemerintah terkait telah menyusun kriteria dan menawarkan banyak solusi pengentasan kemiskinan. Namun tidak pernah sinkron dengan kebijakan-kebijakan dan regulasi pemerintah. Contohnya peminggiran kaum perempuan masih saja terjadi seperti terbitnya UUPP (Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi) yang di dalamnya mendiskreditkan kaum perempuan,
Pembedaan pemberlakuan pajak penghasilan bagi karyawan perempuan dengan laki-laki dengan asumsi bahwa perempuan adalah pencari nafkah kedua, tanpa penelitian awal dan pembuktian asumsi tersebut juga menjadi salah satu ketidaksinkronan aturan dengan upaya pengentasan kemiskinan. Bagaimana jika kesempatan bekerja dan memperoleh penghasilan justru pada istri seorang diri, sedangkan suami kebetulan tidak mendapat kesempatan bekerja dan memperoleh penghasilan? Atas nama nilai-nilai budaya yang ditelan mentah-mentah, kadang kita justru melakukan pemiskinan masyarakat? Miskin tidak melulu berarti tak punya uang, namun miskin pengetahuan, hak, kesempatan untuk mengembangkan diri, dlsb
Masih dalam hal perpajakan yang tidak sinkron dengan upaya pengentasan kemiskinan, adalah pengenaan pajak terhadap banyak barang dan jasa. Barang-barang yang kita beli di toko telah dikenai pajak, bahkan rumah makan pun membebankan pajak pada pembelinya. Seharusnya hanya barang-barang tertentu saja yang dikenai pajak, tidak semua kena pajak. Tetapi jerih payah dan ketertiban masyarakat membayar pajak itu sering tidak diimbangi dengan pelayanan publik yang baik sehingga masyarakat apalagi yang miskin tak pernah kebagian pelayanan apalagi dibantu dalam pengentasan kemiskinan. Justru mereka telah menyumbangkan banyak uangnya kepada pemerintah tetapi paling minim memperoleh kesempatan mengakses pelayanan publik.
Pasal 28 dan 31 UUD 1945 menjadi acuan peran pemerintah untuk memperhatikan dan mengusahakan terpenuhinya kebutuhan kesehatan dan pendidikan warganya. Masyarakat miskinlah yang harus didahulukan dalam memperoleh pelayanan tersebut.

Miskin tetapi sukses?
Orang yang berhasil di bidangnya pasti dalam hidupnya melalui banyak tahap pendidikan. Pendidikan itu dapat saja datang dari sekolah formal, falsafah hidup yang diajarkan, pembelajaran dan pengalaman hidup yang serta bergaul dengan orang-orang sukses. Seluruh tahapan pendidikan tersebut tentunya perlu didukung dengan kesehatan yang baik pula.
Di sisi lain penting sekali dilakukan perubahan pola pikir yang ”memiskinkan diri/ menganggap diri miskin” menjadi pola pikir yang ”tidak memiskinkan diri” dalam masyarakat. Namun perlu juga kita buat paradigma yang tidak membuat orang takut miskin. Tidak perlu minder kalau dikatagorikan miskin secara ekonomi. Kita berupaya menumbuhkan rasa pede dalam masyarakat miskin, lama-lama kemiskinan tidak lagi jadi soal asal anak-anaknya sehat dan mendapat pendidikan sebagai bekal di masa depan. Lalu siapa yang akan mewujudkan itu? Tentunya lembaga yang konsen di bidang pengentasan kemiskinan, pemerintah dan masyarakat harus memiliki niat, semangat dan kekompakan untuk bersama mewujudkannya mulai di aras lokal.
Maka, sebagai masyarakat yang memperhatikan kesehatan dan pendidikan anak cucu, meski solusi untuk kemiskinan belum kunjung ada yang ampuh, maka setidaknya sekarang kita berdamai dengan kemiskinan itu seraya menyiapkan mereka menjadi pemimpin masa depan dengan memenuhi hak-hak mereka yaitu kesehatan dan pendidikan yang baik.


ditulis di Salatiga, 4 April 2007


Eunike Widhi Wardhani