Saya
mendampingi desa sejak 11 tahun yang lalu saat pertama bergabung dalam Yayasan
Kristen Trukajaya. Saya menyukai kegiatan pemberdayaan masyarakat desa. Pertama
kali saya mendampingi desa Jlarem, salah satu desa di kecamatan Ampel Kab.
Boyolali selama 1 tahun. Saya tinggal di desa itu dan mengikuti
kegiatan-kegiatan kelompok yang menjadi dampingan Trukajaya. Pertemuan bulanan
bapak-bapak, pertemuan ibu-ibu dan pertemuan tidak formal dengan berbagai
pihak. Semua itu untuk menumbuhkan motivasi berorganisasi dan membangun
kapasitas mengelola sumber pendapatan desa. Setelah dari Jlarem, saya
ditugaskan oleh Trukajaya untuk mendampingi desa Rambat kec. Geyer Kab.
Grobogan. Saya beruntung mendapat pengalam baru yang berbeda dengan sebelumnya.
Desa Rambat merupakan salah satu desa yang terkena dampak langsung program pembangunan
Waduk Kedungombo. Masyarakatnya pernah
mengalami kekerasan politik pada masa 1960-1970-an, yaitu dianggap sebagai
pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI), sebuah partai politik yang pernah
berjaya di tahun 1960-an namun kemudian menjadi partai politik terlarang karena
dianggap melakukan pemberontakan kepada negara. Pengalaman masa lalu yang
buruk, membuat masyarakat Rambat tidak
mudah menerima kehadiran pihak dari luar desanya. Selama saya hidup bersama
masyarakat desa Rambat itu, saya mendengar langsung cerita dari orang-orang tua
yang mengalami sendiri maupun menjadi saksi hidup terjadinya
kekerasan-kekerasan masa PKI. Kekerasan berikutnya yang mereka alami adalah
pembebasan tanah yang tidak adil untuk rakyat terkait proyek Kedungombo tahun
1980-1990. Atas nama pembangunan, rakyat harus rela menyerahkan tanahnya dengan
ganti rugi yang sangat kecil, dan bagi yang tidak mau menyerahkan tanahnya
diintimidasi, lagi-lagi dengan cap PKI. Banyak keluarga yang kehilangan tempat
tinggal dan mengungsi di desa sekitar yang tidak digenangi maupun ke luar
daerah secara transmigrasi. Sampai saat ini, separo masyarakat petani desa
Rambat masih mengandalkan hidupnya dari lahan genangan proyek Kedungombo. Lahan
genangan adalah wilayah desa yang masuk proyek Kedungombo yang sudah diganti
rugi namun masih dapat digunakan untuk bercocok tanam. Setiap saat pintu waduk
dibuka, maka lahan itu akan teraliri air hingga tergenang. Sehingga petani yang
memanfaatkan lahan genangan itu tidak dijamin dapat menjalankan aktivitas
pertanian secara normal.
Dengan
karakter masyarakat yang pernah “terluka” demikian, mereka kurang terbuka
terhadap masuknya pihak luar. Sehingga diperlukan pendekatan yang dapat
diterima oleh semua unsur masyarakat: orang tua, pemuda maupun anak-anak yaitu
dengan tinggal bersama mereka.
Dengan
kerja sama yang baik, kini mereka telah mulai mau terbuka menerima masuknya
pihak luar. Beberapa program kami berjalan baik di sana, kelompok tani organic
yang dibentuk tahun 2003 sampai sekarang masih aktif melakukan kegiatan
pertanian organic meskipun di lahan genangan.
Setelah
itu saya berpindah mendampingi desa-desa lainnya dengan program utama pertanian
organic.
Eunike Widhi Wardhani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar