BERDAMAI
DENGAN KEMISKINAN?
OKE.
YANG
PENTING SEHAT DAN BISA SEKOLAH
Dari waktu ke waktu,
kemiskinan merupakan fenomena yang sangat mudah ditemukan di negara kita.
Karena begitu kompleks dan dinamisnya kemiskinan itu, hingga kita masuk ke
dalam lingkaran tak berujung.
Tetapi apakah kita akan
mewariskan kemiskinan itu kepada anak cucu sampai-sampai kesehatan dan
pendidkan saja tidak mereka dapatkan?
Tak ada formula yang paling tepat untuk mengatasi permasalahan yang satu
ini. Entah bagaimana awalnya hingga kemiskinan itu selalu muncul dan terjaga.
Karena tak jarang kita justru telah sekian lama menjadi bagian di dalamnya
(kemiskinan) dan sulit keluar. Begitu mudahnya kemiskinan itu ditemukan dan
kategori tentang kemiskinan itu selalu berkembang. Saking banyaknya
pemikir-pemikir maka orang-orang mempunyai definisi yang berbeda-beda tentang
kemiskinan. Jangan-jangan kemiskinan itu sengaja diciptakan dan dibuat dinamis
saja (?).
Siapa aktor di balik semua itu? ”Siapa” itu bisa orang, bisa sesuatu yang
berkuasa/ pengaruhnya sangat kuat di luar kita dan sulit dikendalikan. Belum
lagi banyak bencana alam yang silih berganti menambah jumlah kemiskinan. Yang
paling memprihatinkan, adalah jika kemiskinan sampai menjauhkan anak-anak kita
dari haknya untuk mendapatkan kesehatan dan pendidikan yang baik. Padahal UUD
1945 hasil amandemen pasal 28H dan pasal 31 dengan jelas menyatakan bahwa
setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan mendapatkan pendidikan.
Siapa yang akan bertanggung jawab?
Kemiskinan, kesehatan dan pendidikan
Sudharto dan Frieda (1984) memaparkan bahwa hakekat kemiskinan adalah
kekurangan materi pada segolongan orang dibanding standar kehidupan yang
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Aspek sosial dan ekonomi berkaitan
erat dengan kemiskinan itu. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung
berpengaruh terhadap aspek kehidupan lain seperti keadaan kesehatan,
pendidikan, kehidupan moral, rasa harga diri, dsb.
Kota merupakan pusat pemerintahan, teknologi, ilmu dan peradaban. Sedangkan
desa merupakan pensuplai bahan pangan dan tenaga kerja. Perbedaan itu
membedakan pula standar kemiskinan antara di kota dengan standar kemiskinan di
desa. Orang yang berstatus miskin di kota, belum tentu miskin di desa atau
sebaliknya. Misalnya batas kemiskinan di desa A adalah makan 2 kali sehari
berupa nasi dan sayur (tanpa lauk), sedangkan di kota B adalah makan 3 kali
sehari berupa nasi, sayur dan lauk. Usaha keras masyarakat miskin desa masih
pada pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari. Lebih dari itu adalah impian yang
sulit terwujud. Sedangkan masyarakat miskin di kota mengejar pemenuhan
kebutuhan pangan sehari-hari namun dengan tuntutan yang lebih kompleks sesuai
kondisi sosial masyarakat sekitarnya.
Artinya tingkat kemiskinan tidak dapat diukur dari konsumsi makan saja
tanpa mempertimbangkan aspek sosial yang lebih luas seperti pendidikan,
kesehatan, kebudayaan, persamaan hak untuk mengembangkan diri, tidak
terisolasi/ terkucil dan dapat mengakses pelayanan publik untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya.
Kesehatan dan pendidikan dasar di negara kita ternyata belum dapat
dinikmati secara layak oleh semua lapisan masyarakat. Kasus balita gizi buruk,
penyakit akibat kekungan gizi yang fatal dan siswa putus sekolah sangat mudah
dijumpai di kota maupun desa dengan berbagai penyebab.
Banyak masyarakat desa yang masih mempertahankan anggapan bahwa ”Wong wadon, sekolah dhuwur ora wurung mung
tekan dapur, sumur lan kasur” atau ”Wong
wadon ora perlu sekolah dhuwur-dhuwur, sing penting iso macak, masak lan manak
(artinya kira-kira : Perempuan sekolah
tinggi-tinggi hanya sampai dapur-memasak, sumur-mencuci dan kasur-melayani
suami” atau ”Perempuan tidak perlu
sekolah tinggi-tinggi yang penting bisa memasak, berdandan dan menghasilkan
keturunan”). Anggapan ini secara langsung mendukung terjaganya kemiskinan
pendidikan bagi perempuan desa. Meskipun orang tua memiliki cukup biaya, namun
hanya anak laki-laki yang disekolahkan setinggi-tingginya. Anak perempuan cukup
sampai SLTP atau SLTA. Hal itu dipersubur dengan anggapan kalau anak gadis
sudah berumur sekitar 18 tahun tetapi belum ada yang meminang, maka dicap
sebagai perawan tua. Seolah
pendidikan menjadi penghalang bagi perempuan desa untuk menjalani kehidupan
berumah tangga. Memang ada yang menikah dan merawat anak seraya melanjutkan
pendidikan tinggi sampai selesai, namun jumlahnya sangat kecil karena
memerlukan dukungan moral, tenaga dan biaya yang cukup tinggi dari keluarga.
Kemiskinan memang berkait erat dengan kesehatan (lingkungan dan kecukupan
gizi) dan pendidikan. Karena kedua hal itu merupakan standar paling mendasar
dan mencerminkan peran dan tanggung jawab banyak pihak (masyarakat, ornop dan
pemerintah) dan kedua aspek tersebut hendaknya diberlakukan sama, baik di kota
maupun desa dalam menentukan tingkat kemiskinan. Artinya kalau di kota
seseorang harus memperoleh standar sehat jasmani dan rohani serta mengenyam
pendidikan serendah-rendahnya SLTA, maka di desa standarnya harus sama seperti
itu.
Kalau hanya segolongan orang (misal : kaum laki-laki) saja yang menikmati
pendidikan, lha perempuan bagaimana? Perlu keberanian untuk keluar dari
paradigma yang menyesatkan itu. Terlebih lagi semua orang hendaknya memiliki
tekad, niat dan upaya nyata bahwa setiap bayi yang terlahir saat ini, kelak
harus mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang setinggi-tingginya. Sehingga
kalaupun kemiskinan itu tetap ada di masa depan, maka mereka tetap memiliki
kesehatan dan pendidikan yang baik.
Anak-anak kita mungkin belum mendapatkan fasilitas-fasilitas kesejahteraan
seperti di negara-negara maju. Tetapi paling tidak mereka jangan sampai
kehilangan kedua hal terpenting itu. Kesehatan dan pendidikan adalah hak setiap
anak Indonesia. Dengan pendidikan dan kesehatan yang baik, mereka dapat menikmati
hidup.
Namun kita tak boleh terjebak pada prinsip bahwa pendidikan yang baik itu
hanya pendidikan formal dan harus mahal. Jangan pula tersesat pada anggapan
bahwa anak yang berhasil dalam pendidikan adalah yang setelah lulus sekolah,
mendapat pekerjaan dengan penghasilan berlimpah dan menjadi orang kaya.
Kesuksesan dalam pendidikan tidak selalu ditandai dengan kekayaan materi.
Pengertiannya bagaimana ? Kita memiliki persepsi sendiri-sendiri sehingga
standarnya pun akan berbeda-beda dalam menilai sebuah kesuksesan.
Peran
pemerintah ?
Selama ini telah cukupkah peran beberapa pihak terkait terhadap upaya
pengentasan kemiskinan? Yang jelas pihak BPS, Bapeda atau lembaga-lembaga
pemerintah terkait telah menyusun kriteria dan menawarkan banyak solusi pengentasan
kemiskinan. Namun tidak pernah sinkron dengan kebijakan-kebijakan dan regulasi
pemerintah. Contohnya peminggiran kaum perempuan masih saja terjadi seperti
terbitnya UUPP (Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi) yang di dalamnya
mendiskreditkan kaum perempuan,
Pembedaan pemberlakuan pajak penghasilan bagi karyawan perempuan dengan
laki-laki dengan asumsi bahwa perempuan adalah pencari nafkah kedua, tanpa
penelitian awal dan pembuktian asumsi tersebut juga menjadi salah satu
ketidaksinkronan aturan dengan upaya pengentasan kemiskinan. Bagaimana jika
kesempatan bekerja dan memperoleh penghasilan justru pada istri seorang diri,
sedangkan suami kebetulan tidak mendapat kesempatan bekerja dan memperoleh
penghasilan? Atas nama nilai-nilai budaya yang ditelan mentah-mentah, kadang
kita justru melakukan pemiskinan
masyarakat? Miskin tidak melulu berarti tak punya uang, namun miskin
pengetahuan, hak, kesempatan untuk mengembangkan diri, dlsb
Masih dalam hal perpajakan yang tidak sinkron dengan upaya pengentasan
kemiskinan, adalah pengenaan pajak terhadap banyak barang dan jasa.
Barang-barang yang kita beli di toko telah dikenai pajak, bahkan rumah makan
pun membebankan pajak pada pembelinya. Seharusnya hanya barang-barang tertentu
saja yang dikenai pajak, tidak semua kena pajak. Tetapi jerih payah dan
ketertiban masyarakat membayar pajak itu sering tidak diimbangi dengan
pelayanan publik yang baik sehingga masyarakat apalagi yang miskin tak pernah
kebagian pelayanan apalagi dibantu dalam pengentasan kemiskinan. Justru mereka
telah menyumbangkan banyak uangnya kepada pemerintah tetapi paling minim
memperoleh kesempatan mengakses pelayanan publik.
Pasal 28 dan 31 UUD 1945 menjadi acuan peran pemerintah untuk memperhatikan
dan mengusahakan terpenuhinya kebutuhan kesehatan dan pendidikan warganya.
Masyarakat miskinlah yang harus didahulukan dalam memperoleh pelayanan
tersebut.
Miskin tetapi sukses?
Orang yang berhasil di bidangnya pasti dalam hidupnya melalui banyak
tahap pendidikan. Pendidikan itu dapat saja datang dari sekolah formal,
falsafah hidup yang diajarkan, pembelajaran dan pengalaman hidup yang serta
bergaul dengan orang-orang sukses. Seluruh tahapan pendidikan tersebut tentunya
perlu didukung dengan kesehatan yang baik pula.
Di sisi lain penting sekali dilakukan perubahan pola pikir yang
”memiskinkan diri/ menganggap diri miskin” menjadi pola pikir yang ”tidak
memiskinkan diri” dalam masyarakat. Namun perlu juga kita buat paradigma yang
tidak membuat orang takut miskin. Tidak perlu minder kalau dikatagorikan miskin
secara ekonomi. Kita berupaya menumbuhkan rasa pede dalam masyarakat miskin, lama-lama kemiskinan tidak lagi jadi
soal asal anak-anaknya sehat dan mendapat pendidikan sebagai bekal di masa
depan. Lalu siapa yang akan mewujudkan itu? Tentunya lembaga yang konsen di
bidang pengentasan kemiskinan, pemerintah dan masyarakat harus memiliki niat,
semangat dan kekompakan untuk bersama mewujudkannya mulai di aras lokal.
Maka, sebagai masyarakat yang memperhatikan kesehatan dan pendidikan anak
cucu, meski solusi untuk kemiskinan belum kunjung ada yang ampuh, maka
setidaknya sekarang kita berdamai dengan kemiskinan itu seraya menyiapkan
mereka menjadi pemimpin masa depan dengan memenuhi hak-hak mereka yaitu
kesehatan dan pendidikan yang baik.
ditulis di Salatiga, 4 April 2007
Eunike Widhi Wardhani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar