UNTUK SIAPAKAH
KUALITAS DIRI TERBAIK KITA PERSEMBAHKAN ?
(sebuah refleksi seorang pendamping masyarakat desa)
Jika kita mendapat pertanyaan : “ Untuk apa anda hidup?”. “Siapa/ hal apa
yang terpenting dalam hidupmu?”. Tentu banyak jawaban yang mudah dilontarkan.
Seorang religius akan menjawab “Hidup saya untuk Tuhan”. Seorang pemikir
menjawab “Hidup untuk belajar. Atau bisa muncul jawaban “Hidup untuk
membahagiakan keluarga: istri/ suami, anak, orang tua. Seorang yang sedang
bernasib buruk dan frustasi bisa saja menjawab : “Tidak untuk apa-apa atau
siapa-siapa, tinggal mengikuti saja ke mana sang pemberi hidup membawa saya,
karena saya tidak pernah minta nasib seperti ini”. Untuk siapakah kualitas diri
terbaik kita persembahkan?. Pada saudara, teman, kepada Tuhan atau pada diri
pribadi kita?
Sejarah dan pengalaman hidup dalam interaksi dengan berbagai kondisi
biotik dan abiotik telah membentuk citra diri kita yang sekarang ini. Orang
baik, orang jahat, miskin, kaya, jujur, penipu, pemaaf, pendendam, curang,
dlsb; semua berpengaruh (berjasa) membentuk kepribadian kita yang sekarang ini.
Apakah pribadi yang sudah terbentuk sekarang hanya berhenti sampai di sini?
Ternyata tidak. Pembentukan pribadi itu berlangsung seumur hidup seiring detak
jantung kita. Perubahan bisa meningkat namun bisa juga menurun tergantung kekuatan
pribadi dan kekuatan dari luar pribadi kita.
Siapa yang akan menjadi pemenang dalam diri kita? Apakah pribadi kita
yang kuat. Atau justru kekuatan dari luar/ pengaruh faktor luar lebih kuat
mengubah pribadi kita. Tak masalah kekuatan mana yang menang, asalkan menuju
kebaikan untuk sesama. Pribadi yang kuat tak tergoyahkan adalah potensi besar
untuk sukses, sebaliknya bisa juga berbahaya.
Kita dibentuk oleh suatu kepentingan yang bisa datang dari pihak mana
saja, kadang tanpa kita sadari saat itu. Ketika kita menemukan diri kita yang
sesungguhnya, sudah terlalu berat kaki kita untuk beranjak karena berbagai
belenggu yang kadang tampil sebagai kenyamanan, kemapanan, atau apapun yang
membuat kita takut perubahan. Kita terjebak pada kondisi status quo.
Kalau kembali pada pertanyaan di awal tadi, “Untuk apa anda hidup? Apakah
untuk selalu menjelajah, mencari dan membuat yang terbaik untuk sesama
menemukan kualitas hidup terbaik atau untuk menjadi pro status quo. Kalau
terbaik untuk diri kita sendiri itu bukan hal yang baru. Tetapi berbuat dan
memberi diri untuk orang lain saat ini semakin langka dan mahal saja.
Tokoh-tokoh dunia masa lalu yang berhasil memberi diri untuk orang lain
sebut saja : Yesus, Mahatma Gandhi, Bunda Theresa. Di Indonesia kita punya Rm.
Mangun dan Munir, tokoh HAM. Mereka memilih berpihak pada orang-orang terbuang,
miskin, orang yang tak punya banyak pilihan dan tertekan dengan kondisi social,
politik, budaya, pendidikan dan banyak kelemahan lain.
Miskin tak selalu berarti tak
punya uang, namun juga miskin jiwa, miskin pengetahuan, miskin susila, orang
yang putus asa hingga terjerumus pada kehidupan yang sesat. Tokoh-tokoh yang
penuh kasih tadi mendekati dan menyahabati orang-orang seperti itu, justru
bukan orang yang sudah punya segalanya. Dan hasil kerja mereka jelas yaitu
perubahan. Dari takut menjadi berani. Dari putus asa menjadi berpengharapan,
dari tak berbudaya menjadi berbudaya. Semua dilakukan dengan dorongan kasih
sayang. Dorongan yang muncul spontan, tanpa dibuat-buat, tanpa pamrih untuk
mendapat pujian atau imbalan, dari seorang yang punya kepribadian kasih yang
asli.
Setiap langkah kakinya, setiap ucapannya dan apapun yang menjadi
kegelisahannya tak pernah berujung kepentingannya sendiri namun kepentingan
sahabat-sahabatnya yang terpuruk, tertindas dan tersiksa. Kasih asli itu yang
melahirkan keberanian. Keberanian melahirkan tindakan nyata yang terus-menerus
memperjuangkan hak setiap insan ciptaan Tuhan. Progressnya jelas dan asli, juga tak dapat ditutupi, tidak palsu
dan tidak plin plan. Bahkan kematiannya sendiri (secara ragawi) tak mampu
menghentikan semangat kasih itu. Perjuangan itu memang tiada akhirnya. Terus
menantang setiap pribadi yang menyimpan sifat kasih yang asli.
Sebenarnya dalam tiap pribadi kita telah ada sifat kasih yang asli
tersebut. Kasih itu kadang tersimpan, mungkin karena masih ragu untuk muncul.
Atau kadang pernah muncul namun karena sendirian dan sekali terlibas tekanan,
lalu menjadi surut. Tetapi hal itu tak akan berlangsung lama. Pada saatnya
nanti akan muncul kembali tanpa bisa dibendung. Karena semangat kasih itu tak
pernah mati.
Pribadi dengan sifat kasih yang asli tak pernah tenang menjalani hidup
hanya untuk kepentingan diri sendiri. Sifat kasih yang asli itu tak pernah
takut / merasa rugi berkorban diri dan mendidik keluarganya untuk berempati
pada penderitaan orang lain, betapapun itu sungguh sulit dilakukan. Karena tekanan
keras itu kadang justru muncul bermula dari keluarga seperti suami/ istri
sendiri atau lingkungan. Berbagai kecurigaan dan tuntutan kadang menyulitkannya
dan menunda untuk mengekspresikan kasih yang asli. Tergantung seberapa kuat
pribadi kita. Kalau sangat kuat, maka tentangan dari pihak manapun dan siapapun
akan terlewati. Namun kalau lemah, jangankan pengaruh dari luar, keplin-planan
dalam diri kita sendiri bisa menjadi penghalang.
Kadang kita masuk ke suatu lingkungan yang sebelumnya tidak kita duga
namun di dalamnya kita dibentuk, diberi kesempatan luas, ditunjukkan dengan
berbagai ketidakadilan untuk kita sikapi dengan kasih yang asli tadi. Diri kita
benar-benar diperhadapkan tepat di depan mata pada tantangan untuk mengubah
ketidakadilan menjadi adil. Namun kadang kita perlu waktu lama untuk memahami
itu. Kalau kita hanya masuk saja kemudian kita justru sibuk dengan diri kita
sendiri, kita akan kehilangan waktu untuk belajar menggali sifat kasih asli
dalam pribadi kita.
Dalam perjalanan itu kadang keinginan untuk mengekspresikan cinta kasih
itu malah menjadi boomerang bagi
kita. Kasih yang kita tawarkan tak jarang ditangkap dan dimanfaatkan pihak lain
untuk memukul balik kita. Lalu godaan yang paling besar adalah bila kita harus
memilih menjaga itu atau mencari titik aman untuk diri sendiri. Hasilnya jelas
dan tegas. Kalau menjaga sifat kasih itu, berarti langkah selanjutnya akan
penuh kepahitan. Kalau mencari aman, ya berakhirlah kesempatan untuk menggali
sifat kasih yang asli.
Namun kepahitan yang nampaknya sangat pahit sekalipun, bagi seorang
pribadi yang kuat dapat menjadi manis. Itu bukan bualan kosong. Karena
sebenarnya pahit/manis adalah sebuah proses singkat. Sedangkan bagian
terpenting dari rasa itu adalah justru pada sikap kita sendiri. Sikap kita
dapat mengubah sesuatu yang pahit menjadi manis. Karena kekuasaan kita berada
di atas rasa itu, dan bukan rasa itu yang boleh menguasai kita. Artinya
kepahitan itu biasa, kadang bisa melemahkan untuk sementara. Namun jangan biarkan
menjadi luar biasa dan mengendalikan kita.
Keberadaan kita di suatu tempat adalah hasil peran banyak pihak, baik
kita sadari maupun yang tidak kita sadari. Pertemuan kita dengan tempat dan
orang baru pun bukan sekedar sebuah kebetulan. Semua itu dibuat oleh
orang-orang dan kita sendiri. Semua itu patut disyukuri.
Dalam perjalanan pelayanan kita kepada masyarakat kita bertemu dengan
penindasan, kekerasan dan ketidakadilan meski kadang itu tertutup, terbungkus
rapi dengan selimut ketidakberdayaan, rendahnya pengetahuan dan pengalaman
masyarakat, serta pertolongan semu yang justru semakin memerosokkan masyarakat
pada lumpur yang lebih dalam. Lumpur kemiskinan. Kita begitu dekat dengan
kemiskinan itu. Bahkan kadang kemiskinan itu adalah kita sendiri.
Kita punya banyak teori tentang kemiskinan. Kita pun telah lama berada
dalam lingkaran kemiskinan itu namun, teori-teori itu tetap saja tak mampu untuk
benar-benar menolong dan hasilnya tak pernah jelas. Selalu kabur, tak terukur
dan kita enggan untuk masuk lebih jauh ke dalam jantung kemiskinan itu. Kita sering hanya berdiri di pinggiran
saja, mengamati dari jauh, sehingga tak tampak jelas. Karena kondisi asli
memang selalu tersembunyi. Kondisi yang membutuhkan peran kita untuk ikut
menguraikannya. Sedangkan yang tampak jelas adalah hal-hal baik yang
beres-beres, tanpa pengamatan yang seksama kondisi itu tampak oke-oke saja, tak
mengundang pertanyaan.
Ketika kita datang di pinggiran saja dan membawa sekeranjang kasih yang
berujud “pertolongan” kitapun merasa telah banyak berbuat. Lebih parah lagi
kita merasa sudah sangat berjasa. Kadang pekerjaan itu membuat kita lelah,
energi dan pikiran kita terkuras namun kita tak lebih hanya lewat saat itu dan
tak ada jiwa yang menghidupkan “saat itu”. Ketika kita berlalu, tetap saja, tak
ada perubahan. Kita hanya berlatih saja dan tak pernah terampil, mungkin karena
tidak berani menggunakan perangkatnya ketika latihan untuk membiasakan diri di medan perang.
Apa yang utama kita cari sebenarnya? Hanya keberhasilan teknis menjalankan
proyek, menyenangkan lembaga donor, atau keberpihakan pada masyarakat? Atau memikirkan
diri sendiri? Atau sebenarnya kita sedang menjadikan masyarakat sebagai obyek
dan kitalah pemainnya? Atau bagaimana? Mungkin sulit menjawabnya karena kadang
kita terpaksa/ terjebak pada salah satu atau beberapa kondisi di atas dalam
waktu yang bersamaan karena berbagai tekanan. Maka tak ada kelirunya kalau
sekarang kita menganalisa diri : siapakah diri kita yang sesungguhnya.
Akankah selamanya kita puas hanya menjadi agen pembangunan, penyalur dana
proyek dari lembaga donor hanya agar itu berjalan terus, tanpa peduli bagaimana
perasaan/ apa kebutuhan masyarakat, pokoknya dibabat saja? Akankah mata hati
kita tutup rapat-rapat dari pandangan relung terdalam sebuah realita? Ataukah
kita mengelak dari kecenderungan itu dan tetap menganggap diri kita sudah
memberdayakan masyarakat?
Dunia pemberdayaan masyarakat memang aneh. Kaya pengalaman nyata yang
sangat variatif, mendidik dan tak selalu dapat diungkapkan dengan kata-kata. Kadang
dianggap seperti malaikat, membantu tanpa pamrih, dsb. Tapi benarkah
demikian? Benarkah kita bukan seorang
otoriter? Benarkah kita merangkum aspirasi masyarakat? Ataukah sebaliknya kita
seorang otoriter yang berbaju ORNOP? Apakah kita hanya tampak seperti pelayan
masyarakat namun sebenarnya kita seorang pembabat aspirasi masyarakat? Apakah
hanya aspirasi kita sendiri yang terpenting untuk dilakukan. Hanya keinginan
kita sendiri yang kita bebankan di pundak masyarakat. Apakah kita hanya ingin
menikmati dan puas melihat orang lain menuruti kehendak kita sendiri tanpa
mengerti tentang itu? Jawabnya ada dalam pribadi masing-masing kita. Sedalam
apa kita menghayati: untuk siapakah kualitas diri terbaik kita
persembahkan?
Salatiga, 16
Maret 2006
Eunike Widhi
Wardhani
Tulisan
dimulai awal Maret 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar