Kamis, 27 Oktober 2016

Indahnya harmoni




Satu pembelajaran berharga dari kehidupan bersama di Asian Rural Institute

Saya terinspirasi dari lagu-lagu indah yang dinyanyikan siswa Dokuritsu Gakuin High School, begitu harmony dan sangat berkesan. Saya sempat membayangkan anak-anak saya menjadi bagian di dalam komunitas itu dan menyanyikan lagu-lagu yang seindah itu.

Di dalam harmoni selalu ada perbedaan: perbedaan pendapat, perbedaan pemikiran, perbedaan karakter, perbedaan latar belakang pendidikan dan budaya, perbedaan agama, perbedaan prinsip hidup. Perbedaan menjadi konflik dalam kehidupan ini, itu hal yang wajar. Ada konflik itu juga pertanda bagus dalam komunitas, jadi jangan alergi terhadap konflik, jangan takut berkonflik….tetapi….kita adalah orang-orang dewasa, di sini kita belajar kepemimpinan, bahkan servant leadership…saya selalu tertarik dengan topic ini.

Saya tertarik dengan morning gathering  Rudi, teman sesama dari Indonesia di suatu pagi dalam Rural Community Study Tour, Uncle Timo juga mengatakan MG Rudi waktu itu sangat pendek tetapi maknanya sangat dalam. Eunike tidak pernah mengenal Ernest dari Malawi sebelumnya, Rudi tidak pernah mengenal Motoki dari Korea sebelumnya, Eh-Thaw dari Myanmar belum pernah mengenal Mario dari India sebelumnya, tetapi keajaiban cinta dan harmony menyatukan semua perbedaan di tempat itu, sebagaimana kuali adukan yang isinya sup. Kalau hanya air bukan sup namanya. Air dan garam saja, juga bukan sup. Sup pasti mengandung bahan-bahan, air dan bumbu sehingga rasanya sedap. 

Sepanjang 13 tahun, saya dan direktur saya (pimpinan di sending body saya) sering berkonflik, beda pendapat, kadang juga ada prasangka buruk di antara kami, tetapi entah mengapa dia selalu memberi saya kepercayaan untuk memegang program-program yang riskan. Sebaliknya, saya juga sering jengkel kepadanya karena di forum dia sering mengambil keputusan sepihak tanpa mempertimbangkan pendapat anak buahnya, tetapi entah mengapa saya selalu datang padanya untuk meminta pendapat saat saya mengalami kesulitan. Saya menemukan bahwa kami berdua adalah tim yang kuat dan efektif dalam meraih sebuah tujuan besar. Meskipun kami tahu kami tidak saling menyukai dan sebenarnya tidak nyaman bila berdekatan. Saya tidak akan pernah menjadi sama dengan beliau, begitu pula sebaliknya. Tetapi darinya saya belajar untuk memandang hidup ini tidak hitam dan putih. Darinya saya belajar bagaimana yang lemah juga dipandang berarti dalam komunitas, tidak hanya yang kuat.
Belajar bukan berarti hanya melihat yang baik. Belajar adalah mengamati hal yang baik dan buruk, kemudian menganalisanya dan mengambil intisarinya dengan hanya menggunakan hal yang baik, bukan  bagaimana melakukan hal yang buruk. Bukan juga mencampurnya. Kita meyakini pertanian kimia itu buruk, jadi jangan dilakukan. Sebelum meyakininya, kita melihat, mendengar dan belajar dan menjadi paham bahwa itu tidak untuk dilakukan karena berbahaya untuk kehidupan. Kita mempelajarinya dengan cara mengamatinya, bukan untuk mengikuti/ melakukannya, kan? Tetapi untuk mengetahui mengapa berbahaya, bagaimana cara kerjanya sehingga berbahaya, siapa yang diuntungkan-siapa dirugikan dari penggunaan bahan kimia itu, dlsb. Untuk itu kita tidak perlu alergi atau menjauhi mereka yang beraktivitas kimia, tetapi kita punya ketetapan hati pada gaya hidup organik sebagai sebuah gerakan dan kita yakini itu yang benar.

Saya tertarik motto/ prinsip di Dokuritsu Gakuin, sebuah sekolahan di suatu desa di Jepang, setingkat SMU yang berbunyi :
Takutlah kepada Tuhan, bukan kepada manusia. 

Untuk kesekian kalinya aku bersyukur menjadi bagian dalam pembelajaran di ARI 2014. Komunitas ini tiada duanya di dunia, mari bersyukur untuk kehadiran setiap orang di dekat kita, tanpa mereka kita tidak bisa menjadi yang sekarang ini.  
Kita benar-benar tidak perlu memaksa diri menjadi sama dengan orang lain. Biarlah harmoni itu tumbuh dalam perbedaan alami, termasuk harmoni dengan alam. Dalam kepemimpinan kita belajar memimpin alam ini tetapi pada saatnya juga memberi kesempatan alam untuk menjadi pemimpin dan kita yang dipimpin. 
Prinsip itu juga bisa kita gunakan dalam menjaga harmoni dengan sesama. Jika kita tidak suka kepada seseorang atau kita tidak disukai olehnya, jangan menghindarinya, justru kesempatan kita untuk melatih diri sendiri menjadi pemimpin sejati. Mampukah kita memimpin perasaan tidak suka dalam hati kita agar tidak menguasai kita, tetapi kitalah yang berkuasa terhadap perasaan itu. Kebanyakan orang yang lemah memilih jalan termudah: merengek minta dipindahkan, menarik diri atau berusaha menyingkirkan orang yang tidak kita sukai itu. Itu pertanda kita tidak cukup berkapasitas sebagai pemimpin. Ketika kita sangat membenci seseorang, tetapi kita masih bisa melakukan hal terbaik bersama orang itu, itulah leadership yang sesungguhnya.
Kita tidak perlu memaksa diri untuk suka kepada orang lain atau memaksa orang lain suka kepada kita tetapi bagaimana hidup dalam kondisi tidak disukai atau tidak suka kepada orang lain tetapi tetap saling menghargai bahwa keberadaannya sama penting dalam komunitas. Itu ranah pribadi.
Tetapi ketika bicara soal ranah komunitas atau lembaga, tidak boleh mengedepankan ranah pribadi. Lembaga punya aturan jelas dan itu berlaku untuk semua setara dan tidak membuka tawar-menawar. Di situlah kualitas dan kapasitas seorang pemimpin diuji apakah dia pemimpin sejati ataukah abal-abal.

Pemimpin sejati selalu menghadirkan harmoni, bukan membatasi harmoni. Harmoni itu perbedaan tetapi menghasilkan keindahan, bukan perpecahan atau intrik jegal-menjegal, itu sama sekali tidak indah.
Sebagai penutup baiklah saya mengutip ucapan seorang pemimpin sejati; dia mati ditembak sebagai pahlawan yang memperjuangkan hak-hak azasi manusia. Begini katanya:

“Everybody can be great because anybody can serve. You don’t have to have a college degree to serve. You don’t have to make your subject and verb agree to serve. You only need a heart full of grace. A soul generated by love.” – Martin Luther King Jr. 

 Terjemahan bebasnya: “Setiap orang dapat menjadi besar karena siapa saja dapat melayani. Anda tidak perlu memiliki gelar akademis agar dapat melayani. Anda tidak perlu membuat subjek dan kata-kerja anda setuju untuk  melayani. Yang anda butuhkan adalah sebuah hati yang penuh rahmat. Sebuah jiwa yang dibangkitkan oleh kasih.” – Martin Luther King Jr.




catatan Eunike dari Rural Community Study Tour ARI 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar