Selasa, 19 Februari 2013

Untuk siapakah kualitas diri kita persembahkan?



UNTUK SIAPAKAH KUALITAS DIRI TERBAIK KITA PERSEMBAHKAN ?
(sebuah refleksi seorang pendamping masyarakat desa)

Jika kita mendapat pertanyaan : “ Untuk apa anda hidup?”. “Siapa/ hal apa yang terpenting dalam hidupmu?”. Tentu banyak jawaban yang mudah dilontarkan. Seorang religius akan menjawab “Hidup saya untuk Tuhan”. Seorang pemikir menjawab “Hidup untuk belajar. Atau bisa muncul jawaban “Hidup untuk membahagiakan keluarga: istri/ suami, anak, orang tua. Seorang yang sedang bernasib buruk dan frustasi bisa saja menjawab : “Tidak untuk apa-apa atau siapa-siapa, tinggal mengikuti saja ke mana sang pemberi hidup membawa saya, karena saya tidak pernah minta nasib seperti ini”. Untuk siapakah kualitas diri terbaik kita persembahkan?. Pada saudara, teman, kepada Tuhan atau pada diri pribadi kita?
Sejarah dan pengalaman hidup dalam interaksi dengan berbagai kondisi biotik dan abiotik telah membentuk citra diri kita yang sekarang ini. Orang baik, orang jahat, miskin, kaya, jujur, penipu, pemaaf, pendendam, curang, dlsb; semua berpengaruh (berjasa) membentuk kepribadian kita yang sekarang ini. Apakah pribadi yang sudah terbentuk sekarang hanya berhenti sampai di sini? Ternyata tidak. Pembentukan pribadi itu berlangsung seumur hidup seiring detak jantung kita. Perubahan bisa meningkat namun bisa juga menurun tergantung kekuatan pribadi dan kekuatan dari luar pribadi kita.
Siapa yang akan menjadi pemenang dalam diri kita? Apakah pribadi kita yang kuat. Atau justru kekuatan dari luar/ pengaruh faktor luar lebih kuat mengubah pribadi kita. Tak masalah kekuatan mana yang menang, asalkan menuju kebaikan untuk sesama. Pribadi yang kuat tak tergoyahkan adalah potensi besar untuk sukses, sebaliknya bisa juga berbahaya.
Kita dibentuk oleh suatu kepentingan yang bisa datang dari pihak mana saja, kadang tanpa kita sadari saat itu. Ketika kita menemukan diri kita yang sesungguhnya, sudah terlalu berat kaki kita untuk beranjak karena berbagai belenggu yang kadang tampil sebagai kenyamanan, kemapanan, atau apapun yang membuat kita takut perubahan. Kita terjebak pada kondisi status quo.
Kalau kembali pada pertanyaan di awal tadi, “Untuk apa anda hidup? Apakah untuk selalu menjelajah, mencari dan membuat yang terbaik untuk sesama menemukan kualitas hidup terbaik atau untuk menjadi pro status quo. Kalau terbaik untuk diri kita sendiri itu bukan hal yang baru. Tetapi berbuat dan memberi diri untuk orang lain saat ini semakin langka dan mahal saja.
Tokoh-tokoh dunia masa lalu yang berhasil memberi diri untuk orang lain sebut saja : Yesus, Mahatma Gandhi, Bunda Theresa. Di Indonesia kita punya Rm. Mangun dan Munir, tokoh HAM. Mereka memilih berpihak pada orang-orang terbuang, miskin, orang yang tak punya banyak pilihan dan tertekan dengan kondisi social, politik, budaya, pendidikan dan banyak kelemahan lain.
 Miskin tak selalu berarti tak punya uang, namun juga miskin jiwa, miskin pengetahuan, miskin susila, orang yang putus asa hingga terjerumus pada kehidupan yang sesat. Tokoh-tokoh yang penuh kasih tadi mendekati dan menyahabati orang-orang seperti itu, justru bukan orang yang sudah punya segalanya. Dan hasil kerja mereka jelas yaitu perubahan. Dari takut menjadi berani. Dari putus asa menjadi berpengharapan, dari tak berbudaya menjadi berbudaya. Semua dilakukan dengan dorongan kasih sayang. Dorongan yang muncul spontan, tanpa dibuat-buat, tanpa pamrih untuk mendapat pujian atau imbalan, dari seorang yang punya kepribadian kasih yang asli.
Setiap langkah kakinya, setiap ucapannya dan apapun yang menjadi kegelisahannya tak pernah berujung kepentingannya sendiri namun kepentingan sahabat-sahabatnya yang terpuruk, tertindas dan tersiksa. Kasih asli itu yang melahirkan keberanian. Keberanian melahirkan tindakan nyata yang terus-menerus memperjuangkan hak setiap insan ciptaan Tuhan. Progressnya jelas dan asli, juga tak dapat ditutupi, tidak palsu dan tidak plin plan. Bahkan kematiannya sendiri (secara ragawi) tak mampu menghentikan semangat kasih itu. Perjuangan itu memang tiada akhirnya. Terus menantang setiap pribadi yang menyimpan sifat kasih yang asli.
Sebenarnya dalam tiap pribadi kita telah ada sifat kasih yang asli tersebut. Kasih itu kadang tersimpan, mungkin karena masih ragu untuk muncul. Atau kadang pernah muncul namun karena sendirian dan sekali terlibas tekanan, lalu menjadi surut. Tetapi hal itu tak akan berlangsung lama. Pada saatnya nanti akan muncul kembali tanpa bisa dibendung. Karena semangat kasih itu tak pernah mati.
Pribadi dengan sifat kasih yang asli tak pernah tenang menjalani hidup hanya untuk kepentingan diri sendiri. Sifat kasih yang asli itu tak pernah takut / merasa rugi berkorban diri dan mendidik keluarganya untuk berempati pada penderitaan orang lain, betapapun itu sungguh sulit dilakukan. Karena tekanan keras itu kadang justru muncul bermula dari keluarga seperti suami/ istri sendiri atau lingkungan. Berbagai kecurigaan dan tuntutan kadang menyulitkannya dan menunda untuk mengekspresikan kasih yang asli. Tergantung seberapa kuat pribadi kita. Kalau sangat kuat, maka tentangan dari pihak manapun dan siapapun akan terlewati. Namun kalau lemah, jangankan pengaruh dari luar, keplin-planan dalam diri kita sendiri bisa menjadi penghalang.
Kadang kita masuk ke suatu lingkungan yang sebelumnya tidak kita duga namun di dalamnya kita dibentuk, diberi kesempatan luas, ditunjukkan dengan berbagai ketidakadilan untuk kita sikapi dengan kasih yang asli tadi. Diri kita benar-benar diperhadapkan tepat di depan mata pada tantangan untuk mengubah ketidakadilan menjadi adil. Namun kadang kita perlu waktu lama untuk memahami itu. Kalau kita hanya masuk saja kemudian kita justru sibuk dengan diri kita sendiri, kita akan kehilangan waktu untuk belajar menggali sifat kasih asli dalam pribadi kita.
Dalam perjalanan itu kadang keinginan untuk mengekspresikan cinta kasih itu malah menjadi boomerang bagi kita. Kasih yang kita tawarkan tak jarang ditangkap dan dimanfaatkan pihak lain untuk memukul balik kita. Lalu godaan yang paling besar adalah bila kita harus memilih menjaga itu atau mencari titik aman untuk diri sendiri. Hasilnya jelas dan tegas. Kalau menjaga sifat kasih itu, berarti langkah selanjutnya akan penuh kepahitan. Kalau mencari aman, ya berakhirlah kesempatan untuk menggali sifat kasih yang asli.
Namun kepahitan yang nampaknya sangat pahit sekalipun, bagi seorang pribadi yang kuat dapat menjadi manis. Itu bukan bualan kosong. Karena sebenarnya pahit/manis adalah sebuah proses singkat. Sedangkan bagian terpenting dari rasa itu adalah justru pada sikap kita sendiri. Sikap kita dapat mengubah sesuatu yang pahit menjadi manis. Karena kekuasaan kita berada di atas rasa itu, dan bukan rasa itu yang boleh menguasai kita. Artinya kepahitan itu biasa, kadang bisa melemahkan untuk sementara. Namun jangan biarkan menjadi luar biasa dan mengendalikan kita.
Keberadaan kita di suatu tempat adalah hasil peran banyak pihak, baik kita sadari maupun yang tidak kita sadari. Pertemuan kita dengan tempat dan orang baru pun bukan sekedar sebuah kebetulan. Semua itu dibuat oleh orang-orang dan kita sendiri. Semua itu patut disyukuri.
Dalam perjalanan pelayanan kita kepada masyarakat kita bertemu dengan penindasan, kekerasan dan ketidakadilan meski kadang itu tertutup, terbungkus rapi dengan selimut ketidakberdayaan, rendahnya pengetahuan dan pengalaman masyarakat, serta pertolongan semu yang justru semakin memerosokkan masyarakat pada lumpur yang lebih dalam. Lumpur kemiskinan. Kita begitu dekat dengan kemiskinan itu. Bahkan kadang kemiskinan itu adalah kita sendiri.
Kita punya banyak teori tentang kemiskinan. Kita pun telah lama berada dalam lingkaran kemiskinan itu namun, teori-teori itu tetap saja tak mampu untuk benar-benar menolong dan hasilnya tak pernah jelas. Selalu kabur, tak terukur dan kita enggan untuk masuk lebih jauh ke dalam jantung kemiskinan itu. Kita sering hanya berdiri di pinggiran saja, mengamati dari jauh, sehingga tak tampak jelas. Karena kondisi asli memang selalu tersembunyi. Kondisi yang membutuhkan peran kita untuk ikut menguraikannya. Sedangkan yang tampak jelas adalah hal-hal baik yang beres-beres, tanpa pengamatan yang seksama kondisi itu tampak oke-oke saja, tak mengundang pertanyaan.
Ketika kita datang di pinggiran saja dan membawa sekeranjang kasih yang berujud “pertolongan” kitapun merasa telah banyak berbuat. Lebih parah lagi kita merasa sudah sangat berjasa. Kadang pekerjaan itu membuat kita lelah, energi dan pikiran kita terkuras namun kita tak lebih hanya lewat saat itu dan tak ada jiwa yang menghidupkan “saat itu”. Ketika kita berlalu, tetap saja, tak ada perubahan. Kita hanya berlatih saja dan tak pernah terampil, mungkin karena tidak berani menggunakan perangkatnya ketika latihan untuk membiasakan diri di medan perang.
Apa yang utama kita cari sebenarnya? Hanya keberhasilan teknis menjalankan proyek, menyenangkan lembaga donor, atau keberpihakan pada masyarakat? Atau memikirkan diri sendiri? Atau sebenarnya kita sedang menjadikan masyarakat sebagai obyek dan kitalah pemainnya? Atau bagaimana? Mungkin sulit menjawabnya karena kadang kita terpaksa/ terjebak pada salah satu atau beberapa kondisi di atas dalam waktu yang bersamaan karena berbagai tekanan. Maka tak ada kelirunya kalau sekarang kita menganalisa diri : siapakah diri kita yang sesungguhnya.
Akankah selamanya kita puas hanya menjadi agen pembangunan, penyalur dana proyek dari lembaga donor hanya agar itu berjalan terus, tanpa peduli bagaimana perasaan/ apa kebutuhan masyarakat, pokoknya dibabat saja? Akankah mata hati kita tutup rapat-rapat dari pandangan relung terdalam sebuah realita? Ataukah kita mengelak dari kecenderungan itu dan tetap menganggap diri kita sudah memberdayakan masyarakat?
Dunia pemberdayaan masyarakat memang aneh. Kaya pengalaman nyata yang sangat variatif, mendidik dan tak selalu dapat diungkapkan dengan kata-kata. Kadang dianggap seperti malaikat, membantu tanpa pamrih, dsb. Tapi benarkah demikian?  Benarkah kita bukan seorang otoriter? Benarkah kita merangkum aspirasi masyarakat? Ataukah sebaliknya kita seorang otoriter yang berbaju ORNOP? Apakah kita hanya tampak seperti pelayan masyarakat namun sebenarnya kita seorang pembabat aspirasi masyarakat? Apakah hanya aspirasi kita sendiri yang terpenting untuk dilakukan. Hanya keinginan kita sendiri yang kita bebankan di pundak masyarakat. Apakah kita hanya ingin menikmati dan puas melihat orang lain menuruti kehendak kita sendiri tanpa mengerti tentang itu? Jawabnya ada dalam pribadi masing-masing kita. Sedalam apa kita menghayati: untuk siapakah kualitas diri terbaik kita persembahkan?


Salatiga, 16 Maret 2006

Eunike Widhi Wardhani
Tulisan dimulai awal Maret 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar