Rabu, 13 Februari 2013

Kedaulatan pangan bersama atau individu



Kedaulatan pangan, bersama atau individualis?

 “Mengapa harus mencuri, wong minta saja diberi? Mengapa harus lari saat dikejar, karena semakin kita berlari kita tidak pernah bisa berhenti. Kalau tidak bisa berhenti, maka kita tidak akan pernah merenung menghayati kehidupan ini. Ayo, masuk ke rumah saya, makan bersama saya. Nanti setelah makan, kamu ambil itu pisang, jagung dan kelapa untuk makan dan minum kalian”. Itu sekelumit kata-kata WS.Rendra dalam perannya sebagai Simbah dalam sebuah film : Lari dari Blora...

Di bagian awal  film itu dituliskan “harmony without the law” atau harmoni meskipun tiada hukum.
 Cerita di film itu menggambarkan bahwa harmonisasi hidup wong Samin (mereka juga senang disebut sebagai sedulur sikep) bisa terwujud lebih baik meskipun di desa itu tidak ada hukum yang mengatur rakyatnya secara ketat. Orang merasa tidak perlu surat nikah, KTP, sertifikat atau surat-surat lainnya, bahkan agama pun mereka maknai sendiri tanpa harus tunduk pada label atau ajaran dari luar komunitasnya. Segala hal dalam hidup diatur oleh kesepakatan bersama dan ditaati oleh semua pihak terutama kehidupan yang harmonis dengan alam dan hubungan dengan sesama.

Belajar dari wong Samin
Wong Samin begitu menjunjung tinggi kesepakatan mereka dan bangga dengan cara hidup mereka itu, meskipun masyarakat di luar komunitasnya, bahkan yang paling dekat pun melecehkannya, menganggap primitif dan tidak punya aturan. Padahal yang mereka jalankan, ya itulah aturan mereka.
Selama harmoni dengan alam itu dijaga, wong Samin tidak pernah kuatir kekurangan pangan karena mereka hanya mengambil makanan secukupnya untuk hidup.
Kehidupan Wong Samin sangat bertolak belakang dengan kehidupan di luar kelompok itu yang terlanjur mengedepankan ambisi-ambisi untuk menguasai orang lain, menguasai kelompok lain, mengusai negara lain, menguasai dunia. Dalam hal pangan, persis seperti itulah yang terjadi di kebanyakan negara di dunia ini. Semua Negara berperang strategi untuk menjelajah ke setiap penjuru dunia, melintasi batas-batas untuk berebut sumber pangan, sumber energy dan dan sumber air. Yang kuat itulah yang menang dan menguasai yang lain. Itulah globalisasi yang sudah menyatu dengan kehidupan kita, sudah lebih tua dari umur kita dan sudah masuk dalam aliran darah kita.
Wong Samin hanya satu contoh komunitas yang mampu bertahan dalam gilasan globalisasi pangan dunia. Ada suku Baduy di Jawa Barat, ada suku Boti di Rote NTT dan mungkin masih banyak yang lain di Indonesia ini yang belum tersentuh atau memang secara tegas menolak sentuhan globalisasi. Peradaban yang dianggap tertinggal itu, justru sekarang banyak dikagumi orang dan menjadi tempat belajar bagi banyak orang tentang kehidupan, pangan, air dan energy.

Pangan menjadi komoditas politik kepentingan
Pangan yang dulunya merupakan sebuah kebutuhan untuk hidup, berkembang dan memperoleh gizi yang cukup, lambat laun bergeser pada soal-soal bisnis pemuasan keinginan, kreativitas di dunia kuliner, trend dan iming-iming lain yang tak sekadar soal gizi untuk kebutuhan hidup manusia. Persoalan pangan masih menjadi polemic besar di Indonesia dari tahun ke tahun dari pemerintahan ke pemerintahan berikutnya dan dari kota besar sampai daerah perdesaan padahal Indonesia konon adalah negara agraris.
Negara yang disebut agraris (bernuansa pertanian) ternyata belum merupakan jaminan ketersediaan pangan yang cukup bagi rakyatnya. Sebaliknya Negara bukan agraris juga bisa menguasai pangan. Jadi apa kaitan sebuah sebutan Negara agraris dan bukan agraris bagi citra kecukupan pangan yang layak dan sehat di suatu negara? Secara logika, seharusnya berkaitan erat, tetapi kondisi riil bisa menunjukkan itu tidak berkaitan sama sekali.
Pembahasan mungkin bisa melebar ke soal ketahanan pangan atau kedaulatan pangan. Kalau Singapura yang makanan pokok rakyatnya beras, tidak pernah kekurangan beras padahal tidak punya sawah sedikitpun, berarti ketahanan pangannya kuat. Indonesia punya lahan subur dan sangat luas untuk memproduksi pangan sehat dan berkualitas, sumber daya alam berlimpah, sumber daya manusia pun sangat berlimpah. Seharusnya ketahanan pangan sekaligus kedaulatan pangan bisa terwujud di Indonesia. Tetapi kenyataannya bertolak belakang. Kita pemilik pangan tetapi pangan kita didikte. Harga kedelai kita didikte, kita diimporkan beras dari Thailand, diimporkan garam hanya karena kurangnya keberpihakan pemerintah pada pengembangan produksi garam rakyat, padahal wilayah Indonesia dikelilingi sumber garam. Produk buah impor, bawang impor, daging impor dan masih banyak produk impor lainnya juga menjajah pasar pangan Indonesia. Negeri kita penghasil kopi, kakao dan rempah-rempah terbaik di dunia, tetapi itu diekspor dalam bentuk bahan mentah, diolah negara lain dan produk jadinya kita beli dengan harga jauh lebih mahal, karena lagi-lagi kita lemah di pengolahan hasil pertanian. Kebijakan ekspor-impor tidak lagi berpegang pada kebutuhan rakyat tetapi sarat nuansa politik kepentingan. Itulah seretan arus globalisasi yang kita rasakan saat ini, banyak kepentingan yang berlomba-lomba menguasai kebijakan suatu negara.

Menghargai potensi yang dimiliki
Kembali pada penghormatan terhadap sumber-sumber pangan yang dilakukan wong Samin, kita hendaknya memahami dan memahamkan semua orang bahwa pangan sudah seharusnya diletakkan pada posisi hak semua orang untuk mendapatkan, tidak boleh ada monopoli, tidak boleh ada satu orang atau kelompok menguasai pangan sedangkan orang lain tergantung padanya.
Dalam persoalan air, pangan dan energi nasional (juga kekayaan alam lainnya), kita semua perlu kembali memahami UUD 1945 pasal 33 yang menjadi dasar pengelolaan sumber-sumber daya air, bumi dan kekayaan alam Indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kiranya esensi dari UUD 1945 itu tidak boleh sekadar dibaca secara formal pada upacara-upacara 17 Agustusan, tetapi dipahami isinya, karena itu merupakan komitmen para pendiri negara ini termasuk seluruh rakyat saat menyelenggarakan republic ini. Generasi penerus sekarang ini perlu meneruskan pemahaman yang sama dengan para pendiri negara Indonesia waktu itu.
Jiwa kebersamaan ini yang mulai pudar karena terlibas oleh jiwa individualis yang egois. Jiwa individualis itu yang sekarang lebih mewarnai sikap dan perilaku mulai dari para pemimpin sampai rakyat di era globalisasi ini.
Oleh karenanya Bung Karno pernah mengatakan jiwa Negara kita Pancasila. Dan kalau Pancasila diperas lagi maka hanya satu sila yakni gotong-royong. Karakter gotong royong itu yang kini hilang dalam diri bangsa kita yang amat heterogen dan merupakan wilayah negara kepulauan ini. Heterogenitas bisa menjadi kelemahan karena mudah untuk dipecah belah oleh pihak luar (sudah terjadi), tetapi sebenarnya merupakan kekuatan yang tidak dimiliki bangsa lain karena bisa saling melengkapi dengan potensi yang sangat bervariasi (belum dicoba serius).
Cengkeraman penguasaan pangan dunia tidak lepas dari penguasaan air dan energy. Tahukah anda, bahwa para pelaku eksploitasi sumber-sumber pangan, air dan energy dunia sudah meng-kapling-kapling wilayah Indonesia ini di peta mereka untuk ditambang kapan saja sesuai kebutuhan layaknya milik nenek moyangnya sendiri dan untuk kekayaan mereka sendiri? Demikian juga cengkeraman globalisasi-neoliberalisasi terhadap dunia pangan Indonesia. Kita sendiri yang seharusnya menentukan sikap untuk kedaulatan pangan bersama rakyat Indonesia.

Langkah alternatif
Wong Samin yang tinggal beberapa tempat di kabupaten Pati dan Grobogan, mengajarkan kita bahwa sebenarnya orang tidak perlu berebut pangan, bahkan harus mau berbagi dengan orang lain yang lapar dan membutuhkan pangan. Mereka berprinsip untuk mengambil pangan secukupnya yang dibutuhkan, bukannya mengambil lebih untuk dijual agar menjadi kaya. Ada hak orang lain untuk mengambilnya juga sesuai kebutuhan. Mereka sudah menemukan harmoninya sejak seabad yang lalu, sementara orang lain masih bingung mencarinya. Walaupun datang dan belajar pada wong Samin tetap saja berperilaku hidup serakah, nggrangsang dan bermental ndremis.
Bagaimana relevansi cerita itu dengan kerja-kerja pengorganisasian di dunia pangan, air dan energy?
Pengembangan pangan, air dan energy yang seperti apa yang menjadi perjuangan bersama kita? Siapa musuh bersama kita dan apa stretegi yang konkret bisa kita lakukan bersama? Haruskah kita mengikuti cara hidup wong Samin? Tentu tidak harus seekstrem itu. Lalu bagaimana caranya?
Kembali ke soal pangan, secara local langkah konkret bersama untuk membangun kedaulatan adalah :
1.       Kenali dan sadari dulu bahwa kita kaya akan potensi-potensi local pangan dan energy. Umbi-umbian, beras, buah, sayuran, kopi, kakao, cengkeh, teh, berbagai jenis tanaman obat herbal, produk ternak : daging, telur, susu, produk perikanan, dsb.
2.       Kembangkan potensi local itu secara mandiri, tidak perlu menunggu instruksi dari orang lain : pak RT, pak lurah, bupati atau presiden. Yang bisa dilakukan, langsung dilakukan dengan menangkarkan benih dan bibit tanaman pangan dan ternak local yang ada.
3.       Kembangkan jiwa kebersamaan dengan berorganisasi yang bermanfaat bagi seluruh anggota, bukan organisasi untuk menguasai pangan, air dan energy orang lain.
4.       Kurangi atau sebisa mungkin hentikan konsumsi produk pangan impor (beras, buah, sayuran, daging, ikan, susu, telur,dsb) di keluarga kita dan konsumsilah produk-produk local Indonesia. Jangan terkecoh oleh penampilan produk impor yang lebih segar dan harga murah, karena penentuan harga tersebut hanya strategi sementara untuk menghajar produk local kita. Kalau produk-produk pangan kita sudah dilumpuhkan (tidak laku), maka harga produk impor akan dinaikkan, saat itu kita sudah tidak bisa mencari produk local karena sudah dipunahkan di pasaran.
Kedaulatan pangan nasional dibangun dari kedaulatan pangan local, sehingga kunci keberhasilannya terletak pada komitmen seluruh rakyat Indonesia untuk mengembangkan potensi pangan local.


Salatiga, Pebruari 2012


Eunike Widhi Wardhani

Kekayaan aneka ragam hayati mendukung kedaulatan pangan



Kekayaan aneka ragam hayati pertanian mendukung otoritas petani untuk kedaulatan pangan nasional

Pengantar
Manusia merupakan makhluk yang mempunyai kelebihan dibanding makhluk hidup lain dalam menjaga alam sekaligus merusaknya. Kemajuan teknologi di bidang pertanian merupakan pedang bermata dua bagi kelestarian alam dan pemenuhan kebutuhan hidup paling mendasar. Selama manusia masih mengkonsumsi hasil pertanian, nampaknya pertanian masih akan menjadi tumpuan harapan pangan seluruh umat manusia di muka planet bumi.
Keanekaragama hayati menjadi tulang punggung kehidupan. Sebaran keanekaragaman hayati tidak merata, ada daerah-daerah yang kaya keanekaragaman hayatinya, tetapi ada yang hanya sedikit/ miskin. Tetapi telah disadari kini keanekaragaman hayati itu menyusut keberadaannya. Perlu upaya bersama melestarikan keanekaragaman hayati sebelum terlambat.
Indonesia memiliki potensi keanekaragaman hayati untuk bahan pangan, sandang, papan, energi maupun obat-obatan. Berkaitan dengan kedaulatan pangan, keanekaragaman hayati pertanian pangan harus diketahui dan dipahami agar manusia dapat mengelolanya secara bijak untuk mencukupi kebutuhan pangan. Pemahaman yang utuh tentang keanekaragaman hayati dan kedaulatan pangan juga harus dimiliki oleh komunitas produsen (petani) maupun konsumen (semua masyarakat) sehingga semua pihak mendukung terwujudnya satu tujuan bersama, yaitu  kedaulatan pangan, bukan mencari kedaulatan diri sendiri atau kelompoknya demi keuntungan sebesar-besarnya dengan mengorbankan pihak yang lemah.
Sehingga issu pangan seakan tak pernah selesai untuk didiskusikan dan selalu menuntut pemikiran kretif terhadap kompleksitas di dalamnya. Kompleksitas terkini adalah ibarat mesin katrol paralel, persoalan pangan yang bersinggungan langsung dengan persoalan air, energy dan kesehatan membuat perputarannya kian mudah menuju pada krisis bila tak disikapi secara bijak. Persoalan-persoalan itu tak lepas pula dari perubahan iklim yang gejalanya semakin jelas dirasakan oleh penduduk bumi saat ini. Kalangan akademisi, pemerintah, pegiat dan pelaku program pertanian-pangan perlu memahami secara utuh keanekaragaman hayati terutama sebagai  penopang pangan, meskipun itu tak juga dilepaskan dari kepentingan non pangan.

Keanekaragaman hayati dan kedaulatan pangan
Beberapa dekade kita telah terhegemoni oleh bahan pangan beras dan mengesampingkan bahan pangan non beras. Berbagai kepentingan politik bermain di balik semua itu. Petani sebagai pemilik perusahaan pertanian tidak memiliki otoritas menentukan jenis tanamannya. Koleksi benih mereka tanpa disadari lama-kelamaan hilang musnah diganti dengan ”penyeragaman” menggunakan benih-benih padi introduksi dari luar negeri.
Globalisasi di bidang pertanian, mendudukkan petani hanya sebagai robot produsen pangan yang dikuasai oleh pemilik modal dengan tingginya input racun kimia pabrik pupuk dan pestisida di bawah monopoli perusahaan antar negara. Itu mematikan kearifan lokal pertanian baik dari benih, pupuk maupun pestisida alami yang biasa digunakan petani dahulu kala. Keanekaragaman hayati terabaikan, petani tetap miskin dan kedaulatan pangan hancur.
Ironi besar bahwa Indonesia telah kehilangan lebih dari 8.000 varietas padi lokal yang justru saat ini disimpan di IRRI atas kepemilikan negara lain. Nama-namanya pun nama lokal Jawa. Untuk menggunakannya kita harus membeli, membayar royalti kepada negara pemiliknya sekarang. Itu sedikit gambaran potensi sekaligus kelemahan kita mengelola keanekaragaman hayati.
Di suatu sisi desakan jumlah penduduk menyebabkan lemahnya perlindungan terhadap lahan-lahan pertanian agar tak dialihfungsikan untuk kepentingan lain,. Ketergantungan terhadap pangan impor (gandum sayuran dan buah) yang telah merambah hingga ke desa-desa menjadi salah satu keprihatinan, sehingga konteks keanekaragaman hayati Indonesia yang begitu kaya dan belum banyak disadari oleh masyarakat luas, perlu diperjuangkan dan dilestarikan dengan menggali keanekaragaman budaya lokal. Petani sebagai ujung tombak pemenuhan pangan dimotivasi untuk menggunakan kembali otoritasnya terhadap sumber daya lokal bermutu yang dapat diupayakan oleh petani sendiri, memperhatikan kesuburan tanah, mengutamakan penggunaan teknologi tepat guna yang bersumber pada potensi lokal dan pengaturan pola tanam untuk memutus siklus hama dan penyakit.
Hal inilah yang perlu didukung semua pihak untuk membangun kepedulian dan membuat rencana-rencana nyata dalam bidang pertanian yang diharapkan dapat mencapai kedaulatan pangan. Mimpi kedaulatan pangan seharusnya menjadi mimpi bersama yang benar-benar mampu menggerakkan langkah nyata mencapai kedaulatan pangan itu, bukan hanya wacana-wacana normatif yang belum banyak terlaksana.
Kiranya hal ini dapat menginspirasi pembaca untuk memunculkan banyak ide pengembangan. Dengan membangun proses pemahaman tentang keanekaragaman hayati serta upaya nyata memperjuangkan dan melestarikannya, maka kedaulatan pangan akan terwujud.

Salatiga, 20 Juni 2011
Eunike Widhi Wardhani
Trukajaya

Pesona Tayub



PESONA TAYUB DI DESA RAMBAT

Desa mawa cara, negara mawa tata; ungkapan yang sering kita gunakan untuk menggambarkan adat kebiasaan yang ada di suatu daerah yang tak dijumpai di daerah lain. Seperti halnya kesenian tayub yang kita jumpai di desa Rambat kec. Geyer kab. Grobogan. Budaya adi luhung yang masih dilestarikan di zaman modern ini.

Acara hajat baik itu pernikahan, khitanan, kelahiran anak, kekahan, ruwatan, maupun hajat yang lain di desa Rambat hampir selalu diramaikan dengan kesenian tayub. Mengapa warga Rambat gemar nanggap tayub? Mungkin karena kesenian rakyat itu menarik dan dapat diterima oleh semua golongan masyarakat baik kalangan tua, muda dari status sosial yang berbeda-beda. Biayanya pun cukup terjangkau bagi yang punya hajat dari kalangan ekonomi menengah ke atas di desa Rambat. Selain itu kecantikan penari plus suaranya yang indah merupakan daya tarik yang cukup menyedot perhatian hadirin. Bagi yang lebih mampu biasanya nanggap campur sari pada siang hari dan tayub atau wayang kulit pada malam harinya.
Hiburan rakyat yang berupa tarian diiringi gending Jawa ini disuguhkan mulai pukul 21.00 hingga pagi atau dini hari hari untuk menghibur para tamu. Penampilan tayub ini terdiri dari penari (ledhek) yang sekaligus melantunkan tembang-tembang sesuai permintaan tamu undangan; dan pengiring yang memainkan seperangkat alat gamelan. Jadi tayub selalu ditampilkan live (siaran langsung).
Biasanya penari didatangkan dari daerah Toroh, Wirosari, Sumberlawang Sragen maupun daerah sekitarnya ke Rambat. Jumlah penari sesuai permintaan pihak yang punya kerja, bisa 2 atau 3 orang. Bahkan pada pesta pernikahan Sekdes Rambat 13 Juni 2004, beliau sampai nanggap 9 orang penari. Tarip nanggap itu pun bervariasi tergantung jam terbang sang penari yang ditanggap. Sedangkan grup gamelan disewakan tersendiri. Meskipun tidak dari satu grup, namun permainan antara penari/penembang dan iringan musiknya terjadi harmonis, selaras dan pas sehingga cukup memanjakan indera pendengaran dan penglihatan kita, apalagi kalau penarinya  senior tetapi masih cukup muda.
Menurut keterangan warga, tradisi nanggap tayub ini sudah berlangsung sejak dulu dan sampai kini masih menjadi pilihan utama jenis hiburan di acara-acara hajatan. Namun ternyata lain dulu lain sekarang. Ketika ditanya apa bedanya tayub dahulu dan sekarang di desa Rambat, seorang warga menjawab :“Wah, tayub sekarang lebih baik, lebih santun, ledheknya berpakaian cukup tertutup”. Selain itu ada aturan-aturan yang melindungi kehormatan sang penari (ledhek) seperti : tamu yang menari harus menjaga jarak dengan ledhek, tidak boleh menyentuh atau berlaku tak sopan kepada ledhek. “Kalau dulu, ledheknya cuma pakai kemben, tidak pakai baju, lalu tamu yang menari boleh berlaku semaunya pada ledhek di atas panggung.
Urutan siapa-siapa yang menari bersama ledhek juga diatur oleh seorang yang disebut pengarih yang bertanggung jawab mengatur pembagian sampur (selendang untuk menari) kepada orang yang akan menari. Tayub dibuka dengan alunan gending Jawa selama beberapa saat. Sang penari mulai menempatkan diri di panggung dan memainkan beksan (tarian) Gambyong Pareanom sebagai beksan pembuka. Usai gambyong pareanom, pengarih membacakan daftar urutan para tamu dan kerabat yang dikelompok-kelompokkan tersendiri untuk tampil di atas panggung.
Urutan pertama yang dipersilakan menari bersama ledhek adalah keluarga yang punya hajat. Satu atau dua tembang mengalun di sela tarian mereka hingga usai. Kemudian urutan ke 2 adalah orang-orang yang disegani yaitu dari kalangan sesepuh desa, mantan perangkat desa kemudian perangkat desa yang sedang menjabat serta tamu undangan dari desa lain.
Biasanya sekelompok tamu dan kerabat yang naik panggung berjumlah 6 - 8 orang mengelilingi sang penari. Pada pertengahan tembang mereka beralih posisi dengan penari tetap di tengah. Kesempatan berikutnya barulah untuk kaum muda. Oleh karena sekelompok dapat terdiri dari puluhan orang, maka satu kelompok dibagi lagi urutannya. Sebelum atau sesudah menari biasanya tamu di panggung memberikan uang saweran kepada penari. Besarnya bervariasi, antara ribuan sampai puluhan ribu rupiah per orang. Bahkan ada yang tak keberatan menghabiskan ratusan ribu rupiah dalam semalam untuk menikmati tarian ini. Kadang saking antusiasnya sekelompok yang tampil meminta 2 - 3 tembang  dalam satu penampilan. Itulah yang menyebabkan acara ini memerlukan waktu yang lama hingga pagi atau dini hari.
Sayangnya tayub selama ini masih menjadi kesenian tradisional yang terutama dinikmati oleh kaum lelaki mungkin karena penarinya perempuan. Sedangkan kaum perempuan hanya menyaksikan tarian dan tembangnya di luar panggung. Namun pesona tayub tetap menarik bagi kaum lelaki maupun perempuan, terbukti banyak pula kaum ibu yang menyaksikan di tengah keramaian penonton.
Tayub, tradisi luhur yang sebenarnya merupakan kekayaan khasanah budaya Jawa dan Nasional hendaknya tetap diuri-uri. Namun dahulu tradisi ini pernah mendapat penilaian buruk karena ada beberapa pihak yang memanfaatkannya sebagai semacam prostitusi terselubung baik dari penikmatnya maupun dari penarinya. Tak jarang terjadi keonaran atau perkelahian karena pengaruh minuman yang memabukkan. Hingga tradisi ini pernah berhenti sesaat.
Namun sekarang dan khususnya di desa Rambat, masyarakat sepakat mengembalikan citra baik tayub sebagai seni budaya nan adi luhung dan dicintai masyarakat dengan penerimaan penuh hormat dan santun kepada sang penari maupun semua pihak yang mendukung lestarinya budaya ini.


Ditulis di Rambat, tahun 2004
Eunike

Impian perempuan



Impian-impian Perempuan
Eunike Widhi Wardhani

Tulisan merupakan salah satu sarana pengembangan masyarakat. Tulisan mempunyai daya yang mampu menumbuhkan motivasi untuk melakukan perubahan.

Tulisan dapat menjadi alat perjuangan, penyebarluasan informasi dan kampanye persuasi sebuah gerakan. Melalui tulisan berupa surat-surat, Kartini menyampaikan isi hatinya sebagai seorang perempuan yang mengalami ketertindasan hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Kartini juga memperjuangkan nasib perempuan Indonesia untuk memperoleh pendidikan sebagaimana laki-laki.
Kartini melakukan sebuah gerakan berawal dari goresan penanya menjadi surat-surat yang ia kirimkan kepada Rosa JH Abendanon, salah seorang sahabat pena Kartini, istri dari seorang menteri Kebudayaan, Agama, dan Industri Hindia Belanda (Wikipedia dan Pustakaloka Kompas, Sabtu, 19 April 23/ http://64.203.71.11/kompas-cetak/0304/19/pustaka/263526.htm).
Walaupun tak lama kemudian Kartini wafat dalam usia yang masih muda, namun daya tulisan-tulisannya tersebut tetap hidup dan membawa pengaruh besar pada bangsa Indonesia hingga sekarang. Surat-surat yang dikumpulkan menjadi sebuah buku itulah yang kemudian berbicara banyak tentang impian dan harapan perempuan serta bagaimana mewujudkannya.
Isi hati Kartini ternyata mewakili isi hati banyak perempuan di negeri ini dan membuka kesadaran dunia tentang kondisi yang ingin diubah. Sehingga impian itupun terwujud dengan dukungan banyak pihak. Andai Kartini yang begitu cerdas, tidak menuliskan pemikirannya dan menyampaikan kepada orang lain, mungkin impian akan perubahan hanya impian kosong dan tidak pernah terwujud.
Di perdesaan, ternyata banyak “Kartini-Kartini” lain yang memiliki semangat melakukan perubahan, memperbaiki harkat kehidupan masyarakat. Ada Garwati dari Randurejo Pulokulon Grobogan, Musyarofah dari Kalisalak-Limpung-Batang, Uut Sri Astuti dari Randurejo Pulokulon Grobogan dan masih banyak lagi.
Mereka juga menuangkan isi hati dan impiannya ke dalam tulisan yang perlu mendapat perhatian banyak pihak untuk mendukungnya. Beberapa tulisan ibu-ibu dari desa yang disajikan kali ini mewakili harapan, mimpi dan semangat tak hanya kaum perempuan tetapi mimpi masyarakat di desa-desa tersebut untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Tulisan-tulisan ini diperoleh dari surat perempuan pada kegiatan pengorganisasian dan pendampingan kelompok perempuan dipandu oleh kawan Ruby dan Yoyok dari AMAN Jakarta yang diundang Trukajaya untuk berbagi pengalaman dan strategi pengorganisasian kelompok perempuan desa-desa Kendel kecamatan Kemusu Kab. Boyolali, Lembu kec. Bancak kab. Semarang, Randurejo kec. Pulokulon kab. Grobogan, Kalisalak kecamatan Limpung dan desa Sodong kecamatan Wonotunggal kabupaten Batang.

Surat 1.

Salam sehat dari Kampung

As Al Wrwb

Aku adalah seorang perempuan dari sebuah kampung nun jauh di kawasan Grobogan Purwodadi. Aku merasa senang dan bahagia bisa diberi kesempatan belajar oleh teman-teman. Memang setiap kali belajar bersama aku capek dan mengantuk apalagi kalau harus menempuh perjalanan jauh ke luar desaku, tetapi aku tetap bertahan di tempat belajar/pelatihan karena aku tidak mau ketinggalan sesi-sesi yang menurutku banyak sekali manfaatnya, untuk nanti kubawa pulang dan kusampaikan kepada teman-teman di kampung.
Bagaimanapun ibu-ibu di kampung berhak untuk hidup cerdas, terampil dan menjadi perempuan yang mandiri lahir maupun batin. Ya kan?
Kadangkala dalam kehidupan ini, apa yang kita lakukan punya tujuan yang baik, tetapi penilaian dari masyarakat/warga itu bermacam-macam. Ada yang menanggapi dengan baik, tetapi tidak sedikit yang memandang sebelah mata. Tapi aku tidak putus asa. Aku selalu berusaha semampuku untuk mencapai impian yang selama ini banyak yang belum jadi kenyataan. Salah satu impianku, di antaranya supaya Randurejo memiliki sarana transportasi (jalan) yang layak seperti warga negara Indonesia yang lainnya.
Semoga siapapun yang membaca goresan tintaku ini bisa memahami apa yang kurasakan. Dan aku minta maaf apabila kata-kataku tidak berkenan di hati karena aku cuma manusia biasa yang tak luput dari salah dan khilaf.
Sekian. Terima kasih.
Wal Slm Wr.wb


Salatiga, 30 Maret 2011

Garwati
Randurejo-Pulokulon-Grobogan


Surat 2

Aku adalah seorang ibu rumah tangga yang bersuamikan seorang buruh. Di mana seorang buruh sering dianggap orang berekonomi rendah. Tetapi kami punya harapan tinggi terhadap pendidikan anak-anak kami. Sebenarnya anak-anak di desa banyak yang berotak cerdas, tetapi untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi sangat terbatas oleh biaya. Kesanku selama ini  perguruan tinggi banyak didirikan di kota-kota besar, seakan-akan hanya untuk orang-orang kota dan orang-orang yang berkelas mewah.
Untuk itu melalui perkumpulan di responsif gender ini saya berharap bisa menyalurkan kepada pihak yang bersangkutan dan bertanggung jawab atas pendidikan anak Indonesia. Alangkah senang dan bersyukurnya kami, jika pemerintah mau membangun perguruan tinggi di desa kami, agar anak-anak desa kami bisa mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dan mencapai cita-cita yang tinggi tanpa keluar desa, sehingga di desa Kalisalak ini akan lahir orang-orang yang punya titel dan bisa membangun desa Kalisalak ini menjadi desa yang punya wawasan pendidikan yang luas sehingga pernikahan usia dini dapat dihindari.
Dengan adanya perguruan tinggi di desa Kalisalak juga bisa menunjang ekonomi masyarakat Kalisalak. Mereka bisa berdagang menyediakan kebutuhan para pelajar.
“Seandainya hal ini bukan sekedar mimpi, akankah bisa tercapai, kapankah itu? Semoga mimpi ini akan menjadi nyata”.


Musyarofah
Kalisalak-Limpung-Batang


Surat 3

Seandainya saya menjadi seorang pejabat negara yang serendah-rendahnya seorang bupati, yang akan saya lakukan adalah menyejahterakan rakyat terutama rakyat miskin.
Saya akan memberikan perintah kepada pegawai saya untuk mendata seluruh kelurahan, berapa jumlah rakyat yang miskin dan yang tidak punya penghasilan tetap dan jumlah anak yang putus sekolah. Saya akan memberikan bantuan kepada petani berupa ternak, alat-alat pertanian dan industri kecil. Akan saya buatkan bendungan untuk pengairan sawah-sawah petani biar lebih makmur dan sejahtera. Saya akan memberikan penyuluhan-penyuluhan serta pelatihann keterampilan-keterampilan kepada yang putus sekolah. Akan saya bantu perbaikan sarana peribadatan, gedung sekolah-sekolah dan rumah-rumah rakyat miskin. Setiap bulan akan saya berikan BLT, bantuan beras untuk fakir miskin dan anak-anak yatim. Saya akan memerintahkan bagian sarana dan prasarana untuk melakukan perbaikan jalan-jalan yang sudah rusak, jembatan-jembatan serta memberikan bantuan penerangan listrik di setiap jalan raya.
Bagi pengamen jalanan dan anak-anak terlantar akan saya beri pekerjaan serta keterampilan khusus, sesuai kemampuan. PNS akan saya berikan kesejahteraan berupa gaji tambahan dan uang lauk pauk. Demi untuk kesehatan semua masyarakat, saya sediakan setiap bulan pemeriksaan yang akan ditangani oleh dokter dan bidan serta pembantu lainnya. Petugas kesehatan harus memberikan penyuluhan kesehatan dan kebersihan lingkungan. Untuk para balita setiap bulan diadakan posyandu, dan di sana diberikan obat bagi yang sakit secara cuma-cuma.
Di setiap kelurahan akan saya berikan 1 mobil ambulans dan tempat khusus untuk berobat. Orang-orang cacat akan saya beri bantuan keterampilan oleh tenaga pendidik khusus, agar kekal bisa mandiri. Untuk keamanan warga masyarakat di setiap kelurahan akan saya berikan dua satuan keamanan polisi. Biar bisa menggerakkan warga masyarakat untuk menjaga keamanan desanya.
Andai semua itu bukan mimpi, kapankah akan jadi kenyataan? Terus dari mana saya harus mendapatkan uang yang sebanyak itu? KORUPSI???


Rofiati
Kalisalak-Limpung-Batang





Surat 4

Kita harus menyadari dan mengerti betul bahwa setiap kemajuan dan setiap kebahagiaan pasti dicapai dengan pengorbanan dan perjuangan, maka kalau ada suatu usaha yang berhasil pasti di balik ada yang berjuang dan berkorban. Itulah motto hidup yang aku pegang, sebagai ibu rumah tangga dan sebagai perempuan.
Namaku Kamnah, aku seorang ibu rumah tangga. Sebagaimana ibu-ibu lainnya (umumnya) mengerjakan pekerjaan domestik, rumah tangga, melayani keluarga dan membimbing serta mendidik anak agar menjadi anak yang sholih, bakti kepada orang tua dan masyarakat.
Selain pekerjaan rumah tangga, aku juga mempunyai kesibukan yang lain lho, yaitu membuka usaha kecil membuat keripik talas (Suroloyo) dan jahe alang-alang instan. Itu untuk mengisi waktu luangku, mengingat putraku sudah besar (Kelas I Sekolah Madrasah) dan belum punya rencana untuk menambah momongan.
Aku terdorong membuka usaha kecil karena seiring berjalannya waktu kebutuhan finansial keluargaku bertambah karena kebutuhan pokok hiduup sehari-hari harganya melonjak, sedang penghasilan suamiku tidak mengimbangi lonjakan harga bahan pokok, sehingga keluargaku butuh dana tambahan. Selain itu mengingat suamiku hanya seorang buruh bangunan yang kadang kerja, kadang tidak sedangkan kebutuhan keluarga harus dipenuhi. Aku ingin dan harus punya tabungan untuk masa depan kami, mengingat keluargaku masih numpang sama orang tua. Aku harus pintar-pintar mengelola keuangan yang serba pas-pasan dan kadang juga kurang.
Melihat kondisi keluargaku yang seperti itu, hatiku miris, aku ngeri, bagaimana nanti masa depan putraku, mampukah aku meluluskan keinginannya untuk menjadi seorang arsitek? Itulah PR besar bagi diriku. Aku sadar dan aku punya itikad (tekad bulat) untuk mengembangkan usahaku dengan harapan aku dapat meluluskan keinginan putraku. Aku ingin menjadi seorang wirausahawan yang sukses dan mapan, punya rumah yang indah dikelilingi kebun buah dan tanaman rempah-rempah, mempunyai armada untuk mengangkut barang hasil produksi kepada pelanggan, mempunyai rekan/ relasi yang amanah, merubah nasib suami dari buruh menjadi rekan bisnis, mempunyai rumah produksi yang besar (memenuhi standar) dan memberdayakan perempuan-perempuan pedesaan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, sehingga mereka tidak perlu lagi pergi ke luar negeri menjadi TKW untuk mendapatkan uang. Harapanku juga bisa membahagiakan kedua orang tuaku, mempunyai sawah dan kebun yang luas, punya deposito untuk menunaikan ibadah haji, sebagian dari hasil usahaku aku bagikan kepada fakir miskin yang ada di lingkungan sekitarku yang membutuhkan untuk membersihkan hartaku.
Alangkah indahnya jika hidup ini bisa memberi manfaat, meski kecil kepada orang lain.


Kamnah
Kalisalak-Limpung-Batang


Surat 5

Salam hangat dari kampung

Keinginan dan impian seorang ibu rumah tangga yang belum dikaruniai seorang buah hati, dan masih juga dibilang pengantin baru, karena usia pernikahanku baru 1 tahun. Aku selalu bermimpi dan terus bermimpi kalau suatu saat aku dan suamiku akan menjadi orang yang sangat-sangat sukses karena aku sangat yakin kalau tahun ini akan lebih baik daripada tahun lalu.
Kami (aku dan suamiku) ingin usaha kami lebih maju dan berkembang bukan hanya di dusunku sendiri. Suamiku punya bengkel elektronik. Dia sangat ahli dalam memperbaiki barang-barang elektronik seperti: TV, kulkas, mesin cuci, kipas angin, setrika, rice cooker, dll. Namun adanya faktor penghambat yaitu letak dan kondisi desa kami yang terpencil atau kurang strategis sehingga berakibat kurangnya pelanggan.
Aku juga selalu bermimpi, kalau  aku bukanlah hanya bisa menjadi seorang ibu rumah tangga yang tiap hari kerjanya cuma masak, nyuci, menyetrika dan bersih-bersih rumah saja. Aku ingin bermimpi mulai 2011 ini aku bisa menjadi perempuan pengusaha yang sukses di dusunku. Aku ingin punya toko elektronik yang letaknya strategis, misalnya di Limpung.
Sehingga di antara aku dan suamiku bisa saling bekerja dan menjadi orang yang sangat sukses. Sehingga harapanku bisa beli mobil dan akan kusopiri sendiri sehingga aku bisa mengikuti kegiatan di tingkat desa tanpa harus berjalan kaki dan tidak lupa pula aku ajak 6 orang dari kelompok di dusunku biar ikut kegiatan responsif gender tanpa harus jalan kaki. Oh, iya...ya...udah dulu ah, moga impianku ini bisa benar-benar cepat tercapai. Amin...


Eti Setio Wati
Kalisalak-Limpung-Batang


Surat ke 6

Assalamualaikum WrWb
Nama saya Mariah dari dukuh Gumingsir desa Kalisalak.
Impian saya ingin menjadi orang yang sukses dalam segala bidang seperti ingin menjadi pengusaha konveksi, menjadi pedagang. Tapi apa boleh buat orang kecil seperti saya cuma bisa bermimpi saja. Terkadang saya berpikir bagaimana caranya agar mimpi-mimpi saya dapat terwujud. Sebenarnya mimpi saya ini banyak dulu saya waktu masih remaja ingin menjadi orang yang pinter karena saya ingin menjadi guru. Tetapi mau gimana saya cuma lulus SD. Sebenarnya kalau dulu ada biaya saya mau melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Yah, sekarang sudah terlanjur tidak bisa menjadi guru. Tapi dalam hati kecil saya, saya harus mewujudkan salah satu impian saya.
Saya dulu juga sudah pernah mencoba dagang kecil-kecilan, tetapi kekurangan modal. Jadi usaha itu tersendat-sendat. Seandainya saya bisa usaha lagi dan ada dana yang cukup, saya akan berusaha mewujudkan impian saya.
Saya juga ingin melihat anak-anak saya menjadi orang yang berpendidikan lebih tinggi dari saya. Saya juga punya impian memperbaiki rumah saya. Semoga salah satu dari impian saya bisa terwujud. Maaf kalau impian saya terlalu tinggi.
Cukup sekian dan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr.Wb.


Mariah
Kalisalak-Limpung-Batang

Surat 7
Impian seorang perempuan kampung

Saya Uut Sri Astuti, umur 32 tahun, ibu dari 3 orang anak, 2 putri, 1 putra. Saya bertempat tinggal di dusun Lengkong RT 01 RW 06 desa Randurejo (2 km dari balai desa Randurejo) kec. Pulokulon kab. Grobogan.
Saya tinggal di desa jauh dari perkotaan. Jarak dari desa ke kecamatan 14 km. Jarak dari desa ke kota kabupaten 35 km. Jalan menuju dusun dan desa serta menuju ke luar desa sangat memprihatinkan karena rusak berat apalagi di musim penghujan pasti tidak dapat dilalui kendaraan roda 4. Itu sedikit gambaran kondisi jalan Randurejo.
Karena desa kami jauh dari perkotaan, mutu pendidikan menjadi rendah. Pernah saya menemukan seorang anak sudah lulus SD tidak bisa mengenal huruf abjad “a” sampai “z” dengan baik.
Untuk itu saya punya impian untuk meningkatkan mutu pendidikan yang lebih. Dengan cara mendirikan sekolah TK. DHARMA WANITA-3 Randurejo.
Tetapi tidak semudah yang saya bayangkan. Karena keterbatasan fasilitas (gedung sekolah TK), meja, kursi, APE (Alat Permainan Edukatif) dan mainan luar (ayunan) yang kondisinya memprihatinkan, tidak seperti yang dimiliki sekolah TK di luar desa kami. Dan pemerintah desapun kepeduliannya masih kurang dikarenakan penghasilan desa/ kas desa minim. Kalaupun diperhatikan hanya sebatas upah yang tak sebanding yaitu ¼ hektar sawah (bengkok) tanah kas desa, ketika dijual per tahun hanya mendapat Rp. 400.000,-. Upah yang sangat tidak sebanding dengan pekerjaan saya, tetapi saya TIDAK PATAH SEMANGAT untuk memotivasi anak-anak untuk terus belajar.
Saya berharap ada yang peduli nasib saya dan anak-anak didik saya dan mencarikan solusinya supaya anak-anak ini belajar dengan nyaman, menyenangkan dan memiliki minat yang tinggi untuk sekolah.
Semoga yang membaca kisah ini tergerak hatinya untuk membantu mencarikan jalan keluar dari apa yang dialami oleh Sekolah TK. DHARMA WANITA 3 RANDUREJO
SEKIAN, TERIMA KASIH.


Uut Sri Astuti
Pengajar TK di Randurejo



Surat 8
Saya ingin menjadi orang yang punya usaha sendiri, punya kesibukan yang bisa menghasilkan uang untuk menopang perekonomian keluarga. Saya ingin bisa memenuhi kebutuhan pribadi saya sendiri, membiayai sekolah anak ke jenjang setingi-tingginya.
Saya merasa belum dapat membahagiakan kedua orang tua, saya ingin bisa mewujudkannya. Sukses.


NN di desa Kendel Kemusu Boyolali


Demikian  surat yang berhasil dikumpulkan oleh pendamping berdasarkan isi/ide dan kejelasan maksud penulis.