Senin, 23 Januari 2017

Mengapa saya memilih bidang pertanian



1.      Saya dari Fakultas Pertanian jurusan Budidaya Petanian (Agronomi). Berikut ini adalah sedikit cerita pribadi saya mengapa saya  memilih studi pertanian.  Ayah saya berasal dari desa Candisari Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali, suatu desa di lereng Gunung Merbabu. Ibu saya dari Desa Hargobinangun Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman Yogyakarta, suatu desa di lereng gunung Merapi. Mereka berdua meninggalkan desanya, bertemu, menikah dan tinggal di Kabupaten Grobogan. Saya dilahirkan di Desa Gabus Kecamatan Kradenan Kabupaten Grobogan, di tempat ayah saya bertugas sebagai guru Sekolah Dasar Kristen di desa itu selama 2 tahun. Orang tua saya tidak bermatapencaharian sebagai petani tetapi kehidupan mereka dibesarkan dalam keluarga petani, sangat dekat dengan kehidupan desa dan pertanian. Nenek saya seorang petani dan tinggal di desa. Banyak dari keluarga ayah dan ibu saya adalah petani dan tinggal di desa di lereng gunung Merapi dan Merbabu Jawa Tengah. Setiap liburan sekolah, saya diantar oleh orang tua saya ke desa nenek dan tinggal di sana sampai menjelang masuk sekolah kembali. Selama di desa saya ikut nenek saya dan saudara-saudara mengerjakan ladang yang ditanami sayuran seperti cabai, tomat, kol dan sawi ataupun jagung dan ketela. Saya memiliki banyak teman-teman dan handai tolan di desa itu meskipun sekarang saya tinggal di kota Salatiga. Saya berpikir bahwa pertanian  bersinggungan secara langsung dengan kehidupan dan dapat menjadi inti dari seluruh usaha menyejahterakan semua orang, tetapi saya juga bertanya-tanya “saudara-saudara saya di desa menguasai semua itu, tetapi mengapa mereka tetap miskin?”. Saya ingin mempelajari banyak hal yang menunjukkan bagaimana  kehidupan itu berlangsung, bagaimana membudidayakannya sampai dengan bagaimana mengelolanya. Di satu sisi saya cukup menyukai seni, terutama music. Tetapi saya lebih tertarik menghabiskan waktu belajar tentang darimana suatu kehidupan itu berasal, salah satunya dengan memilih kuliah pertanian. Awal saya kerja di Trukajaya, saya memutuskan tinggal di desa yang saya dampingi, yaitu desa Jlarem Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali (1 tahun) dan Desa Rambat Kecamatan Geyer Kabupaten Grobogan (3 tahun). Saya tinggal di dua desa itu hamper dikatakan full, tentu saja dengan sesekali ke kantor Trukajaya saat ada rapat staf. Itu berlangsung saat saya belum menikah.



Desa-desa di Indonesia identik dengan kemiskinan. Kebetulan kedua orang tua saya berasal dari desa dan saya terbiasa melihat kehidupan orang desa di Indonesia kurang terdukung oleh pemerintah. Desa di Indonesia secara kolektif merupakan pabrik pangan yang besar melalui tangan para petani. Selayaknya petani menjadi penguasa pangan. Jaminan kecukupan pangan sudah sepantasnya menjadi hak petani dan masyarakat desa. Namun label kemiskinan yang ditempelkan pada petani di  desa telah memutar balik keadaan. Program RASKIN (Beras Untuk Rakyat Miskin) menjadi potret pemutarbalikan status petani sebagai penguasa pangan menjadi pihak lemah yang tergantung pada bantuan pangan. Semua itu diatur oleh penguasa dari luar petani.  Yang lebih mengerikan lagi, kalau beras dari program RASKIN yang dibagikan ke petani itu adalah beras yang berkualitas jelek. Produk pangan dari desa diperlakukan sebagai komoditas yang diperhitungkan dengan rumus-rumus ekonomi untuk keuntungan pemodal, mengabaikan petani sebagai pemilik asli pangan itu sendiri.
Jawa Tengah yang terkenal tanahnya subur, merupakan lumbung pangan nasional. Namun kenyataannya keadaan di desa-desa dampingan Trukajaya: Kendel, Lembu, Randurejo, Rambat, Karanggondang, Sumberejo, Karangwungu dan Tlepokwetan yang merupakan desa penghasil padi di Jawa Tengah, petani tidak dapat mengelola sumber-sumber pangan di desanya. Petani di desa-desa tersebut terhimpit dalam kemiskinan yang panjang. Mereka perlu dikuatkan dan dibangun kepercayaan dirinya bahwa petani  mampu mengambil keputusan atas usahanya dan seluruh aspek kehidupan di desanya, tidak didikte terus oleh penguasa dari luar desa.



1.      Saya pikir, pemaparan tersebut dapat mendukung alasan mengapa saya mengerjakan pekerjaan yang berkaitan dengan desa. Benar yang dikatakan seorang guru saya di sebuah pelatihan pengorganisasian masyarakat, bahwa masa lalu membentuk diri kita yang sekarang ini.  Semua yang terjadi di masa lalu, berjasa membentuk diri saya yang sekarang ini. Pertemuan dengan siapa saja di masa lalu saya, orang baik, orang jahat, orang jujur, penipu, orang yang kita sayangi maupun orang yang kita benci, bahkan orang yang kita tidak ingin berjumpa dengannya, juga pengalaman baik, pengalaman buruk, semuanya berkontribusi pada pembentukan karakter kita. Dan proses pembentukan itu masih berlangsung terus. Dengan latar belakang yang saya jelaskan di nomor 1 di atas, desa menjadi sangat “sesuatu” dalam diri saya. Itulah alasannya.


1.       Lembaga kami Yayasan Kristen Trukajaya beralamat : Jl. Cemara II No. 65 Salatiga namun aktivitas pendampingan kami di kabupaten Grobogan, Boyolali, Semarang, Klaten, Purworejo. Desa-desa yang kami dampingi tersebar di 5 kabupaten tersebut dan sebagian kecil program kami di Kota Salatiga sebagai lokasi kantor kami. Masyarakat yang kami dampingi adalah masyarakat desa miskin, petani kecil, buruh tani dan pengusaha kecil perdesaan. Mereka memiliki karakter yang menerima keadaannya tetapi juga memiliki solidaritas yang tinggi dalam komunitasnya. Budaya gotong royong masih mereka lestarikan dalam kegiatan social di desa, misalnya kelahiran bayi, perkawinan, pembangunan rumah maupun kegiatan lainnya. Mereka akan bergantian saling menyumbangkan tenaga dan pikiran dalam kesibukan tersebut antar komunitas. Lingkungan tempat tinggal mereka yang saling berdekatan memungkinkan mereka saling memperhatikan. Kehidupan petani kecil dan buruh tani di perdesaan saat ini mulai menghadapi persoalan kerusakan lingkungan akibat penggunaan benih, pupuk dan pestisida kimia dalam pertaniannya untuk mengejar produksi. Kerusakan lingkungan itu membutuhkan solusi yang baik ke depan.


Kami telah mempelajari informasi tentang ARI sejak tahun 2009, dari para lulusan ARI maupun dari web site ARI bahwa peserta pelatihan akan melakukan banyak kegiatan di dalam dan di luar kelas, melakukan budidaya tanaman di kebun, mengurus ternak di kandangnya, membersihkan kotoran ternak, menanam padi di sawah dan kegiatan pertanian lainnya bersama dengan staf-staf ARI untuk mencukupi kebutuhan hidup bersama. Kami memahami bahwa semua kegiatan itu adalah bagian dari seluruh proses pembelajaran di ARI. Itu yang ingin kami pelajari untuk diterapkan di masyarakat desa nantinya. Dan bagi saya pribadi itu tantangan yang penting untuk membandingkan seberapa jerih payah petani  untuk menghasilkan panenan terbaiknya antara di Indonesia dengan di Jepang. Saya tahu usaha keras petani di Indonesia untuk menghasilkan panen setiap musimnya. Bagaimanakah di Jepang? Adalah kebanggaan tersendiri apabila saya berhasil menjadi bagian dari pembelajaran di ARI. Jika saya diterima, saya akan mempercayakan diri saya pada keseluruhan pembelajaran di ARI dengan segala interaksi di dalamnya, untuk membentuk diri saya menjadi pengorganisir rakyat yang lebih baik.


Eunike Widhi Wardhani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar