Senin, 23 Januari 2017

Cerita tentang aktivitas pendampingan Trukajaya di perdesaan




Lembaga kami Yayasan Kristen Trukajaya didirikan pada tanggal 6 mei 1966 berkantor di Salatiga. Saat ini beralamat : Jl. Cemara II No. 65 Salatiga namun aktivitas pendampingan kami di kabupaten Grobogan, Boyolali, Semarang, Klaten, Purworejo. Desa-desa yang kami dampingi tersebar di 5 kabupaten tersebut dan sebagian kecil program kami di Kota Salatiga sebagai lokasi kantor kami. Masyarakat yang kami dampingi adalah masayarakat desa miskin, petani kecil, buruh tani dan pengusaha kecil perdesaan.
Kondisi budaya sejarah dan lingkungan masyarakat yang kami dampingi memiliki cerita tersendiri yang dimulai sebagai berikut: pasca kemerdekaan RI, banyak masyarakat desa di Jawa yang padat penduduk mulai mengalami kemiskinan dan kelaparan. Pemerintah mempunyai program transmigrasi, untuk memindahkan penduduk pulau Jawa ke luar Jawa. Trukajaya didirikan awalnya untuk membantu masyarakat miskin di perdesaan Jawa Tengah transmigrasi ke Sumatera. Trukajaya memberi pembekalan sebelum berangkat dan mendampingi masyarakat desa di lokasi tujuan transmigran sampai mereka dapat hidup secara mandiri. Namun pada tahun 1980-an program transmigrasi hanya boleh ditangani oleh pemerintah, dan Trukajaya mengalihkan bidang pelayanannya kepada pengembangan masyarakat desa hingga sekarang.
Entah mengapa kemiskinan tidak pernah lepas dari masyarakat desa di Jawa. Budaya “nrimo” sangat menonjol, yaitu mereka terbiasa menganggap kemiskinan adalah suatu keadaan yang harus diterima tanpa berusaha. Sejarah komunitas yang didampingi oleh Trukajaya tidak lepas dari sejarah bangsa Indonesia secara umum. Kekuasaan yang bernuansa otoriter sangat mempengaruhi terbentuknya karakter komunitas ini. Cerita dari desa Rambat yang saya tulis di jawaban individu saya, adalah salah satu contoh pengaruh sejarah kekuasaan yang membentuk karakter masyarakat dengan hadirnya proyek bendungan Kedungombo yang kebetulan berlokasi di desa Rambat.
Dari aspek lingkungan, 2 dekade yang lalu tanah Jawa terkenal subur dan produktif untuk pertanian. Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan pangan dan tempat tinggal juga meningkat. Untuk memenuhinya, petani memaksa tanah pertaniannya agar produktivitasnya meningkat dari tahun ke tahun dengan penggunaan benih unggul hasil rekayasa genetika. Pupuk kimia diberikan secara berlebihan. Untuk mengatasi hama dan penyakit tanaman, petani menggunakan pestisida kimia secara berlebihan pula, sementara luasnya secara pasti berkurang. Kampanye penggunaan pupuk dan pestisida kimia dilakukan gencar oleh perusahaan-perusahaan pupuk, benih dan pestisida kimia. Petani mulai tergantung pada input-input kimia tersebut dan lupa bahwa tanahnya sudah menderita menanggung segala racun yang diberikan.
Keadaan itu menyebabkan tanah bukan meningkat produktivitasnya tetapi malah rusak, kesuburannya menurun dan petani kecil di perdesaan tidak memiliki tanah yang cukup untuk melakukan usaha produktif pertanian. Petani di Jawa Tengah tergolong dalam petani berlahan sempit, dengan luas lahan garapan kurang dari 5000 m2 dan itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Berbagai himpitan dan desakan kebutuhan ekonomi sering mendorong petani untuk pergi meninggalkan desanya dan meninggalkan aktivitas pertanian mereka untuk mencari penhidupan di kota. Nampaknya fenomena itu terjadi di mana-mana di wilayah Indonesia.
Desa semakin ditinggalkan dan tidak menarik bagi masyarakat desa itu sendiri. Padahal desa merupakan tempat produksi pangan untuk memberi makan semua orang. Hal itu diperparah dengan kurang berpihaknya pemerintah terhadap pembangunan desa.

Eunike Widhi Wardhai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar