1.
Saya
dari Fakultas Pertanian jurusan Budidaya Petanian (Agronomi). Berikut ini
adalah sedikit cerita pribadi saya mengapa saya
memilih studi pertanian. Ayah
saya berasal dari desa Candisari Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali, suatu desa
di lereng Gunung Merbabu. Ibu saya dari Desa Hargobinangun Kecamatan Pakem,
Kabupaten Sleman Yogyakarta, suatu desa di lereng gunung Merapi. Mereka berdua
meninggalkan desanya, bertemu, menikah dan tinggal di Kabupaten Grobogan. Saya
dilahirkan di Desa Gabus Kecamatan Kradenan Kabupaten Grobogan, di tempat ayah
saya bertugas sebagai guru Sekolah Dasar Kristen di desa itu selama 2 tahun.
Orang tua saya tidak bermatapencaharian sebagai petani tetapi kehidupan mereka dibesarkan
dalam keluarga petani, sangat dekat dengan kehidupan desa dan pertanian. Nenek
saya seorang petani dan tinggal di desa. Banyak dari keluarga ayah dan ibu saya
adalah petani dan tinggal di desa di lereng gunung Merapi dan Merbabu Jawa
Tengah. Setiap liburan sekolah, saya diantar oleh orang tua saya ke desa nenek
dan tinggal di sana sampai menjelang masuk sekolah kembali. Selama di desa saya
ikut nenek saya dan saudara-saudara mengerjakan ladang yang ditanami sayuran
seperti cabai, tomat, kol dan sawi ataupun jagung dan ketela. Saya memiliki
banyak teman-teman dan handai tolan di desa itu meskipun sekarang saya tinggal
di kota Salatiga. Saya berpikir bahwa pertanian
bersinggungan secara langsung dengan kehidupan dan dapat menjadi inti
dari seluruh usaha menyejahterakan semua orang, tetapi saya juga bertanya-tanya
“saudara-saudara saya di desa menguasai semua itu, tetapi mengapa mereka tetap
miskin?”. Saya ingin mempelajari banyak hal yang menunjukkan bagaimana kehidupan itu berlangsung, bagaimana
membudidayakannya sampai dengan bagaimana mengelolanya. Di satu sisi saya cukup
menyukai seni, terutama music. Tetapi saya lebih tertarik menghabiskan waktu
belajar tentang darimana suatu kehidupan itu berasal, salah satunya dengan
memilih kuliah pertanian. Awal saya kerja di Trukajaya, saya memutuskan tinggal
di desa yang saya dampingi, yaitu desa Jlarem Kecamatan Ampel Kabupaten
Boyolali (1 tahun) dan Desa Rambat Kecamatan Geyer Kabupaten Grobogan (3
tahun). Saya tinggal di dua desa itu hamper dikatakan full, tentu saja dengan
sesekali ke kantor Trukajaya saat ada rapat staf. Itu berlangsung saat saya
belum menikah.
Desa-desa
di Indonesia identik dengan kemiskinan. Kebetulan kedua orang tua saya berasal
dari desa dan saya terbiasa melihat kehidupan orang desa di Indonesia kurang
terdukung oleh pemerintah. Desa
di Indonesia secara kolektif merupakan pabrik pangan yang besar melalui tangan
para petani. Selayaknya petani menjadi penguasa pangan. Jaminan kecukupan
pangan sudah sepantasnya menjadi hak petani dan masyarakat desa. Namun label kemiskinan yang ditempelkan pada petani
di desa telah memutar balik keadaan.
Program RASKIN (Beras Untuk Rakyat Miskin) menjadi potret pemutarbalikan status
petani sebagai penguasa pangan menjadi pihak lemah yang tergantung pada bantuan
pangan. Semua itu diatur oleh penguasa dari luar petani. Yang lebih mengerikan lagi, kalau beras dari
program RASKIN yang dibagikan ke petani itu adalah beras yang berkualitas
jelek. Produk pangan dari desa diperlakukan sebagai komoditas yang
diperhitungkan dengan rumus-rumus ekonomi untuk keuntungan pemodal, mengabaikan
petani sebagai pemilik asli pangan itu sendiri.
Jawa Tengah yang terkenal tanahnya subur, merupakan
lumbung pangan nasional. Namun kenyataannya keadaan di desa-desa dampingan
Trukajaya: Kendel, Lembu, Randurejo, Rambat, Karanggondang, Sumberejo,
Karangwungu dan Tlepokwetan yang merupakan desa penghasil padi di Jawa Tengah, petani
tidak dapat mengelola sumber-sumber pangan di desanya. Petani
di desa-desa tersebut terhimpit dalam kemiskinan yang panjang. Mereka perlu
dikuatkan dan dibangun kepercayaan dirinya bahwa petani mampu mengambil keputusan atas usahanya dan
seluruh aspek kehidupan di desanya, tidak didikte terus oleh penguasa dari luar
desa.
1.
Saya
pikir, pemaparan tersebut dapat mendukung alasan mengapa saya
mengerjakan pekerjaan yang berkaitan dengan desa. Benar yang dikatakan seorang
guru saya di sebuah pelatihan pengorganisasian masyarakat, bahwa masa lalu
membentuk diri kita yang sekarang ini.
Semua yang terjadi di masa lalu, berjasa membentuk diri saya yang
sekarang ini. Pertemuan dengan siapa saja di masa lalu saya, orang baik, orang
jahat, orang jujur, penipu, orang yang kita sayangi maupun orang yang kita
benci, bahkan orang yang kita tidak ingin berjumpa dengannya, juga pengalaman
baik, pengalaman buruk, semuanya berkontribusi pada pembentukan karakter kita.
Dan proses pembentukan itu masih berlangsung terus. Dengan latar belakang yang
saya jelaskan di nomor 1 di atas, desa menjadi sangat “sesuatu” dalam diri
saya. Itulah alasannya.
1. Lembaga
kami Yayasan Kristen Trukajaya beralamat : Jl. Cemara II No. 65 Salatiga namun
aktivitas pendampingan kami di kabupaten Grobogan, Boyolali, Semarang, Klaten,
Purworejo. Desa-desa yang kami dampingi tersebar di 5 kabupaten tersebut dan
sebagian kecil program kami di Kota Salatiga sebagai lokasi kantor kami. Masyarakat
yang kami dampingi adalah masyarakat desa miskin, petani kecil, buruh tani dan
pengusaha kecil perdesaan. Mereka memiliki karakter yang menerima keadaannya
tetapi juga memiliki solidaritas yang tinggi dalam komunitasnya. Budaya gotong
royong masih mereka lestarikan dalam kegiatan social di desa, misalnya
kelahiran bayi, perkawinan, pembangunan rumah maupun kegiatan lainnya. Mereka
akan bergantian saling menyumbangkan tenaga dan pikiran dalam kesibukan
tersebut antar komunitas. Lingkungan tempat tinggal mereka yang saling
berdekatan memungkinkan mereka saling memperhatikan. Kehidupan petani kecil dan
buruh tani di perdesaan saat ini mulai menghadapi persoalan kerusakan
lingkungan akibat penggunaan benih, pupuk dan pestisida kimia dalam
pertaniannya untuk mengejar produksi. Kerusakan lingkungan itu membutuhkan
solusi yang baik ke depan.
Kami telah mempelajari informasi tentang ARI sejak tahun 2009, dari para
lulusan ARI maupun dari web site ARI bahwa peserta pelatihan akan melakukan
banyak kegiatan di dalam dan di luar kelas, melakukan budidaya tanaman di
kebun, mengurus ternak di kandangnya, membersihkan kotoran ternak, menanam padi
di sawah dan kegiatan pertanian lainnya bersama dengan staf-staf ARI untuk
mencukupi kebutuhan hidup bersama. Kami memahami bahwa semua kegiatan itu
adalah bagian dari seluruh proses pembelajaran di ARI. Itu yang ingin kami pelajari
untuk diterapkan di masyarakat desa nantinya. Dan bagi saya pribadi itu
tantangan yang penting untuk membandingkan seberapa jerih payah petani untuk menghasilkan panenan terbaiknya antara
di Indonesia dengan di Jepang. Saya tahu usaha keras petani di Indonesia untuk
menghasilkan panen setiap musimnya. Bagaimanakah di Jepang? Adalah kebanggaan
tersendiri apabila saya berhasil menjadi bagian dari pembelajaran di ARI. Jika
saya diterima, saya akan mempercayakan diri saya pada keseluruhan pembelajaran
di ARI dengan segala interaksi di dalamnya, untuk membentuk diri saya menjadi
pengorganisir rakyat yang lebih baik.
Eunike Widhi Wardhani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar