Rabu, 13 Februari 2013

Kedaulatan pangan bersama atau individu



Kedaulatan pangan, bersama atau individualis?

 “Mengapa harus mencuri, wong minta saja diberi? Mengapa harus lari saat dikejar, karena semakin kita berlari kita tidak pernah bisa berhenti. Kalau tidak bisa berhenti, maka kita tidak akan pernah merenung menghayati kehidupan ini. Ayo, masuk ke rumah saya, makan bersama saya. Nanti setelah makan, kamu ambil itu pisang, jagung dan kelapa untuk makan dan minum kalian”. Itu sekelumit kata-kata WS.Rendra dalam perannya sebagai Simbah dalam sebuah film : Lari dari Blora...

Di bagian awal  film itu dituliskan “harmony without the law” atau harmoni meskipun tiada hukum.
 Cerita di film itu menggambarkan bahwa harmonisasi hidup wong Samin (mereka juga senang disebut sebagai sedulur sikep) bisa terwujud lebih baik meskipun di desa itu tidak ada hukum yang mengatur rakyatnya secara ketat. Orang merasa tidak perlu surat nikah, KTP, sertifikat atau surat-surat lainnya, bahkan agama pun mereka maknai sendiri tanpa harus tunduk pada label atau ajaran dari luar komunitasnya. Segala hal dalam hidup diatur oleh kesepakatan bersama dan ditaati oleh semua pihak terutama kehidupan yang harmonis dengan alam dan hubungan dengan sesama.

Belajar dari wong Samin
Wong Samin begitu menjunjung tinggi kesepakatan mereka dan bangga dengan cara hidup mereka itu, meskipun masyarakat di luar komunitasnya, bahkan yang paling dekat pun melecehkannya, menganggap primitif dan tidak punya aturan. Padahal yang mereka jalankan, ya itulah aturan mereka.
Selama harmoni dengan alam itu dijaga, wong Samin tidak pernah kuatir kekurangan pangan karena mereka hanya mengambil makanan secukupnya untuk hidup.
Kehidupan Wong Samin sangat bertolak belakang dengan kehidupan di luar kelompok itu yang terlanjur mengedepankan ambisi-ambisi untuk menguasai orang lain, menguasai kelompok lain, mengusai negara lain, menguasai dunia. Dalam hal pangan, persis seperti itulah yang terjadi di kebanyakan negara di dunia ini. Semua Negara berperang strategi untuk menjelajah ke setiap penjuru dunia, melintasi batas-batas untuk berebut sumber pangan, sumber energy dan dan sumber air. Yang kuat itulah yang menang dan menguasai yang lain. Itulah globalisasi yang sudah menyatu dengan kehidupan kita, sudah lebih tua dari umur kita dan sudah masuk dalam aliran darah kita.
Wong Samin hanya satu contoh komunitas yang mampu bertahan dalam gilasan globalisasi pangan dunia. Ada suku Baduy di Jawa Barat, ada suku Boti di Rote NTT dan mungkin masih banyak yang lain di Indonesia ini yang belum tersentuh atau memang secara tegas menolak sentuhan globalisasi. Peradaban yang dianggap tertinggal itu, justru sekarang banyak dikagumi orang dan menjadi tempat belajar bagi banyak orang tentang kehidupan, pangan, air dan energy.

Pangan menjadi komoditas politik kepentingan
Pangan yang dulunya merupakan sebuah kebutuhan untuk hidup, berkembang dan memperoleh gizi yang cukup, lambat laun bergeser pada soal-soal bisnis pemuasan keinginan, kreativitas di dunia kuliner, trend dan iming-iming lain yang tak sekadar soal gizi untuk kebutuhan hidup manusia. Persoalan pangan masih menjadi polemic besar di Indonesia dari tahun ke tahun dari pemerintahan ke pemerintahan berikutnya dan dari kota besar sampai daerah perdesaan padahal Indonesia konon adalah negara agraris.
Negara yang disebut agraris (bernuansa pertanian) ternyata belum merupakan jaminan ketersediaan pangan yang cukup bagi rakyatnya. Sebaliknya Negara bukan agraris juga bisa menguasai pangan. Jadi apa kaitan sebuah sebutan Negara agraris dan bukan agraris bagi citra kecukupan pangan yang layak dan sehat di suatu negara? Secara logika, seharusnya berkaitan erat, tetapi kondisi riil bisa menunjukkan itu tidak berkaitan sama sekali.
Pembahasan mungkin bisa melebar ke soal ketahanan pangan atau kedaulatan pangan. Kalau Singapura yang makanan pokok rakyatnya beras, tidak pernah kekurangan beras padahal tidak punya sawah sedikitpun, berarti ketahanan pangannya kuat. Indonesia punya lahan subur dan sangat luas untuk memproduksi pangan sehat dan berkualitas, sumber daya alam berlimpah, sumber daya manusia pun sangat berlimpah. Seharusnya ketahanan pangan sekaligus kedaulatan pangan bisa terwujud di Indonesia. Tetapi kenyataannya bertolak belakang. Kita pemilik pangan tetapi pangan kita didikte. Harga kedelai kita didikte, kita diimporkan beras dari Thailand, diimporkan garam hanya karena kurangnya keberpihakan pemerintah pada pengembangan produksi garam rakyat, padahal wilayah Indonesia dikelilingi sumber garam. Produk buah impor, bawang impor, daging impor dan masih banyak produk impor lainnya juga menjajah pasar pangan Indonesia. Negeri kita penghasil kopi, kakao dan rempah-rempah terbaik di dunia, tetapi itu diekspor dalam bentuk bahan mentah, diolah negara lain dan produk jadinya kita beli dengan harga jauh lebih mahal, karena lagi-lagi kita lemah di pengolahan hasil pertanian. Kebijakan ekspor-impor tidak lagi berpegang pada kebutuhan rakyat tetapi sarat nuansa politik kepentingan. Itulah seretan arus globalisasi yang kita rasakan saat ini, banyak kepentingan yang berlomba-lomba menguasai kebijakan suatu negara.

Menghargai potensi yang dimiliki
Kembali pada penghormatan terhadap sumber-sumber pangan yang dilakukan wong Samin, kita hendaknya memahami dan memahamkan semua orang bahwa pangan sudah seharusnya diletakkan pada posisi hak semua orang untuk mendapatkan, tidak boleh ada monopoli, tidak boleh ada satu orang atau kelompok menguasai pangan sedangkan orang lain tergantung padanya.
Dalam persoalan air, pangan dan energi nasional (juga kekayaan alam lainnya), kita semua perlu kembali memahami UUD 1945 pasal 33 yang menjadi dasar pengelolaan sumber-sumber daya air, bumi dan kekayaan alam Indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kiranya esensi dari UUD 1945 itu tidak boleh sekadar dibaca secara formal pada upacara-upacara 17 Agustusan, tetapi dipahami isinya, karena itu merupakan komitmen para pendiri negara ini termasuk seluruh rakyat saat menyelenggarakan republic ini. Generasi penerus sekarang ini perlu meneruskan pemahaman yang sama dengan para pendiri negara Indonesia waktu itu.
Jiwa kebersamaan ini yang mulai pudar karena terlibas oleh jiwa individualis yang egois. Jiwa individualis itu yang sekarang lebih mewarnai sikap dan perilaku mulai dari para pemimpin sampai rakyat di era globalisasi ini.
Oleh karenanya Bung Karno pernah mengatakan jiwa Negara kita Pancasila. Dan kalau Pancasila diperas lagi maka hanya satu sila yakni gotong-royong. Karakter gotong royong itu yang kini hilang dalam diri bangsa kita yang amat heterogen dan merupakan wilayah negara kepulauan ini. Heterogenitas bisa menjadi kelemahan karena mudah untuk dipecah belah oleh pihak luar (sudah terjadi), tetapi sebenarnya merupakan kekuatan yang tidak dimiliki bangsa lain karena bisa saling melengkapi dengan potensi yang sangat bervariasi (belum dicoba serius).
Cengkeraman penguasaan pangan dunia tidak lepas dari penguasaan air dan energy. Tahukah anda, bahwa para pelaku eksploitasi sumber-sumber pangan, air dan energy dunia sudah meng-kapling-kapling wilayah Indonesia ini di peta mereka untuk ditambang kapan saja sesuai kebutuhan layaknya milik nenek moyangnya sendiri dan untuk kekayaan mereka sendiri? Demikian juga cengkeraman globalisasi-neoliberalisasi terhadap dunia pangan Indonesia. Kita sendiri yang seharusnya menentukan sikap untuk kedaulatan pangan bersama rakyat Indonesia.

Langkah alternatif
Wong Samin yang tinggal beberapa tempat di kabupaten Pati dan Grobogan, mengajarkan kita bahwa sebenarnya orang tidak perlu berebut pangan, bahkan harus mau berbagi dengan orang lain yang lapar dan membutuhkan pangan. Mereka berprinsip untuk mengambil pangan secukupnya yang dibutuhkan, bukannya mengambil lebih untuk dijual agar menjadi kaya. Ada hak orang lain untuk mengambilnya juga sesuai kebutuhan. Mereka sudah menemukan harmoninya sejak seabad yang lalu, sementara orang lain masih bingung mencarinya. Walaupun datang dan belajar pada wong Samin tetap saja berperilaku hidup serakah, nggrangsang dan bermental ndremis.
Bagaimana relevansi cerita itu dengan kerja-kerja pengorganisasian di dunia pangan, air dan energy?
Pengembangan pangan, air dan energy yang seperti apa yang menjadi perjuangan bersama kita? Siapa musuh bersama kita dan apa stretegi yang konkret bisa kita lakukan bersama? Haruskah kita mengikuti cara hidup wong Samin? Tentu tidak harus seekstrem itu. Lalu bagaimana caranya?
Kembali ke soal pangan, secara local langkah konkret bersama untuk membangun kedaulatan adalah :
1.       Kenali dan sadari dulu bahwa kita kaya akan potensi-potensi local pangan dan energy. Umbi-umbian, beras, buah, sayuran, kopi, kakao, cengkeh, teh, berbagai jenis tanaman obat herbal, produk ternak : daging, telur, susu, produk perikanan, dsb.
2.       Kembangkan potensi local itu secara mandiri, tidak perlu menunggu instruksi dari orang lain : pak RT, pak lurah, bupati atau presiden. Yang bisa dilakukan, langsung dilakukan dengan menangkarkan benih dan bibit tanaman pangan dan ternak local yang ada.
3.       Kembangkan jiwa kebersamaan dengan berorganisasi yang bermanfaat bagi seluruh anggota, bukan organisasi untuk menguasai pangan, air dan energy orang lain.
4.       Kurangi atau sebisa mungkin hentikan konsumsi produk pangan impor (beras, buah, sayuran, daging, ikan, susu, telur,dsb) di keluarga kita dan konsumsilah produk-produk local Indonesia. Jangan terkecoh oleh penampilan produk impor yang lebih segar dan harga murah, karena penentuan harga tersebut hanya strategi sementara untuk menghajar produk local kita. Kalau produk-produk pangan kita sudah dilumpuhkan (tidak laku), maka harga produk impor akan dinaikkan, saat itu kita sudah tidak bisa mencari produk local karena sudah dipunahkan di pasaran.
Kedaulatan pangan nasional dibangun dari kedaulatan pangan local, sehingga kunci keberhasilannya terletak pada komitmen seluruh rakyat Indonesia untuk mengembangkan potensi pangan local.


Salatiga, Pebruari 2012


Eunike Widhi Wardhani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar