Rabu, 13 Februari 2013

BDA



Tropical Biodynamic Agriculture
(Pertanian biodinamis di daerah tropis)
oleh : Eunike Widhi Wardhani

Konsep Biodynamics Agriculture (BDA) atau pertanian biodynamis adalah pertanian sebagai sebuah integrasi antara organisme dalam tanah, siklus nutrisi, perawatan tanah, kesehatan tanaman, ternak dan tentunya petani sebagai pengelolanya. 



Pendahuluan



Biodynamics Agriculture. Mendengar atau membaca istilah itu kali pertama mungkin membuat kita mengernyitkan dahi. Padahal tanpa memahami arti istilahnya, banyak petani Indonesia menerapkan teknologi tersebut. Perintisnya di banyak tempat juga biasanya petani. Meskipun demikian seluk beluk di dalamnya perlu dipelajari lebih mendalam. Ibarat sebuah lukisan atau hasil karya seni lainnya haruslah dibuat dengan penuh kesadaran dan keseriusan tingkat tinggi, bukan tanpa sadar ataupun asal-asalan saja. Apa maksudnya ya? Kita akan belajar bersama dari hasil diskusi sehari tentang Tropical Biodynamic Agriculture yang disampaikan oleh seorang petani bernama Tom Meredith dari Australia yang berhasil dihadirkan oleh Trukajaya.
Teknologi Biodynamics Agriculture (BDA) telah dikembangkan cukup lama dimulai oleh seorang peneliti Austria bernama Rudolf Steiner pada tahun 1924. Adapun tokoh-tokoh BDA di Australia Ernesto Genoni, Melbourne (1927), William, Sidney (1939), dan sejak 1950 BDA di Australia dikembangkan oleh Alexei Podolinsky yang menjadi guru praktis dari Tom Meredith.

Profil Tom Meredith

Lajang berusia 52 tahun ini bernama lengkap Thomas Meredith. Dia seorang geologist (ahli ilmu tanah) dan pada tahun 1977-1984 menjadi dozen Geologi di James Cook University Townsville North Queensland, Australia. Sejak menjadi mahasiswa geologi di universitas yang sama, rupanya Tom sudah tertarik dengan dunia pertanian ramah lingkungan dengan mengembangkan kebun sayur organik.
Sebenarnya Tom ingin mempelajari pertanian di universitasnya tetapi belum menemukan guru terbaiknya. Akhirnya di tahun 1984 itu dia membeli lahan “sakit” bekas perkebunan tebu yang sarat input kimia sebelumnya. Lahan seluas 42 hektar di Queensland Utara itu mengalami kerusakan sangat parah, sulit diolah dan tidak produktif karena setiap tanaman yang ditanam di lahan itu tidak menghasilkan panen apapun. Di lahan itu Tom belajar tentang pertanian organik tropis dari pengetahuan pertanian organik berdasar sistem pengelolaan suhu selama 4 tahun. Akhirnya dia berhasil menyembuhkan lahan itu, dan sejak 1988 Tom si petani ini mulai mendirikan perusahaan pertanian organic komersial dengan nama “TROPICAL ORGANIC PRODUCE”. Hingga sekarang (jadi 22 tahun) Tom menjadi petani yang memasok produk organic di pasar-pasar Australia.

Pengamatan Tom terhadap pertanian di Pulau Jawa

Trukajaya berhasil menghadirkan Tom Meredith atas kebaikan Yos Suprapto, seorang rekan studinya di James Cook asal Banyuwangi yang kini tinggal di Kaliurang Yogyakarta. Yos Suprapto adalah seorang pemerhati lingkungan.
Sebelum ke Salatiga, Tom berkeliling pulau Jawa yaitu di daerah suku Badui Banten, Banyuwangi Jawa Timur dan Wonogiri Jawa Tengah. Tom menyatakan keheranannya mengapa di Pulau Jawa yang merupakan tanah subur terbaik di dunia, petani harus menggunakan urea atau pupuk kimia lainnya? Penambahan pupuk kimia sangat disayangkan karena tanah pertanian di Indonesia secara umum sudah subur karena letusan gunung berapi yang banyak mengandung abu dan batu-batu vulkanik. Dalam proses lambat, bahan-bahan tersebut menghasilkan mineral-mineral dan membuatnya menjadi tanah terbaik dan terkaya di muka bumi.
Tom menyebutkan penggunaan pupuk N, P, K sebenarnya hanya untuk tanah yang tidak subur. Bahkan pemberian N,P dan K berlebihan dapat mematikan humus yang mengandung karbon, merusak struktur tanah, meningkatkan erosi dan menjadikan obesitas (kegemukan) pada tanaman. Segala yang berlebihan memang tidak baik, tak terkecuali tanaman yang sebenarnya sudah tumbuh sehat dan produktif tetapi masih ditambah pupuk kimia, bahkan pemberiannya oleh petani sering melebihi dosis anjuran. Hal itu sesuai dengan pengakuan petani padi di Klaten, bahwa dosis seharusnya 75 kg urea tetapi petani memberi 120 kg, dengan alasan supaya tanamannya nampak hijau dan subur. Hal itu berlangsung puluhan tahun, sehingga tanah yang semula subur, kini menjadi rusak. Dapatkah kondisi itu diperbaiki? Jawabnya dapat yaitu melalui pertanian biodinamis.
Tom menyebutkan ketika melalui deretan pegunungan Kendeng, dia menemukan bahwa tanah di pegunungan Kendeng mengandung dioksida silicone. Bahan tersebut yang memiliki daya luar biasa yang dapat dimanfaatkan untuk menyembuhkan tanah karena dalam penelitiannya bahan tersebut telah terbukti dapat memperbaiki kehidupan biologi tanah.
Tom sempat melakukan pengamatan terhadap cara hidup masyarakat Kanekes (Suku Baduy). Dia pun berkesimpulan bahwa masyarakat Kanekes yang dianggap kuno dan sangat tertutup justru lebih menghargai dan menjaga keseimbangan alam dibanding komunitas lain yang dianggap lebih berbudaya.

Seminar sehari

Dalam seminar ini Tom dibantu Pak Yos Suprapto sebagai penerjemah, membagikan pengalamannya mulai dengan menggarap lahan seluas 42 hektarnya itu. Tahun pertama Tom menanam semacam jahe di lahan tersebut dan pada waktu panen, hanya mendapatkan 5 kg per hektar. Suatu bukti akan rendahnya kesuburan tanah itu. Ya, sangat rendah. Namun sekarang lahan tersebut sudah berubah total menjadi lahan subur, sehat dan produktif dengan pemberian kompos yang berkualitas. Untuk terampil dan berhasil membuat kompos berkualitas, dirinya memerlukan waktu bertahun-tahun.
Di samping itu dia juga meneliti beberapa tanaman untuk bahan pestisida alami. Pestisida andalan hasil penelitiannya yang diajarkan kepada peserta adalah fermentasi daun cemara (Casuarina, sp). Caranya daun cemara dimasukkan ke dalam drum hingga drum penuh namun tanpa ditekan-tekan. Setelah itu ditambahkan air hingga daun cemara terendam kemudian direbus hingga mendidih beberapa lama, didinginkan, ditutup dan dibiarkan agar terjadi fermentasi tanpa penambahan bakteri apapun selama 3 hari hingga air berwarna seperti air teh dan berbau harum. Setelah terfermentasi, larutan dicampur dengan air biasa dan diaplikasikan dengan cara disemprotkan ke bagian atas dan bawah daun atau buah yang terkena penyakit. Fermentasi daun cemara dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit akibat jamur dan bakteri.
Tom mengerjakan lahan seluas itu sendiri. Hanya saat-saat tertentu seperti pengolahan tanah atau panen, dia memerlukan tenaga kerja tambahan. Sangat kontras dengan kondisi pertanian di Indonesia di mana luas lahan garapan seorang petani dampingan Trukajaya hanya 0,35 hektar, itu pun bukan miliknya sendiri.
Tom memang sengaja memilih lahan yang rusak untuk mengetahui perbandingan kondisi awal dengan kondisi akhir dalam penerapan BDA. Dia menerapkan ilmu BDA dengan penuh ketelatenan di bawah pengarahan Alexei Podolinsky tahun 1990-1994. Pengembangan secara luas metode BDA adalah  menggunakan pupuk organic, menanam tanaman penutup tanah dan melakukan rotasi tanaman.
Pupuk organic untuk mendukung kehidupan mikrobia tanah dan menyuburkan tanah secara keseluruhan. Penggunaan tanaman penutup tanah berupa LCC (Legume Cover Crop) terutama  karena LCC pada umumnya memiliki bintil akar akibat infeksi bakteri Rhizobium dalam tanah, sehingga bintil akar tersebut dapat mengikat Nitrogen bebas dari udara, maka tak perlu urea, kemudian fungsi lain menguatkan teras, menahan pencucian tanah oleh air hujan serta mendukung keseimbangan biologi tanah. Adapun rotasi tanaman dilakukan untuk memutus siklus hama dan penyakit. 
 Pertanian Organik memang sudah dikenal di Indonesia. Namun menurut Tom, banyak petani Indonesia yang membuat kompos secara asal-asalan atau tidak diproses lebih dulu sehingga kompos berbau. Bagi yang cukup familiar lewat pegunungan di Jawa Tengah, contohnya areal pertanian di Kopeng lereng Merbabu atau tempat lain yang di pinggir areal itu terdapat bertumpuk karung pupuk organic yang berbau busuk. Padahal kompos seperti itu akan berpengaruh buruk pada kesehatan tanah dan pertumbuhan tanaman.
Semua bahan organic dapat dibuat dikomposkan, tetapi kunci membuat kompos yang baik adalah :
  1. Kondisi hangat
  2. Kalau terlalu basah akan busuk, kalau terlalu kering akan terlalu lama jadinya
  3. Pembuatan kompos harus di atas tanah, bukan di atas alas semen atau bahan lain.
  4. Ada sirkulasi udara, bukan anaerob.
  5. Kompos tidak dibuat di bawah pohon
  6. Kompos tidak berbau busuk tetapi berbau harum
  7. Kompos yang baik, jika dipegang berbentuk, tetapi saat dilepas langsung pecah.
Tom menyarankan tidak membuat kompos dari kotoran manusia, karena biasanya mengandung bermacam-macam patogen sehingga sulit dikontrol.

Belajar dari kearifan lokal

Dalam seminar ini, dihadirkan pula Dr. Yohanes Hendro Agus dari Fakultas Pertanian UKSW untuk memberi second opinion atau menanggapi penyampaian Tom Meredith tentang BDA. Pak Yohanes justru punya pengalaman pernah masuk ke dalam lingkungan suku Badui dan tinggal di sana selama 2 bulan. Suku Badui di Banten terkenal sebagai masyarakat yang anti teknologi modern, hidup apa adanya, mereka dapat hidup dengan mengambil buah dan sayuran di kebun untuk makan secukupnya, cukup 1 baju kalau belum rusak tidak perlu ganti, mereka tidak punya keinginan beli televisi, beli mobil atau barang-barang lain, tidak membangun rumah tembok, dan berbagai aturan lain yang mencerminkan kesederhanaan. Mereka justru punya otoritas penuh mengatur wilayahnya tanpa campur tangan pihak luar termasuk otoritas untuk menjaga keseimbangan alam, tidak mengeksploitasinya. Contoh di Jawa Tengah yang hampir mirip adalah masyarakat Samin di Blora Jawa Tengah dengan hidup sederhana, justru lebih pandai menjaga kelestarian lingkungan
Tentang BDA, Pak Yohanes juga menyatakan pada intinya BDA menjaga keseimbangan siklus berbagai unsure dalam pertanian organic.



Salatiga, Pebruari 2010



 Eunike Widhi Wardhani

(diambil dari catatan hasil seminar BDA yang diselenggarakan oleh Trukajaya pada tanggal 10 Pebruari 2010 di aula Sinode GKJ Salatiga-Jawa Tengah-Indonesia)


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar