Selasa, 19 Februari 2013

Kemiskinan, pendidikan dan kesehatan



BERDAMAI DENGAN KEMISKINAN?
OKE.
YANG PENTING SEHAT DAN BISA SEKOLAH

Dari waktu ke waktu, kemiskinan merupakan fenomena yang sangat mudah ditemukan di negara kita. Karena begitu kompleks dan dinamisnya kemiskinan itu, hingga kita masuk ke dalam lingkaran tak berujung. 
Tetapi apakah kita akan mewariskan kemiskinan itu kepada anak cucu sampai-sampai kesehatan dan pendidkan saja tidak mereka dapatkan?

Tak ada formula yang paling tepat untuk mengatasi permasalahan yang satu ini. Entah bagaimana awalnya hingga kemiskinan itu selalu muncul dan terjaga. Karena tak jarang kita justru telah sekian lama menjadi bagian di dalamnya (kemiskinan) dan sulit keluar. Begitu mudahnya kemiskinan itu ditemukan dan kategori tentang kemiskinan itu selalu berkembang. Saking banyaknya pemikir-pemikir maka orang-orang mempunyai definisi yang berbeda-beda tentang kemiskinan. Jangan-jangan kemiskinan itu sengaja diciptakan dan dibuat dinamis saja (?).
Siapa aktor di balik semua itu? ”Siapa” itu bisa orang, bisa sesuatu yang berkuasa/ pengaruhnya sangat kuat di luar kita dan sulit dikendalikan. Belum lagi banyak bencana alam yang silih berganti menambah jumlah kemiskinan. Yang paling memprihatinkan, adalah jika kemiskinan sampai menjauhkan anak-anak kita dari haknya untuk mendapatkan kesehatan dan pendidikan yang baik. Padahal UUD 1945 hasil amandemen pasal 28H dan pasal 31 dengan jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan mendapatkan pendidikan. Siapa yang akan bertanggung jawab?



Kemiskinan, kesehatan dan pendidikan
Sudharto dan Frieda (1984) memaparkan bahwa hakekat kemiskinan adalah kekurangan materi pada segolongan orang dibanding standar kehidupan yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Aspek sosial dan ekonomi berkaitan erat dengan kemiskinan itu. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung berpengaruh terhadap aspek kehidupan lain seperti keadaan kesehatan, pendidikan, kehidupan moral, rasa harga diri, dsb.
Kota merupakan pusat pemerintahan, teknologi, ilmu dan peradaban. Sedangkan desa merupakan pensuplai bahan pangan dan tenaga kerja. Perbedaan itu membedakan pula standar kemiskinan antara di kota dengan standar kemiskinan di desa. Orang yang berstatus miskin di kota, belum tentu miskin di desa atau sebaliknya. Misalnya batas kemiskinan di desa A adalah makan 2 kali sehari berupa nasi dan sayur (tanpa lauk), sedangkan di kota B adalah makan 3 kali sehari berupa nasi, sayur dan lauk. Usaha keras masyarakat miskin desa masih pada pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari. Lebih dari itu adalah impian yang sulit terwujud. Sedangkan masyarakat miskin di kota mengejar pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari namun dengan tuntutan yang lebih kompleks sesuai kondisi sosial masyarakat sekitarnya.
Artinya tingkat kemiskinan tidak dapat diukur dari konsumsi makan saja tanpa mempertimbangkan aspek sosial yang lebih luas seperti pendidikan, kesehatan, kebudayaan, persamaan hak untuk mengembangkan diri, tidak terisolasi/ terkucil dan dapat mengakses pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Kesehatan dan pendidikan dasar di negara kita ternyata belum dapat dinikmati secara layak oleh semua lapisan masyarakat. Kasus balita gizi buruk, penyakit akibat kekungan gizi yang fatal dan siswa putus sekolah sangat mudah dijumpai di kota maupun desa dengan berbagai penyebab.
Banyak masyarakat desa yang masih mempertahankan anggapan bahwa ”Wong wadon, sekolah dhuwur ora wurung mung tekan dapur, sumur lan kasur” atau ”Wong wadon ora perlu sekolah dhuwur-dhuwur, sing penting iso macak, masak lan manak (artinya kira-kira : Perempuan sekolah tinggi-tinggi hanya sampai dapur-memasak, sumur-mencuci dan kasur-melayani suami” atau ”Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi yang penting bisa memasak, berdandan dan menghasilkan keturunan”). Anggapan ini secara langsung mendukung terjaganya kemiskinan pendidikan bagi perempuan desa. Meskipun orang tua memiliki cukup biaya, namun hanya anak laki-laki yang disekolahkan setinggi-tingginya. Anak perempuan cukup sampai SLTP atau SLTA. Hal itu dipersubur dengan anggapan kalau anak gadis sudah berumur sekitar 18 tahun tetapi belum ada yang meminang, maka dicap sebagai perawan tua. Seolah pendidikan menjadi penghalang bagi perempuan desa untuk menjalani kehidupan berumah tangga. Memang ada yang menikah dan merawat anak seraya melanjutkan pendidikan tinggi sampai selesai, namun jumlahnya sangat kecil karena memerlukan dukungan moral, tenaga dan biaya yang cukup tinggi dari keluarga.
Kemiskinan memang berkait erat dengan kesehatan (lingkungan dan kecukupan gizi) dan pendidikan. Karena kedua hal itu merupakan standar paling mendasar dan mencerminkan peran dan tanggung jawab banyak pihak (masyarakat, ornop dan pemerintah) dan kedua aspek tersebut hendaknya diberlakukan sama, baik di kota maupun desa dalam menentukan tingkat kemiskinan. Artinya kalau di kota seseorang harus memperoleh standar sehat jasmani dan rohani serta mengenyam pendidikan serendah-rendahnya SLTA, maka di desa standarnya harus sama seperti itu.
Kalau hanya segolongan orang (misal : kaum laki-laki) saja yang menikmati pendidikan, lha perempuan bagaimana? Perlu keberanian untuk keluar dari paradigma yang menyesatkan itu. Terlebih lagi semua orang hendaknya memiliki tekad, niat dan upaya nyata bahwa setiap bayi yang terlahir saat ini, kelak harus mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang setinggi-tingginya. Sehingga kalaupun kemiskinan itu tetap ada di masa depan, maka mereka tetap memiliki kesehatan dan pendidikan yang baik.
Anak-anak kita mungkin belum mendapatkan fasilitas-fasilitas kesejahteraan seperti di negara-negara maju. Tetapi paling tidak mereka jangan sampai kehilangan kedua hal terpenting itu. Kesehatan dan pendidikan adalah hak setiap anak Indonesia. Dengan pendidikan dan kesehatan yang baik, mereka dapat menikmati hidup.
Namun kita tak boleh terjebak pada prinsip bahwa pendidikan yang baik itu hanya pendidikan formal dan harus mahal. Jangan pula tersesat pada anggapan bahwa anak yang berhasil dalam pendidikan adalah yang setelah lulus sekolah, mendapat pekerjaan dengan penghasilan berlimpah dan menjadi orang kaya. Kesuksesan dalam pendidikan tidak selalu ditandai dengan kekayaan materi. Pengertiannya bagaimana ? Kita memiliki persepsi sendiri-sendiri sehingga standarnya pun akan berbeda-beda dalam menilai sebuah kesuksesan.

Peran pemerintah ?
Selama ini telah cukupkah peran beberapa pihak terkait terhadap upaya pengentasan kemiskinan? Yang jelas pihak BPS, Bapeda atau lembaga-lembaga pemerintah terkait telah menyusun kriteria dan menawarkan banyak solusi pengentasan kemiskinan. Namun tidak pernah sinkron dengan kebijakan-kebijakan dan regulasi pemerintah. Contohnya peminggiran kaum perempuan masih saja terjadi seperti terbitnya UUPP (Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi) yang di dalamnya mendiskreditkan kaum perempuan,
Pembedaan pemberlakuan pajak penghasilan bagi karyawan perempuan dengan laki-laki dengan asumsi bahwa perempuan adalah pencari nafkah kedua, tanpa penelitian awal dan pembuktian asumsi tersebut juga menjadi salah satu ketidaksinkronan aturan dengan upaya pengentasan kemiskinan. Bagaimana jika kesempatan bekerja dan memperoleh penghasilan justru pada istri seorang diri, sedangkan suami kebetulan tidak mendapat kesempatan bekerja dan memperoleh penghasilan? Atas nama nilai-nilai budaya yang ditelan mentah-mentah, kadang kita justru melakukan pemiskinan masyarakat? Miskin tidak melulu berarti tak punya uang, namun miskin pengetahuan, hak, kesempatan untuk mengembangkan diri, dlsb
Masih dalam hal perpajakan yang tidak sinkron dengan upaya pengentasan kemiskinan, adalah pengenaan pajak terhadap banyak barang dan jasa. Barang-barang yang kita beli di toko telah dikenai pajak, bahkan rumah makan pun membebankan pajak pada pembelinya. Seharusnya hanya barang-barang tertentu saja yang dikenai pajak, tidak semua kena pajak. Tetapi jerih payah dan ketertiban masyarakat membayar pajak itu sering tidak diimbangi dengan pelayanan publik yang baik sehingga masyarakat apalagi yang miskin tak pernah kebagian pelayanan apalagi dibantu dalam pengentasan kemiskinan. Justru mereka telah menyumbangkan banyak uangnya kepada pemerintah tetapi paling minim memperoleh kesempatan mengakses pelayanan publik.
Pasal 28 dan 31 UUD 1945 menjadi acuan peran pemerintah untuk memperhatikan dan mengusahakan terpenuhinya kebutuhan kesehatan dan pendidikan warganya. Masyarakat miskinlah yang harus didahulukan dalam memperoleh pelayanan tersebut.

Miskin tetapi sukses?
Orang yang berhasil di bidangnya pasti dalam hidupnya melalui banyak tahap pendidikan. Pendidikan itu dapat saja datang dari sekolah formal, falsafah hidup yang diajarkan, pembelajaran dan pengalaman hidup yang serta bergaul dengan orang-orang sukses. Seluruh tahapan pendidikan tersebut tentunya perlu didukung dengan kesehatan yang baik pula.
Di sisi lain penting sekali dilakukan perubahan pola pikir yang ”memiskinkan diri/ menganggap diri miskin” menjadi pola pikir yang ”tidak memiskinkan diri” dalam masyarakat. Namun perlu juga kita buat paradigma yang tidak membuat orang takut miskin. Tidak perlu minder kalau dikatagorikan miskin secara ekonomi. Kita berupaya menumbuhkan rasa pede dalam masyarakat miskin, lama-lama kemiskinan tidak lagi jadi soal asal anak-anaknya sehat dan mendapat pendidikan sebagai bekal di masa depan. Lalu siapa yang akan mewujudkan itu? Tentunya lembaga yang konsen di bidang pengentasan kemiskinan, pemerintah dan masyarakat harus memiliki niat, semangat dan kekompakan untuk bersama mewujudkannya mulai di aras lokal.
Maka, sebagai masyarakat yang memperhatikan kesehatan dan pendidikan anak cucu, meski solusi untuk kemiskinan belum kunjung ada yang ampuh, maka setidaknya sekarang kita berdamai dengan kemiskinan itu seraya menyiapkan mereka menjadi pemimpin masa depan dengan memenuhi hak-hak mereka yaitu kesehatan dan pendidikan yang baik.


ditulis di Salatiga, 4 April 2007


Eunike Widhi Wardhani


Tidak ada komentar:

Posting Komentar