Senin, 23 Januari 2017

Cerita awal


 
Saya mendampingi desa sejak 11 tahun yang lalu saat pertama bergabung dalam Yayasan Kristen Trukajaya. Saya menyukai kegiatan pemberdayaan masyarakat desa. Pertama kali saya mendampingi desa Jlarem, salah satu desa di kecamatan Ampel Kab. Boyolali selama 1 tahun. Saya tinggal di desa itu dan mengikuti kegiatan-kegiatan kelompok yang menjadi dampingan Trukajaya. Pertemuan bulanan bapak-bapak, pertemuan ibu-ibu dan pertemuan tidak formal dengan berbagai pihak. Semua itu untuk menumbuhkan motivasi berorganisasi dan membangun kapasitas mengelola sumber pendapatan desa. Setelah dari Jlarem, saya ditugaskan oleh Trukajaya untuk mendampingi desa Rambat kec. Geyer Kab. Grobogan. Saya beruntung mendapat pengalam baru yang berbeda dengan sebelumnya. Desa Rambat merupakan salah satu desa yang terkena dampak langsung program pembangunan Waduk Kedungombo. Masyarakatnya  pernah mengalami kekerasan politik pada masa 1960-1970-an, yaitu dianggap sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI), sebuah partai politik yang pernah berjaya di tahun 1960-an namun kemudian menjadi partai politik terlarang karena dianggap melakukan pemberontakan kepada negara. Pengalaman masa lalu yang buruk, membuat masyarakat Rambat  tidak mudah menerima kehadiran pihak dari luar desanya. Selama saya hidup bersama masyarakat desa Rambat itu, saya mendengar langsung cerita dari orang-orang tua yang mengalami sendiri maupun menjadi saksi hidup terjadinya kekerasan-kekerasan masa PKI. Kekerasan berikutnya yang mereka alami adalah pembebasan tanah yang tidak adil untuk rakyat terkait proyek Kedungombo tahun 1980-1990. Atas nama pembangunan, rakyat harus rela menyerahkan tanahnya dengan ganti rugi yang sangat kecil, dan bagi yang tidak mau menyerahkan tanahnya diintimidasi, lagi-lagi dengan cap PKI. Banyak keluarga yang kehilangan tempat tinggal dan mengungsi di desa sekitar yang tidak digenangi maupun ke luar daerah secara transmigrasi. Sampai saat ini, separo masyarakat petani desa Rambat masih mengandalkan hidupnya dari lahan genangan proyek Kedungombo. Lahan genangan adalah wilayah desa yang masuk proyek Kedungombo yang sudah diganti rugi namun masih dapat digunakan untuk bercocok tanam. Setiap saat pintu waduk dibuka, maka lahan itu akan teraliri air hingga tergenang. Sehingga petani yang memanfaatkan lahan genangan itu tidak dijamin dapat menjalankan aktivitas pertanian secara normal.
Dengan karakter masyarakat yang pernah “terluka” demikian, mereka kurang terbuka terhadap masuknya pihak luar. Sehingga diperlukan pendekatan yang dapat diterima oleh semua unsur masyarakat: orang tua, pemuda maupun anak-anak yaitu dengan tinggal bersama mereka.
Dengan kerja sama yang baik, kini mereka telah mulai mau terbuka menerima masuknya pihak luar. Beberapa program kami berjalan baik di sana, kelompok tani organic yang dibentuk tahun 2003 sampai sekarang masih aktif melakukan kegiatan pertanian organic meskipun di lahan genangan.
Setelah itu saya berpindah mendampingi desa-desa lainnya dengan program utama pertanian organic.

Eunike Widhi Wardhani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar