Apa sajakah yang bisa ditawar menurut anda?
Apa sajakah yang tidak bisa ditawar menurut anda?
Pernahkah kita berpikir: mengapa kita patuh pada suatu
aturan tertentu? Mengapa kita mengikuti suatu ajaran tertentu, misal cara
memberi bumbu masakan, cara membuat kursi, cara beribadah, meyakini suatu
kebenaran. Mengapa?
Namaku Eunike
Banyak yang bingung mengeja namaku. Meskipun sebenarnya
mudah, tinggal dibaca apa adanya dalam ejaan bahasa Indonesia: Eunike. Tetapi sebenarnya
itu pemberian orang tuaku yang mereka ambil dari 2 Timotius 1: 5. Ya, aku
adalah ibunya Timotius. Mungkin orang tuaku berharap supaya aku menjadi
perempuan yang beriman dan mendidik anak-anakku beriman.
Latar belakang keluarga
Aku adalah bungsu dari 3 bersaudara. Kakakku yang sulung
perempuan, 4 tahun lebih tua dari aku, dan kakakku yang ke dua, laki-laki,
umurnya 2 tahun lebih tua dari aku. Masa kecilku cukup menyenangkan bermain
bersama teman-teman atau tetangga sebayaku. Waktu itu yang ada masih permainan
tradisional, bukan permainan modern seperti sekarang. Ayah dan ibuku semuanya
guru SD di kota kecil kami.
Kami tinggal di rumah kontrakan sampai aku SMP di satu kota
kecil. Ayahku baru mampu membangun rumah sendiri saat aku SMP. Yang selalu kuingat adalah di malam pertama
tinggal di rumah itu, kami belum punya genting/ atap. Jadi kami tidur malam itu
dengan memandangi bintang-bintang di langit dari dalam rumah. Karena dana
orangtuaku sangat minim, yang penting tinggal di rumah sendiri, tidak ngontrak
lagi, ayahku hanya mentargetkan pokoknya bisa untuk berlindung, lantainya masih
tanah, temboknya masih terbuka. Sangat berbeda dengan rumah-rumah tetangga kami
yang hampir semua sudah bagus-bagus.
Meskipun rumah jelek, orang tuaku menyekolahkanku sampai Perguruan Tinggi.
Itu cukup tinggi untuk ukuran orang susah seperti kami. Karena di kota kecil
kami tidak ada Perguruan Tinggi jadi aku sekolah di luar kota (di Semarang, ibukota Propinsi
Jawa Tengah), aku kost bersama kakakku yang sudah lebih dulu masuk kuliah tahun
sebelumnya. Kami pulang kampung setiap hari Sabtu dan berangkat ke Semarang
lagi di hari Minggu atau Senin pagi. Rumah kami masih jelek waktu itu. Saat
kuliah itu, mulai ada teman cowok yang mendekatiku. Aku pun senang dan
berbunga-bunga hatiku. Tetapi setelah berkunjung ke rumahku, si cowok itu
kemudian mulai menjauhiku. Aku tidak tahu pasti sebabnya, dugaanku karena
rumahku jelek, karena kejadiannya selalu begitu.
Tetapi saat aku kenal Daudy Brahmantyo yang sekarang menjadi
suamiku, keadaan sudah berubah. Aku yang menentukan nasibku sendiri, dan
ternyata ketika aku berani mengambil keputusan untuk cinta, segala sesuatu
menjadi lebih mudah aku jalani. Aku yang memulainya lebih dulu meskipun dalam
kelakar. Aku bilang : kalau kamu mau sekarang kita mulai,
karena 10 menit lagi aku sudah tidak mau membicarakan itu lagi. Lalu mulailah perjalanan
cintaku yang manis, pahit, pedas, asam, asin, semua rasa ada di situ. Sama
dengan semua pasangan di semua penjuru dunia ini, tidak ada yang mudah dan
tidak cukup waktu diceritakan sehari.
Sekolah dan pekerjaan pilihanku
Dari D3 pertanian, aku melanjutkan sekolahku ke jenjang S1
di sebuah PTS di Yogyakarta. Setelah lulus aku
sempat bekerja sebagai pramuniaga di sebuah toko retail besar di Semarang
selama 3 buan kemudian aku meneruskan kuliah ke jenjang S1. Lulus S1 aku bekerja
sebagai kasir di sebuah apotek di Purwodadi selama setahun. Tahun 2001 aku
bergabung di sebuah lembaga bernama Trukajaya selama 13 tahun sampai saat ini.
Oleh karena di lembagaku syaratnya harus bisa naik sepeda motor, aku sudah
cukup bisa mengemudikan sepeda motor, tidak mahir hanya cukup, tinggal mengurus
SIM. Mau tidak mau, aku yang semula penakut, sekarang mulai jadi pemberani.
Hal berkesan di usiaku yang sudah 40 tahun, aku diterima menjadi salah satu peserta di Pelatihan Kepemimpinan Perdesaan, nama sekolahku itu adalah Asian Rural Institute (ARI). Banyak yang mempertanyakan alasanku ke ARI. “Mengapa kamu
pergi ke ARI, apa yang kamu cari? Bukankah kamu masih punya bayi, anakmu yang
besar juga masih butuh perhatian saat belajar. Mengapa kamu tega meninggalkan
mereka, Kamu akan kehilangan sebagian dari masa penting pertumbuhan mereka, di
masa emasnya (yang kecil). Kamu yakin, dengan keputusanmu? Kesempatan ke ARI
bukan sekarang saja. Kamu bisa pergi setelah anak-anakmu besar”. Seorang teman
lain juga bertanya, mengapa kamu sangat ingin ke ARI, padahal kamu sudah tidak
muda lagi untuk menjalani pembelajaran semacam itu, banyak anak muda yang lebih
tepat belajar itu dibanding kamu, karena mereka masih punya banyak kesempatan
untuk mengembangkan kapasitasnya dibanding kamu?
Tetapi aku dan suamiku, kami berdua punya alasan tersendiri
atas kepergianku ke ARI.
Tiga tahun aku menunggu ini. proses mencari tahu informasi,
aplikasi, dengan segala liku-likunya sampai impian ini menjadi kenyataan adalah
rangkaian proses panjang yang kunikmati dan benar-benar kuhayati. Itu sangat
membentuk persepsiku tentang ARI
Sebelum aku tau tentang ARI, direkturku sudah menawarkan
kesempatan aplikasi kepada beberapa teman lain, para mantan manajer (termasuk
yang tahun lalu didaftarkan oleh lembagaku tetapi akhirnya tidak diterima),
tahun 2009 mereka semua menolak tawaran itu. Banyak alasan mereka menolak,
salah satunya berat meninggalkan keluarga dan mereka memilih pendidikan gelar
S2 atau S3. Akhirnya direkturku melemparkan tawaran itu kepadaku dan aku
langsung oke. Berkali-kali direkturku bilang: ini non gelar. Aku jawab: oke,
tidak masalah. Aku tidak butuh gelar, justru ini yang aku cari. Aku kemudian
mencari tau sendiri tentang ARI, browsing-browsing internet. Aku sempat menunda
karena hamil, dan singkat cerita akhirnya terwujud juga.
Tentang cinta
Cinta sebenarnya tak sekedar jatuh cinta tetapi cinta adalah
sebuah keputusan sengaja, penuh kesadaran. Sakit, sedih, bosan, tidak bebas,
tetapi itulah cinta. Kadang kelihatan bodoh di depan orang yang kita cintai,
tidak masalah. Kita bisa tampil sempurna di depan orang lain, tapi kita nampak
bodoh sekali di depan pasangan kita. Memang begitulah kadang-kadang gunanya
pasangan, mereka tempat kita tampil bodoh juga, tapi jangan terlalu sering
kelihatan bodoh. Itulah hubunganku dengan suamiku. Sebelum menikah, masih pacaran dahulu,
dia sangat pencemburu, sangat membatasi
gerakku. Awal menikah, dia masih suka memberiku hadiah di hari ulang tahunku.
Tapi setelah menikah, banyak yang berubah. Itu bukan berarti bahwa dia sudah tidak
sayang padaku lagi. Dia selalu lupa hari ulang tahunku. Tetapi justru dengan kelupaannya itu, yang selalu dia akui,
walaupun dia ulangi terus, justru itu yang unik dalam dirinya yang membuat
hubungan kami selalu terasa spesial, tiada duanya.
Kami punya cinta yang tidak datang tiba-tiba. Karena kami
memulainya dari nol, belum ada cinta sama sekali. Kamilah yang menciptakannya dengan
sengaja dan dengan kesepakatan, melalui berbagai konflik, saling memaksa,
saling mengatur, jatuh dan bangun bersama. Pantang menyerah, itu kuncinya.
Kalau anda sudah menemukan orang yang benar-benar anda cintai, anda akan merasa
tidak pernah cukup mencintainya. Walaupun anda sudah melakukan segala sesuatu
special untuknya, anda tidak akan pernah berhenti berusaha memperbaiki diri
anda untuk diberikan kepadanya. DAN ITU TIDAK UNTUK DITAWAR.
Jadi cinta itu bukan nasib.
Cinta adalah keputusan sengaja, kepada siapa kita
menjatuhkan cinta itu, sepenuhnya keputusan kita.
Demikian pula cinta kita kepada komunitas yang kita dampingi. Kita tidak akan pernah berhenti
meningkatkan kapasitas kita untuk diberikan kepada komunitas yang kita
dampingi. Mereka punya hak mendapatkan pelayanan terbaik dari kita. Sering kita
menemui banyak hambatan, kegagalan, kurangnya dukungan dari orang-orang
terdekat. Tetapi kita tetap harus melakukan tugas kita. Kalau kita tetap setia
melakukan tugas kita dengan baik, saat kita sebenarnya tidak ingin
melakukannya, itulah cinta yang sesungguhnya.
Karena masyarakat yang kita damping harus menerima kualitas
diri kita yang nomor 1, bukan nomor 2, nomor 3, 4 dan seterusnya. Tetapi nomor
1. Itulah cinta. Itu yang kudapat dari pelatihan CO di Sendangadi Sleman Yogya tahun 2005, sudah
lama sekali ya…
Kita menyadari, kita belum sempurna mencintai komunitas
kita. Maka kita terus belajar, tiada henti, untuk lebih peka terhadap cinta
mereka, jangan sampai membuatnya patah hati. Ketika suatu kebenaran sudah kita yakini bahwa itulah kebenaran, maka kita tidak akan pernah menawar lagi.
Eunike
Tidak ada komentar:
Posting Komentar