PESONA TAYUB DI DESA RAMBAT
Desa mawa cara, negara mawa tata;
ungkapan yang sering kita gunakan untuk menggambarkan adat kebiasaan yang ada
di suatu daerah yang tak dijumpai di daerah lain. Seperti halnya kesenian tayub
yang kita jumpai di desa Rambat kec. Geyer kab. Grobogan. Budaya adi luhung yang masih dilestarikan di zaman modern ini.
Acara hajat baik itu
pernikahan, khitanan, kelahiran anak, kekahan,
ruwatan, maupun hajat yang lain di desa Rambat hampir selalu diramaikan dengan
kesenian tayub. Mengapa warga Rambat gemar nanggap
tayub? Mungkin karena kesenian rakyat itu menarik dan dapat diterima oleh semua
golongan masyarakat baik kalangan tua, muda dari status sosial yang
berbeda-beda. Biayanya pun cukup terjangkau bagi yang punya hajat dari kalangan
ekonomi menengah ke atas di desa Rambat. Selain itu kecantikan penari plus
suaranya yang indah merupakan daya tarik yang cukup menyedot perhatian hadirin.
Bagi yang lebih mampu biasanya nanggap
campur sari pada siang hari dan tayub atau wayang kulit pada malam harinya.
Hiburan rakyat yang berupa
tarian diiringi gending Jawa ini disuguhkan mulai pukul 21.00 hingga pagi atau
dini hari hari untuk menghibur para tamu. Penampilan tayub ini terdiri dari
penari (ledhek) yang sekaligus
melantunkan tembang-tembang sesuai permintaan tamu undangan; dan pengiring yang
memainkan seperangkat alat gamelan. Jadi tayub selalu ditampilkan live (siaran langsung).
Biasanya penari didatangkan dari daerah Toroh, Wirosari, Sumberlawang
Sragen maupun daerah sekitarnya ke Rambat. Jumlah penari sesuai permintaan pihak yang punya kerja, bisa 2 atau 3
orang. Bahkan pada pesta pernikahan Sekdes Rambat 13 Juni 2004, beliau sampai
nanggap 9 orang penari. Tarip nanggap
itu pun bervariasi tergantung
jam terbang sang penari yang ditanggap. Sedangkan grup gamelan
disewakan tersendiri. Meskipun tidak dari satu grup, namun permainan antara
penari/penembang dan iringan musiknya terjadi harmonis, selaras dan pas
sehingga cukup memanjakan indera pendengaran dan penglihatan kita, apalagi
kalau penarinya senior tetapi masih
cukup muda.
Menurut keterangan warga,
tradisi nanggap tayub ini sudah
berlangsung sejak dulu dan sampai kini masih menjadi pilihan utama jenis
hiburan di acara-acara hajatan. Namun ternyata lain dulu lain sekarang. Ketika
ditanya apa bedanya tayub dahulu dan sekarang di desa Rambat, seorang warga
menjawab :“Wah, tayub sekarang lebih baik, lebih santun, ledheknya berpakaian cukup tertutup”. Selain itu ada aturan-aturan
yang melindungi kehormatan sang penari (ledhek)
seperti : tamu yang menari harus menjaga jarak dengan ledhek, tidak boleh menyentuh atau berlaku tak sopan kepada ledhek. “Kalau dulu, ledheknya cuma pakai kemben, tidak pakai
baju, lalu tamu yang menari boleh berlaku semaunya pada ledhek di atas panggung.
Urutan siapa-siapa yang menari
bersama ledhek juga diatur oleh
seorang yang disebut pengarih yang
bertanggung jawab mengatur pembagian sampur
(selendang untuk menari) kepada orang yang akan menari. Tayub dibuka dengan
alunan gending Jawa selama beberapa saat. Sang penari mulai menempatkan diri di
panggung dan memainkan beksan
(tarian) Gambyong Pareanom sebagai beksan
pembuka. Usai gambyong pareanom, pengarih membacakan daftar urutan para tamu
dan kerabat yang dikelompok-kelompokkan tersendiri untuk tampil di atas
panggung.
Urutan pertama yang
dipersilakan menari bersama ledhek
adalah keluarga yang punya hajat. Satu atau dua tembang mengalun di sela tarian
mereka hingga usai. Kemudian urutan ke 2 adalah orang-orang yang disegani yaitu
dari kalangan sesepuh desa, mantan perangkat desa kemudian perangkat desa yang
sedang menjabat serta tamu undangan dari desa lain.
Biasanya sekelompok tamu dan kerabat yang naik panggung berjumlah 6 - 8
orang mengelilingi sang penari. Pada pertengahan tembang mereka beralih posisi
dengan penari tetap di tengah. Kesempatan berikutnya barulah untuk kaum muda.
Oleh karena sekelompok dapat terdiri dari puluhan orang, maka satu kelompok
dibagi lagi urutannya. Sebelum atau sesudah menari biasanya tamu di panggung memberikan
uang saweran kepada penari. Besarnya bervariasi, antara ribuan sampai
puluhan ribu rupiah per orang. Bahkan ada yang tak keberatan menghabiskan
ratusan ribu rupiah dalam semalam untuk menikmati tarian ini. Kadang saking
antusiasnya sekelompok yang tampil meminta 2 - 3 tembang dalam satu penampilan. Itulah yang
menyebabkan acara ini memerlukan waktu yang lama hingga pagi atau dini hari.
Sayangnya tayub selama ini
masih menjadi kesenian tradisional yang terutama dinikmati oleh kaum lelaki
mungkin karena penarinya perempuan. Sedangkan kaum perempuan hanya menyaksikan
tarian dan tembangnya di luar panggung. Namun pesona tayub tetap menarik bagi
kaum lelaki maupun perempuan, terbukti banyak pula kaum ibu yang menyaksikan di
tengah keramaian penonton.
Tayub, tradisi luhur yang
sebenarnya merupakan kekayaan khasanah budaya Jawa dan Nasional hendaknya tetap
diuri-uri. Namun dahulu tradisi ini
pernah mendapat penilaian buruk karena ada beberapa pihak yang memanfaatkannya
sebagai semacam prostitusi terselubung
baik dari penikmatnya maupun dari penarinya. Tak jarang terjadi keonaran atau
perkelahian karena pengaruh minuman yang memabukkan. Hingga tradisi ini pernah
berhenti sesaat.
Namun sekarang dan khususnya
di desa Rambat, masyarakat sepakat mengembalikan citra baik tayub sebagai seni budaya nan adi luhung dan dicintai
masyarakat dengan penerimaan penuh hormat dan santun kepada sang penari
maupun semua pihak yang mendukung lestarinya budaya ini.
Ditulis di Rambat,
tahun 2004
Eunike
Tidak ada komentar:
Posting Komentar