Belajar dari Wong Samin mengelola pangan
“Mengapa harus mencuri, wong
minta saja diberi? Mengapa harus lari saat dikejar, karena semakin kita berlari
kita tidak pernah bisa berhenti. Kalau tidak bisa berhenti, maka kita tidak
akan pernah merenung menghayati kehidupan ini. Ayo, masuk ke rumah saya, makan
bersama saya. Nanti setelah makan, kamu ambil itu pisang, jagung dan kelapa
untuk makan dan minum kalian”. Itu sekelumit kata-kata WS. Rendra dalam
perannya sebagai Simbah
dalam sebuah film berjudul “Lari dari Blora”
Film bertema Harmony Without The Law itu menggambarkan bahwa
harmonisasi hidup wong Samin (mereka juga senang disebut sebagai sedulur sikep)
bisa terwujud lebih baik meskipun di desa itu tidak ada hukum yang mengatur
rakyatnya secara ketat. Orang merasa tidak perlu surat nikah, KTP, atau
surat-surat lainnya, bahkan agama pun mereka maknai sendiri tanpa harus tunduk
pada label atau ajaran dari luar komunitasnya. Segala hal dalam hidup diatur
oleh kesepakatan bersama dan ditaati oleh semua pihak terutama kehidupan yang
harmonis dengan alam dan hubungan dengan sesama.
Wong Samin begitu menjunjung tinggi kesepakatan mereka dan
bangga dengan cara hidup mereka itu, meskipun masyarakat di luar komunitasnya,
bahkan yang paling dekat pun melecehkannya, menganggap primitif dan tidak punya
aturan. Padahal yang mereka jalankan, ya itulah aturan mereka.
Selama harmoni dengan alam itu dijaga, wong Samin tidak
pernah kuatir kekurangan pangan karena mereka hanya mengambil makanan
secukupnya untuk hidup.
Kehidupan Wong Samin sangat bertolak belakang dengan
kehidupan di luar kelompok itu yang terlanjur mengedepankan ambisi-ambisi untuk
menguasai orang lain, menguasai kelompok lain, mengusai negara lain, menguasai
dunia. Dalam hal pangan, persis seperti itulah yang terjadi di kebanyakan negara
di dunia ini. Semua negara berperang strategi untuk menjelajah ke setiap
penjuru dunia, melintasi batas-batas untuk berebut sumber pangan, sumber energy
dan dan sumber air. Yang kuat itulah yang menang dan menguasai yang lain.
Itulah globalisasi yang sudah menyatu dengan kehidupan kita, sudah lebih tua
dari umur kita dan sudah masuk dalam aliran darah kita.
Wong Samin hanya satu contoh komunitas yang mampu bertahan
dalam gilasan globalisasi pangan dunia. Ada suku Baduy di Jawa Barat, ada suku
Boti di NTT dan mungkin masih banyak yang lain di Indonesia ini yang belum
tersentuh atau memang secara tegas menolak sentuhan globalisasi. Peradaban yang
dianggap tertinggal itu, justru sekarang banyak dikagumi orang dan menjadi
tempat belajar bagi banyak orang tentang kehidupan, pangan, air dan energy.
Pangan menjadi
komoditas politik kepentingan
Pangan yang dulunya merupakan sebuah kebutuhan untuk hidup,
berkembang dan memperoleh gizi yang cukup, lambat laun bergeser pada soal-soal
bisnis pemuasan keinginan, kreativitas di dunia kuliner, trend dan iming-iming
lain yang tak sekadar soal gizi untuk kebutuhan hidup manusia. Persoalan pangan
masih menjadi polemik besar di Indonesia dari tahun ke tahun dari pemerintahan
ke pemerintahan berikutnya dan dari kota besar sampai daerah perdesaan padahal
Indonesia konon adalah negara agraris.
Negara yang disebut agraris (negara yang sebagian besar
penduduknya bermata pencaharian sebagai petani) ternyata belum merupakan
jaminan ketersediaan pangan yang cukup bagi rakyatnya. Sebaliknya negara bukan
agraris juga bisa menguasai pangan. Jadi apa kaitan sebuah sebutan negara
agraris dan bukan agraris bagi citra kecukupan pangan yang layak dan sehat di
suatu negara? Secara logika, seharusnya berkaitan erat, tetapi kondisi riil
bisa menunjukkan itu tidak berkaitan sama sekali.
Pembahasan mungkin bisa melebar ke soal ketahanan pangan
atau kedaulatan pangan. Kalau Singapura yang makanan pokok rakyatnya beras,
tidak pernah kekurangan beras padahal tidak punya sawah sedikitpun. Indonesia
punya lahan subur dan sangat luas untuk memproduksi pangan sehat dan
berkualitas, sumber daya alam berlimpah, sumber daya manusia pun sangat
berlimpah. Seharusnya ketahanan pangan sekaligus kedaulatan pangan bisa
terwujud di Indonesia. Tetapi kenyataannya bertolak belakang. Kita pemilik
pangan tetapi pangan kita didikte. Harga kedelai kita didikte, kita diimporkan
beras dari Thailand, diimporkan garam hanya karena kurangnya keberpihakan pemerintah
pada pengembangan produksi garam rakyat, padahal wilayah Indonesia dikelilingi
sumber garam. Produk buah impor, bawang impor, daging impor dan masih banyak
produk impor lainnya juga menjajah pasar pangan Indonesia. Negeri kita
penghasil kopi, kakao dan rempah-rempah terbaik di dunia, tetapi itu diekspor
dalam bentuk bahan mentah, diolah negara lain dan produk jadinya kita beli
dengan harga jauh lebih mahal, karena lagi-lagi kita lemah di pengolahan hasil
pertanian. Kebijakan ekspor-impor tidak lagi berpegang pada kebutuhan rakyat
tetapi sarat nuansa politik kepentingan. Itulah seretan arus globalisasi yang
kita rasakan saat ini, banyak kepentingan yang berlomba-lomba menguasai
kebijakan suatu negara.
Menghargai potensi
yang dimiliki
Kembali pada penghormatan terhadap sumber-sumber pangan yang
dilakukan wong Samin, kita hendaknya memahami dan memahamkan semua orang bahwa
pangan sudah seharusnya diletakkan pada posisi hak semua orang untuk
mendapatkan, tidak boleh ada monopoli, tidak boleh ada satu orang atau kelompok
menguasai pangan sedangkan orang lain tergantung padanya.
Dalam persoalan air, pangan dan energi nasional (juga
kekayaan alam lainnya), kita semua perlu kembali memahami UUD 1945 pasal 33
yang menjadi dasar pengelolaan sumber-sumber daya air, bumi dan kekayaan alam
Indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kiranya esensi dari UUD
1945 itu tidak boleh sekadar dibaca secara formal pada upacara-upacara 17
Agustusan, tetapi dipahami isinya, karena itu merupakan komitmen para pendiri negara
ini termasuk seluruh rakyat saat menyelenggarakan republic ini. Generasi
penerus sekarang ini perlu meneruskan pemahaman yang sama dengan para pendiri
negara Indonesia waktu itu.
Jiwa kebersamaan ini yang mulai pudar karena terlibas oleh
jiwa individualis yang egois. Jiwa individualis itu yang sekarang lebih
mewarnai sikap dan perilaku mulai dari para pemimpin sampai rakyat di era
globalisasi ini.
Oleh karenanya Bung Karno pernah mengatakan jiwa Negara kita Pancasila.
Dan kalau Pancasila diperas lagi maka hanya satu sila yakni gotong-royong.
Karakter gotong royong itu yang kini hilang dalam diri bangsa kita yang amat
heterogen dan merupakan wilayah negara kepulauan ini. Heterogenitas bisa
menjadi kelemahan karena mudah untuk dipecah belah oleh pihak luar (sudah
terjadi), tetapi sebenarnya merupakan kekuatan yang tidak dimiliki bangsa lain
karena bisa saling melengkapi dengan potensi yang sangat bervariasi (belum
dicoba serius).
Cengkeraman penguasaan pangan dunia tidak lepas dari
penguasaan air dan energy. Tahukah anda, bahwa para pelaku eksploitasi
sumber-sumber pangan, air dan energy dunia sudah meng-kapling-kapling wilayah
Indonesia ini di peta mereka untuk ditambang kapan saja sesuai kebutuhan
layaknya milik nenek moyangnya sendiri dan untuk kekayaan mereka sendiri?
Contoh nyata (tetapi di luar konteks pangan) yang sudah terjadi adalah
penambangan emas di Papua oleh PT. Freeport Amerika. Gunung emas dijual murah
begitu saja ke orang lain. Pemerintah dapat apa? Paling royalty, itu saja sudah
diakali oleh perusahaan penambangan.
Lebih parah lagi, rakyat dapat apa? Rakyat semakin tidak dapat apa-apa. Siapa
yang menikmati? Tentu saja penambangnya, bukan pemiliknya (diskusi tentang kebijakan pemerintah berkait penambangan di NTT, di acara Bedah Editorial MI, Metro TV 2 Agustus 2012). Enak benar ya
penambangnya? Pertanyaan besarnya : kok pemerintah mau ya menandatangani persetujuan
yang merugikan seperti itu? Padahal kalau gunung emas itu masih “milik” orang Papua,
tidak mustahil nilai rupiah jauh di atas nilai dollar Amerika, orang Papua bisa
ngrembyong mas-masan di tubuhnya dan
hidup sejahtera berkelimpahan dan Indonesia benar-benar sejahtera seperti lagu Kolam Susu-nya Koes Plus. Tetapi yang terjadi tidak demikian kan? Seperti
itu jugalah cengkeraman globalisasi-neoliberalisasi terhadap dunia pangan
Indonesia. Kita sendiri yang seharusnya menentukan sikap untuk kedaulatan
pangan bersama rakyat Indonesia.
Langkah alternatif
Wong Samin yang tinggal beberapa tempat di kabupaten Pati
dan Grobogan, mengajarkan kita bahwa sebenarnya orang tidak perlu berebut
pangan, bahkan harus mau berbagi dengan orang lain yang lapar dan membutuhkan
pangan. Mereka berprinsip untuk mengambil pangan secukupnya yang dibutuhkan,
bukannya mengambil lebih untuk dijual agar menjadi kaya karena ada hak orang
lain untuk mengambilnya juga sesuai kebutuhan. Mereka sudah menemukan harmoninya
sejak seabad yang lalu, sementara orang lain masih bingung mencarinya. Walaupun
datang dan belajar pada wong Samin tetap saja berperilaku hidup serakah,
nggrangsang dan bermental ndremis.Wong Samin menjaga kebersamaan dalam mengelola pangan di komunitasnya.
Pengembangan pangan, air dan energy yang seperti apa yang
menjadi perjuangan bersama kita? Siapa musuh bersama kita dan apa stretegi yang
konkret bisa kita lakukan bersama? Haruskah kita mengikuti cara hidup wong
Samin? Tidak harus seekstrem itu. Lalu bagaimana caranya?
Kembali ke soal pangan, secara local langkah konkret bersama
untuk membangun kedaulatan pangan dan kedaulatan petani adalah :
1.
Kenali dan sadari dulu bahwa kita kaya akan potensi-potensi
local pangan dan energy. Umbi-umbian, beras, buah, sayuran, kopi, kakao,
cengkeh, teh, berbagai jenis tanaman obat herbal, produk ternak : daging,
telur, susu, produk perikanan, dsb.
2.
Kembangkan potensi local itu secara mandiri,
tidak perlu menunggu instruksi dari orang lain : pak RT, pak lurah, bupati atau
presiden. Yang bisa dilakukan, langsung dilakukan dengan menangkarkan benih dan
bibit tanaman pangan dan ternak local yang ada.
3.
Kembangkan jiwa kebersamaan dengan berorganisasi
yang bermanfaat bagi seluruh anggota, bukan organisasi untuk menguasai pangan,
air dan energy orang lain.
4. Kurangi/ batasi atau sebisa mungkin hentikan konsumsi
produk pangan impor (beras, buah, sayuran, daging, ikan, susu, telur, dsb) di
keluarga kita dan konsumsilah produk-produk local Indonesia. Jangan terkecoh
oleh penampilan produk impor yang lebih segar dan harga murah, karena harga murah di awal ini hanya strategi sementara untuk menghajar produk local kita. Kalau produk-produk pangan kita sudah
dilumpuhkan (tidak laku), maka harga produk impor akan dinaikkan, saat itu kita
sudah tidak bisa mencari produk local karena sudah dipunahkan dari pasaran.
Kedaulatan pangan nasional dibangun dari kedaulatan pangan local,
sehingga kunci keberhasilannya terletak pada komitmen seluruh rakyat Indonesia
untuk mengembangkan potensi pangan local.
Eunike Widhi Wardhani