Jumat, 20 September 2013

kethoprak humor kampanye pangan lokal



Bendol Ulang Tahun…
(Kampanye pangan lokal bersama Langen Ciptaning Rukun Desa Lembu)

Bendol                 : “Mbok…dino iki aku ulang taun lho mbok, aku njaluk ditukokke panganan kanggo ulang taunku”/ (Mbok, hari ini ulang tahunku lho Mbok, aku minta dibelikan makanan untuk ulang tahunku)
Mbok Sugi             : “Lha kowe kepengin panganan opo Le?”/ (Lha kamu ingin dibelikan makanan apa Nak)
Bendol                   : “Aku pengen ditukokke roti, hamburger, pitsa, pokoke panganan enak-enak kae lho mbok…tukokno yo, nggo ulang taunku”/ (Aku ingin dibelikan roti, hamburger, pizza, pokoknya makanan enak-enak itu lho mbok…belikan ya, untuk ulang tahunku)
Mbah Sugi             : “O, mangkono penjalukmu Le? Nek ngono simbok menyang pasar arep tuku panganan kuwi yo Le”/ (O, begitu permintaanmu Nak? Kalau begitu Simbok berangkat ke pasar, akan membeli makanan itu ya Nak)

Mbok Sugi berangkat ke pasar, tetapi di perjalanan dia terkenang masa kecilnya. Orang tuanya  memberikan makanan umbi-umbian kepadanya. Ingatan itu mendorong, Mbok Sugi untuk membuat makanan berbahan umbi-umbian yang tumbuh di pekarangan. Mbok Sugi mengurungkan niatnya pergi ke pasar, dia berbalik pulang dan langsung menuju kebun belakang rumahnya untuk mengambil uwi, gembili, ketela dan ganyong. Mbok Sugi tidak jadi membeli roti, hamburger dan pitsa, tetapi justru memutuskan memasak makanan dari umbi-umbi tanamannya itu untuk disajikan pada ulang tahun si Bendol, anaknya.
Dagelan ini semakin seru dan lucu tetapi yang mengagumkan adalah tetap mengandung makna yang mendalam. Awalnya Bendol marah ketika mengetahui simboknya tidak memenuhi permintaannya untuk membeli roti, pitsa dan hamburger melainkan nyelok (mencari umbi-umbian di pekarangan). Mbok Sugi membujuk Bendol untuk menerima makanan dari pekarangannya itu, karena berdasarkan pengalaman dirinya sejak kecil hingga tua ini, Mbok Sugi sehat dan tidak kekurangan pangan karena di pekarangan rumah selalu tersedia umbi-umbian dan bahan pangan lainnya. Tetapi Bendol tetap menganggap makanan dari uwi, gembili, ganyong dan singkong itu tidak enak, tidak keren dan memalukan kalau disajikan di pesta ulang tahunnya. Karena takut nantinya malu, Bendol memaksa Mbok Sugi membeli roti di Warung Mbok Surti tetangga mereka. Tak kurang akal, Mbok Sugi membayar roti yang dibelinya itu dengan uwi, gembili, ketela dan ganyong yang diambil dari pekarangannya tadi. Tentu saja Mbok Surti marah dan menolak pembayaran secara barter itu. “Mbok Sugi, aku kulakan nganggo duwit. Aku ora iso nampa nek dibayar nganggo barang elek-elek koyo ngono, wong daganganku iki roti lan donat, sing apik-apik ngene kok mung diijoli uwi, gembili, telo, ganyong, yo ora level to Mbok Sugi”/ Mbok, saya kulakan pakai uang, saya tidak bisa menerima kalau dibayar barang jelek-jelek seperti itu, wong dagangan saya roti dan donat yang bagus-bagus begini kok cuma ditukar uwi, gembili, ketela dan ganyong, tidak level Mbok Sugi”. Di tengah perdebatan sengit itu, muncullah Pak Bekel yang kemudian menengahi dan mendamaikan semua pihak dan menjelaskan bahwa potensi pangan lokal desa harus dikembangkan, tidak perlu tergantung pada pangan impor. Muatan inti kampanye ini disampaikan oleh Pak Bekel di akhir cerita.
Itulah sepenggal dari seluruh cerita Kethoprak Humor Kelompok Kesenian Langen  Ciptaning Rukun (LCR) Desa Lembu Kec. Bancak Kab. Semarang yang bertajuk “Sepele Mrantasi Gawe” pada pembukaan workshop kerja sama pemerintah-Desa Lembu-Trukajaya-FISKOM UKSW 4 April 2013 . Cerita selengkapnya dapat anda saksikan di www.facebook.com/eunike.
Tema kampanye yang dibawakan adalah menghargai kembali potensi pangan lokal di tengah penjajahan pangan impor.
Suatu tema berbobot yang dibawakan dengan gaya sederhana namun cerdas dan mengena. Itulah penampilan kelompok kesenian dari desa Lembu Kec. Bancak Kab. Semarang ini. Sugiyanto yang berperan sebagai Mbok Sugi sekaligus pengatur scenario cerita, mengaku bahwa untuk penampilan itu mereka tanpa persiapan naskah (script) ataupun latihan. “Walah, boten latihan mbak, wong nembe wau ndalu dikandani, terus ngumpul, rembugan isi critane, terus mbagi peran, paling nyepakke sandhangan kaliyan pupur-benges thok, niku mpun dho duwe, mpun ngoten thok, isuke langsung tampil. Mpun biasa main kethoprak, srandul lan campur sari kok Mbak”/ “Walah, tidak latihan mbak, wong baru semalam diberitahu, lalu berkumpul, membahas isi ceritanya, lalu pembagian peran, paling-paling menyiapkan kostum dan bedak-lipstik, itu kami sudah punya, sudah itu saja, paginya langsung tampil. Sudah biasa main kethoprak, srandul dan campur sari kok Mbak “.  Demikian penuturan Sugiyanto ketika diminta oleh pendamping Desa Lembu untuk menjelaskan tentang persiapan sebelum penampilan mereka. Di luar tema kampanye, profil Sugiyanto sendiri cukup menarik untuk ditulis (mungkin dapat dimuat pada terbitan yang akan datang sesuai temanya). Laki-laki aktivis seni, asli dari Desa Lembu ini sering memerankan sebagai perempuan, seperti Tessy Srimulat dan selalu menjadi tokoh sentral yang menghidupkan cerita.
Trukajaya bekerja sama dengan masyarakat desa Lembu mengusung program ketahanan pangan. Pembelajaran yang dapat diambil dari kampanye itu adalah bagaimana kita menempatkan pangan lokal pada tempat terhormat, penting dan harus dikonsumsi oleh orang Indonesia. Uwi, gembili, kimpul, suweg, ganyong adalah umbi-umbian sumber karbohidrat di desa-desa yang mulai dilupakan, bahkan dibuang karena dianggap tidak layak dimakan, tidak enak dan tidak keren. Sebaliknya berpuluh-puluh tahun yang telah lewat kita lebih suka mengkonsumsi makanan berbahan gandum impor. Memang gandum mulai banyak dicoba dibudidayakan namun budidaya gandum di tanah Indoneasia ini masih jadi satu persoalan di tingkat penelitian. Sementara beras yang menjadi makanan pokok sumber karbohidrat orang Indonesia sekarang ini tidak mampu dicukupi di dalam negeri sendiri, harus impor juga. Program-program pemerintah untuk mengatasi persoalan pangan belum menyentuh  akar masalah tetapi justru bersifat karitatif semu seperti program raskin yang mau tidak mau harus diterima oleh petani tanpa pilihan lain, padahal beras dari program RASKIN itu, nasinya sangat tidak layak dimakan.
Dalam tataran mikro, kampanye itu mengajak kita kembali menghormati pangan-pangan lokal yang ada di desa, karena pangan lokal itu menjadi sendi ketahanan pangan kita, orang Indonesia. Bukan menggantungkan kebutuhan pangan pada gandum atau beras yang dibeli dari negeri orang.
Dalam tataran makro, kampanye ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat lokal tentang keanekaragaman pangan dan mekanisme produksi, mengembangkan konsumsi makanan bergizi berbasis lokal dan distribusinya di masyarakat, dan menerapkan pertanian organic sebagai alat untuk mewujudkan kemandirian pangan.
Penampilan Kethoprak Humor LCR ini merupakan salah satu strategi program ketahanan pangan. Kelompok seni LCR ini salah satu asset penting di Desa Lembu yang menghadapi tantangan ke depan. Mereka terdiri dari seniman-seniman Desa Lembu yang tumbuh berkesenian dan mencintai dunia seni peran sejak masa mudanya. Di tengah maraknya media elektronik dan media modern lainnya yang lebih banyak digunakan orang untuk mengkampanyekan suatu gerakan, kelompok LCR masih yakin menatap masa depan keseniannya di tengah kesibukan mereka sehari-hari bertani, berdagang, menjadi pamong desa dan ibu rumah tangga.
Berikut ini secara singkat profil 4 tokoh kampanye: Adalah Bendol, diperankan oleh Kastin (seorang anggota BPD Lembu, tinggal di dusun Lembu). Mbok Sugi, ibunya Si Bendol dimainkan oleh Sugiyanto (seorang pekerja seni desa Lembu, tinggal di dusun Krempel dan memiliki usaha warungan di depan rumahnya). Sriyatun, ibu dari 4 orang anak dan berprofesi sebagai ibu rumah tangga, tinggal di dusun Kendel, berperan sebagai Mbok Surt
i, seorang pedagang warung yang menjual produk-produk impor. Karjono, Kadus Kendel berperan sebagai Pak Bekel yang menengahi perdebatan warganya tentang pangan lokal versus pangan impor dan menjadi penyimpul penampilan berdurasi 20 menit itu dengan ajakan kepada masyarakat untuk menghargai potensi pangan kita sendiri, mulai dari keluarga dan lingkungan sekitar dan jangan menganggap remeh (apalagi gengsi) dengan potensi pangan lokal yang sudah kita miliki, justru kita wajib melestarikan dan mengembangkannya sebagai kebanggaan Indonesia.
Maju terus pangan lokal Indonesia

Eunike Widhi wardhani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar