Salibkan Yesus,
bebaskan Barabas, nampaknya masih terus terjadi di mana-mana.
Siapa yang tidak
menjalankan ranahnya, kok saya yang dijadikan terhukum atas kemungkinan malu yang
didapat.
Selain menjadi warga di
lembaga, saya juga adalah seorang pribadi yang punya aspirasi, ide, punya
pertanyaan, punya pikiran saya sendiri yang tidak selalu otomatis dimengerti
orang lain tanpa saya menjelaskannya.
Saya yang hanya staf
biasa memiliki ide dan pertanyaan saya sendiri, saya paham untuk kaitannya
dengan kantor saya sampaikan usulan kepada atasan saya. Memang dijawab, tetapi
jawabannya tidak cukup jelas untuk pertanyaan dan usulan saya. Saya tidak
memaksakan kehendak saya terjadi, tetapi atas dasar apa kemudian orang bebas
memberangus pikiran saya yang terus bertanya-tanya.
Kalimat-kalimat saya
jelas berupa pertanyaan pribadi, murni pertanyaan dan tidak berisi muatan yang
mempermalukan siapapun baik individu maupun lembaga maupun keuangan program
apapun. Dan perlu dicamkan, saya tidak ngemis. Saya bertanya dan toh dijawab
dengan cukup baik oleh pihak yang menjawab. Tetapi aneh bin ajaib, status saya
kemudian bisa menjadi terdakwa yang divonis mencemarkan nama baik lembaga dan
saya diancam diberi SP kalau melakukan komunikasi dengan pihak lain lagi.
Surat-menyurat dengan
AOI yang menjadi ranah manajer, tidak pernah ybs membalas dengan inisiatif
dirinya sendiri, selalu melempar itu untuk saya yang menjawab, padahal itu
ditujukan kepada pimpinan.
Dengan Jaker PO juga
demikian
Dengan UNIKA juga
demikian.
Dengan WCC pun nasib
saya sama.
Bukannya saya suka
melakukannya, tetapi justru saya selalu dibebani (sering dilempari ranah
manajer untuk saya yang menjawab, beda dengan pendelegasian, tetapi ini
pelemparan tanggung jawab) bahkan tidak dipedulikan oleh manajemen dalam hal
surat-menyurat walaupun itu hal urgen yang menyangkut kepentingan lembaga ini
dan harus cepat diputuskan. Kalau dapat uang saja, cepat-cepat manajemen
mengambil alih segera dimasukkan ke rekening lembaga. Tetapi giliran menjawab surat,
ber-etika dengan pihak luar, semuanya cuek. Setiap saya menanyakannya, selalu
dikembalikan untuk saya yang menjawab.
Komunikasi dengan AOI,
UNIKA, mitra-mitra lainnya bahkan pengajuan beasiswa ke WCC untuk studi ke ARI,
sampai-sampai pihak ARI menelepon kantor kita memberitahu kalau aplikasi kita
harus dilengkapi hari itu juga. Mereka memberitahu saya untuk membaca email
dari mereka kepada Direktur dan kepada saya dan mendesak untuk segera dibalas.
Sampai mereka menelepon malam itu, dan mau menunggu jawaban dari lembaga malam
itu, karena harus dikirim malam itu juga. Pak Direktur sedang keluar kota, dan
karena saya masih ada di kantor saya menyediakan diri untuk menindaklanjutinya
itupun atas seijin beliau pak Direktur dan suratnya pun saya-cc-kan pak
direktur. Tetapi lagi-lagi saya disalahkan, tidak beretika karena pertanyaan
saya dikatakan salah. Walaupun sudah tahu kalau saya benar sesuai topik yang
dibahas, tetap saja digolek-goleki kesalahan saya. Sebenar apapun kalimat saya,
dijamin pasti dinilai salah oleh direktur, bandingkan saja dengan staf lain
atau para manajer…mereka akan selalu dibenarkan, se-salah apapun itu, termasuk ndremis minta dibelikan hp Samsung yang cuma
1 juta saja, lembaga segede gajah ini harus ndremis dari uang program lho itu.
Saya mengajukan pertanyaan toh tentang program beasiswa di ICCO, bukan mau
minta dari uang program. COBA BANDINGKAN…mana yang lebih KERE???? Mana yang
lebih MENCEMARKAN NAMA BAIK LEMBAGA? Saya atau manajer keuangan yang ndremis hp
1 juta minta diambil dari uang program ICCO????????
Siapa yang
mempermalukan lembaga? Jadi siapa yang seharusnya mendapat SP????
Bagaimana menjelaskan
logika bahwa saya mencemarkan lembaga. Surat-surat dengan ARI, jelas-jelas
mengatakan Dear Eunike. Jadi mereka tujukan langsung kepada saya. Saya berhak
sekaligus wajib menjawab, kalau mau beretika. Kalau saya diam saja, itu baru
namanya saya tidak sopan.
Saya hanya
berkomunikasi, menjawab surat mereka yang dengan serius mereka bertanya kepada
saya tentang hal yang sangat penting, penting untuk lembaga juga.
Tetapi ketika saya
berkorban untuk itu, justru saya “disalibkan”. Begini terus sejak dulu. Saya cuma kawula alit yang kebetulan punya niat gigih dan tidak pernah memperoleh sesuatu dengan mudah di sini. Hanya untuk bertahan saja di lembaga ini, kalau bagi "kelompok gelas kristal" mudah tetapi untuk saya tidak. Saya harus mengambil risiko demi risiko bahaya dan pengorbanan yang tidak sepele selama belasan tahun. Itu hanya untuk saya eksis di sini. Andai saya tidak mengambil risiko bahaya itu, pastilah saya dibuang sejak dahulu.
Itulah maka saya
merasa 15 tahun di lembaga ini, sebenarnya saya SANGAT DIBUTUHKAN tetapi
sebenarnya TIDAK PERNAH DIINGINKAN. Jelas saya dibutuhkan untuk kerja-kerja
berbahaya dan penuh risiko (buktinya perempuan selain saya tidak ada yang mau, termasuk para senior sekalipun untuk mengambil risiko seperti yang saya ambil), saya selalu jadi tempat sampah untuk hal-hal
berat dan tidak enak. Tetapi giliran yang enak-enak, “Kelompok Gelas Kristal” duluan
yang menikmati. Kondisi itu sengaja dibudayakan dan ditetapkan siapa bagian
sampah terus, siapa bagian enak terus....
...tetapi tetap saja
Sang Pangeran menemukan Cinderela....
Eunike-menjelang keberangkatan ke Jepang....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar