Tropical
Biodynamic Agriculture
(Pertanian
biodinamis di daerah tropis)
oleh :
Eunike Widhi Wardhani
Konsep Biodynamics Agriculture (BDA) atau
pertanian biodynamis adalah pertanian sebagai sebuah integrasi antara organisme
dalam tanah, siklus nutrisi, perawatan tanah, kesehatan tanaman, ternak dan
tentunya petani sebagai pengelolanya.
Pendahuluan
Biodynamics Agriculture. Mendengar atau membaca istilah itu kali pertama mungkin membuat kita mengernyitkan dahi. Padahal tanpa memahami arti istilahnya, banyak petani Indonesia menerapkan teknologi tersebut. Perintisnya di banyak tempat juga biasanya petani. Meskipun demikian seluk beluk di dalamnya perlu dipelajari lebih mendalam. Ibarat sebuah lukisan atau hasil karya seni lainnya haruslah dibuat dengan penuh kesadaran dan keseriusan tingkat tinggi, bukan tanpa sadar ataupun asal-asalan saja. Apa maksudnya ya? Kita akan belajar bersama dari hasil diskusi sehari tentang Tropical Biodynamic Agriculture yang disampaikan oleh seorang petani bernama Tom Meredith dari Australia yang berhasil dihadirkan oleh Trukajaya.
Teknologi Biodynamics Agriculture (BDA) telah
dikembangkan cukup lama dimulai oleh seorang peneliti Austria bernama Rudolf
Steiner pada tahun 1924. Adapun tokoh-tokoh BDA di Australia Ernesto Genoni,
Melbourne (1927), William, Sidney (1939), dan sejak 1950 BDA di Australia
dikembangkan oleh Alexei Podolinsky yang menjadi guru praktis dari Tom
Meredith.
Profil Tom Meredith
Lajang
berusia 52 tahun ini bernama lengkap Thomas Meredith. Dia seorang geologist
(ahli ilmu tanah) dan pada tahun 1977-1984 menjadi dozen Geologi di James Cook
University Townsville North Queensland,
Australia.
Sejak menjadi mahasiswa geologi di universitas yang sama, rupanya Tom sudah
tertarik dengan dunia pertanian ramah lingkungan dengan mengembangkan kebun
sayur organik.
Sebenarnya Tom ingin mempelajari pertanian di
universitasnya tetapi belum menemukan guru terbaiknya. Akhirnya di tahun 1984
itu dia membeli lahan “sakit” bekas perkebunan tebu yang sarat input kimia
sebelumnya. Lahan seluas 42 hektar di Queensland Utara itu mengalami kerusakan
sangat parah, sulit diolah dan tidak produktif karena setiap tanaman yang
ditanam di lahan itu tidak menghasilkan panen apapun. Di lahan itu Tom belajar
tentang pertanian organik tropis dari pengetahuan pertanian organik berdasar
sistem pengelolaan suhu selama 4 tahun. Akhirnya dia berhasil menyembuhkan
lahan itu, dan sejak 1988 Tom si petani ini mulai mendirikan perusahaan
pertanian organic komersial dengan nama “TROPICAL ORGANIC PRODUCE”. Hingga
sekarang (jadi 22 tahun) Tom menjadi petani yang memasok produk organic di
pasar-pasar Australia.
Pengamatan Tom terhadap pertanian di Pulau Jawa
Trukajaya berhasil menghadirkan Tom Meredith atas
kebaikan Yos Suprapto, seorang rekan studinya di James Cook asal Banyuwangi
yang kini tinggal di Kaliurang Yogyakarta. Yos Suprapto adalah seorang
pemerhati lingkungan.
Sebelum ke Salatiga, Tom berkeliling pulau Jawa
yaitu di daerah suku Badui Banten, Banyuwangi Jawa Timur dan Wonogiri Jawa
Tengah. Tom menyatakan keheranannya mengapa di Pulau Jawa yang merupakan tanah
subur terbaik di dunia, petani harus menggunakan urea atau pupuk kimia lainnya?
Penambahan pupuk kimia sangat disayangkan karena tanah pertanian di Indonesia
secara umum sudah subur karena letusan gunung berapi yang banyak mengandung abu
dan batu-batu vulkanik. Dalam proses lambat, bahan-bahan tersebut menghasilkan
mineral-mineral dan membuatnya menjadi tanah terbaik dan terkaya di muka bumi.
Tom menyebutkan penggunaan pupuk N, P, K
sebenarnya hanya untuk tanah yang tidak subur. Bahkan pemberian N,P dan K
berlebihan dapat mematikan humus yang mengandung karbon, merusak struktur
tanah, meningkatkan erosi dan menjadikan obesitas (kegemukan) pada tanaman.
Segala yang berlebihan memang tidak baik, tak terkecuali tanaman yang
sebenarnya sudah tumbuh sehat dan produktif tetapi masih ditambah pupuk kimia,
bahkan pemberiannya oleh petani sering melebihi dosis anjuran. Hal itu sesuai
dengan pengakuan petani padi di Klaten, bahwa dosis seharusnya 75 kg urea
tetapi petani memberi 120 kg, dengan alasan supaya tanamannya nampak hijau dan
subur. Hal itu berlangsung puluhan tahun, sehingga tanah yang semula subur,
kini menjadi rusak. Dapatkah kondisi itu diperbaiki? Jawabnya dapat yaitu
melalui pertanian biodinamis.
Tom menyebutkan ketika melalui deretan pegunungan
Kendeng, dia menemukan bahwa tanah di pegunungan Kendeng mengandung dioksida
silicone. Bahan tersebut yang memiliki daya luar biasa yang dapat dimanfaatkan
untuk menyembuhkan tanah karena dalam penelitiannya bahan tersebut telah
terbukti dapat memperbaiki kehidupan biologi tanah.
Tom sempat melakukan pengamatan terhadap cara hidup masyarakat Kanekes (Suku Baduy). Dia pun
berkesimpulan bahwa masyarakat Kanekes yang dianggap kuno dan sangat tertutup justru
lebih menghargai dan menjaga keseimbangan alam dibanding komunitas lain yang
dianggap lebih berbudaya.
Seminar sehari
Dalam seminar ini Tom dibantu Pak Yos Suprapto sebagai penerjemah, membagikan pengalamannya mulai dengan menggarap lahan seluas 42
hektarnya itu. Tahun pertama Tom menanam semacam jahe di lahan tersebut dan
pada waktu panen, hanya mendapatkan 5 kg per hektar. Suatu bukti akan rendahnya
kesuburan tanah itu. Ya, sangat rendah. Namun sekarang lahan tersebut sudah
berubah total menjadi lahan subur, sehat dan produktif dengan pemberian kompos
yang berkualitas. Untuk terampil dan berhasil membuat kompos berkualitas,
dirinya memerlukan waktu bertahun-tahun.
Di samping itu dia juga meneliti beberapa tanaman
untuk bahan pestisida alami. Pestisida andalan hasil penelitiannya yang
diajarkan kepada peserta adalah fermentasi daun cemara (Casuarina, sp). Caranya
daun cemara dimasukkan ke dalam drum hingga drum penuh namun tanpa
ditekan-tekan. Setelah itu ditambahkan air hingga daun cemara terendam kemudian
direbus hingga mendidih beberapa lama, didinginkan, ditutup dan dibiarkan agar
terjadi fermentasi tanpa penambahan bakteri apapun selama 3 hari hingga air
berwarna seperti air teh dan berbau harum. Setelah terfermentasi, larutan
dicampur dengan air biasa dan diaplikasikan dengan cara disemprotkan ke bagian
atas dan bawah daun atau buah yang terkena penyakit. Fermentasi daun cemara
dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit akibat jamur dan bakteri.
Tom mengerjakan lahan seluas itu sendiri. Hanya
saat-saat tertentu seperti pengolahan tanah atau panen, dia memerlukan tenaga
kerja tambahan. Sangat kontras dengan kondisi pertanian di Indonesia di mana
luas lahan garapan seorang petani dampingan Trukajaya hanya 0,35 hektar, itu
pun bukan miliknya sendiri.
Tom memang sengaja memilih lahan yang rusak untuk
mengetahui perbandingan kondisi awal dengan kondisi akhir dalam penerapan BDA. Dia menerapkan ilmu BDA dengan
penuh ketelatenan di bawah pengarahan Alexei Podolinsky tahun 1990-1994.
Pengembangan secara luas metode BDA adalah
menggunakan pupuk organic, menanam tanaman penutup tanah dan melakukan
rotasi tanaman.
Pupuk organic untuk mendukung kehidupan mikrobia
tanah dan menyuburkan tanah secara keseluruhan. Penggunaan tanaman penutup
tanah berupa LCC (Legume Cover Crop) terutama
karena LCC pada umumnya memiliki bintil akar akibat infeksi bakteri Rhizobium
dalam tanah, sehingga bintil akar tersebut dapat mengikat Nitrogen bebas dari
udara, maka tak perlu urea, kemudian fungsi lain menguatkan teras, menahan
pencucian tanah oleh air hujan serta mendukung keseimbangan biologi tanah.
Adapun rotasi tanaman dilakukan untuk memutus siklus hama dan penyakit.
Pertanian Organik memang sudah dikenal di Indonesia. Namun menurut Tom,
banyak petani Indonesia
yang membuat kompos secara asal-asalan atau tidak diproses lebih dulu sehingga
kompos berbau. Bagi yang cukup familiar lewat pegunungan di Jawa Tengah, contohnya areal pertanian di
Kopeng lereng Merbabu atau tempat lain yang di pinggir areal itu terdapat bertumpuk karung
pupuk organic yang berbau busuk. Padahal kompos seperti itu akan berpengaruh buruk pada kesehatan tanah dan
pertumbuhan tanaman.
Semua bahan organic dapat dibuat dikomposkan,
tetapi kunci membuat kompos yang baik adalah :
- Kondisi hangat
- Kalau terlalu basah akan busuk, kalau terlalu kering akan terlalu lama jadinya
- Pembuatan kompos harus di atas tanah, bukan di atas alas semen atau bahan lain.
- Ada sirkulasi udara, bukan anaerob.
- Kompos tidak dibuat di bawah pohon
- Kompos tidak berbau busuk tetapi berbau harum
- Kompos yang baik, jika dipegang berbentuk, tetapi saat dilepas langsung pecah.
Tom menyarankan
tidak membuat kompos dari kotoran manusia, karena biasanya mengandung
bermacam-macam patogen sehingga sulit dikontrol.
Belajar dari kearifan lokal
Dalam seminar ini, dihadirkan pula Dr. Yohanes Hendro Agus dari
Fakultas Pertanian UKSW untuk memberi second opinion atau menanggapi penyampaian
Tom Meredith tentang BDA. Pak Yohanes justru punya pengalaman pernah masuk ke
dalam lingkungan suku Badui dan tinggal di sana selama 2 bulan. Suku Badui di Banten
terkenal sebagai masyarakat yang anti teknologi modern, hidup apa adanya,
mereka dapat hidup dengan mengambil buah dan sayuran di kebun untuk makan
secukupnya, cukup 1 baju kalau belum rusak tidak perlu ganti, mereka tidak
punya keinginan beli televisi, beli mobil atau barang-barang lain, tidak
membangun rumah tembok, dan berbagai aturan lain yang mencerminkan
kesederhanaan. Mereka justru punya otoritas penuh mengatur wilayahnya tanpa
campur tangan pihak luar termasuk otoritas untuk menjaga keseimbangan alam,
tidak mengeksploitasinya. Contoh di Jawa Tengah yang hampir mirip adalah masyarakat
Samin di Blora Jawa Tengah dengan hidup sederhana, justru lebih pandai menjaga
kelestarian lingkungan
Tentang BDA, Pak Yohanes juga menyatakan pada intinya BDA menjaga
keseimbangan siklus berbagai unsure dalam pertanian organic.
Salatiga, Pebruari 2010
Eunike Widhi Wardhani
(diambil dari catatan hasil seminar BDA yang diselenggarakan oleh Trukajaya pada tanggal 10 Pebruari 2010 di aula Sinode GKJ Salatiga-Jawa Tengah-Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar