Kebenaran Sejati (bukan tentang agama)
Filipi
3: 4-14
Setelah
membaca Alkitab itu, silakan baca juga harian Kompas Sabtu, 28 Mei 2016
Pada
rubrik Karier hal. 33, berjudul “PENTINGNYA ORGANIZATIONAL DIAGNOSTIC UNTUK
MENJADI HIGH PERFORMANCE ORGANIZATION”
Ketika
kita mendapat inspirasi tentang keadilan itu menurut Tuhan, bukan menurut
pikiran kita sendiri, kita dituntut untuk tidak hanya melihat kesalahan pihak
lain, tetapi juga kesalahan diri kita sendiri; maka Rasul Paulus melalui
suratnya kepada jemaat di Filipi yang kita baca di atas mengajak kita untuk
bersikap dan berprinsip hanya berdasarkan iman kepada Kristus.
Keadilan
itu sumbernya hanya satu, yaitu dari Tuhan. Kebenaran juga demikian. Tuhan itu
sumber segala kebenaran dan keadilan sejati. Itu sifatnya universal atau
berlaku umum. Karena kalau seseorang meng-klaim kebenarannya sendiri-sendiri
maka akan sangat banyak, beragam dan saling bertabrakan karena kepentingan
orang berbeda-beda bahkan bisa saling bertentangan.
Jadi
kalau berfokus kebenaran dan keadilan yang bersumber dari Tuhan, maka yang kita
pikirkan, kita terapkan di kehidupan kita, yang kita ajarkan kepada masyarakat
dampingan dan kita lakukan pastilah itu turunannya, yaitu turunan dari
kebenaran dan keadilan menurut Tuhan. Kita menerima ajaran itu dari guru-guru
kita waktu sekolah, dari pemahaman Alkitab (ataupun kitab suci agama lainnya),
atau dari membaca buku, mendengarkan firman Tuhan di gereja, lalu kita
menjadikan itu sebagai pedoman hidup. Jadi tidak mungkin kalau kebenaran dan keadilan
kita itu kemudian bertentangan dengan kebenaran dan keadilan Tuhan.
Manusia
diberi mandat untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan Tuhan, bukan diam
menunggu kebenaran dan keadilan itu datang sendiri. Kitalah alat-alat yang
dipakai Tuhan melalui cara hidup kita. Tuhan mau pakai kita. Seperti halnya
ungkapan “jodoh itu di tangan Tuhan”, tetapi apakah kemudian kita hanya diam
menunggu tanpa berusaha? Tidak kan. Pengalaman saya pribadi dan mungkin juga
beberapa kawan soal jodoh, memang menunggu tetapi bukan diam tanpa melakukan
apa-apa. Bertindak sesuatu, menunjukkan pikiran kita, niat kita dengan jujur
dan rendah hati di hadapan Tuhan, itu sebuah upaya positif. Karena doa yang
mewujud dalam upaya nyata, Tuhan menyambut itu. Kadang Tuhan bertindak menolong
kita melalui bantuan orang-orang terdekat (teman, sahabat, saudara) yang
mempertemukan dan mendekatkan kita dengan jodoh pemberian Tuhan, itulah bentuk
kerjasama yang baik antara usaha kita dengan restu dari Tuhan, dan Tuhan
memberkati itu dalam pernikahan dan perjalanan rumah tangga yang kita
perjuangkan sejak awal. Jadi semua itu perlu usaha, demikian juga kebenaran dan
keadilan. Kitalah alat-alat yang Tuhan mau pakai untuk menyuarakan kebenaran
dan keadilanNya. Pertanyaan pentingnya: kita ini mau atau tidak? Kita bersedia
menjadi alat Tuhan atau kita memilih masa bodoh dengan panggilan Tuhan itu? Di
situlah letak perbedaan pribadi satu dengan yang lain.
Kalau
semua manusia hanya njagakke kebenaran dan keadilan Tuhan datang
sendiri, tidak berusaha, tidak mengarahkan pikiran ke arah kebenaran dan
keadilan, itu sih bukan sikap berserah kepada Tuhan tetapi malas berusaha,
takut risiko, takut menghadapi konflik, hanya mencari posisi aman atau malah
membela yang sudah jelas salah dan menghukum yang benar.
Menunggu
kebenaran dan keadilan Tuhan juga bukan diam dan malah hanyut dalam
ketidakadilan itu. Dulu salah seorang guru kita, Haryanto Santosa pernah mengajarkan
sebuah ilustrasi yaitu kalau kita mau menyeberangi sungai yang arusnya deras,
kita mungkin terpaksa harus mlipir-mlipir dulu, jalan kita nampaknya
berbelok dulu tetapi fokus kita tetap yaitu bagaimana caranya biar sampai ke
seberang. Di situ itu memang tahapan yang berat, tidak gampang. Ada banyak yang
awalnya bilang serius mau menyeberang menentang ketidakadilan, ketika lihat
arusnya deras, katanya mlipir-mlipir dulu, tapi kemudian hanyut,
berbelok haluan malah ikut arus deras, lupa pada fokus awalnya yaitu
menyeberang. Jadi sampai kapanpun dia tidak akan menyeberang karena arahnya
sudah berbelok.
Menunggu
itu dengan mengambil peran, melakukan di titik manapun kita berada. Titik di
mana kita berada bukan hanya bicara soal struktur organisasi saja, tetapi semua
aspek untuk menjadi HIGH PERFORMANCE ORGANIZATION atau ORGANISASI YANG
BERKINERJA TINGGI.
Di
organisasi yang punya konsen memperjuangkan keadilan, kita diberi forum di mana
bisa saling mengingatkan, mengkritik dan memprotes satu sama lain untuk
mengoreksi kekeliruan. Dasarnya adalah kepedulian akan masa depan organisasi
tersebut. Maka kesempatan itu harus digunakan sebaik-baiknya. Orang kadang
hanya karena takut berkonflik lalu memilih diam dan hidup dalam kepura-puraan.
Kita tidak perlu sengaja mengundang konflik, tetapi ketika konflik memang harus
terjadi, maka harus dihadapi dan disikapi, bukan dihindari atau diredam.
Di
ranah keimanan seperti forum kebaktian, firman Tuhan tentang kebenaran dan
keadilan berlaku untuk semua, bukan hanya yang mendengarkan saja tetapi
termasuk yang berbicara menyampaikan firman Tuhan, kita semua tidak terkecuali.
Dasarnya adalah iman seperti yang dicontohkan Rasul Paulus di bacaan tadi :
iman itu menyempurnakan segala ketaatan pada hukum taurat, karena yang
menyelamatkan akhirnya bukan hukum tauratnya, tetapi hanya iman kepada Kristus,
itulah satu-satunya yang menyelamatkan.
Ranahnya
sudah sendiri-sendiri. Forum organisasi untuk mengurus soal organisasi, hal
yang tidak benar diputuskan bagaimana, kasus-kasus ketidakadilan diusut
bagaimana, sedangkan forum ibadah untuk pertumbuhan iman. Tetapi kalau memaksa
ingin menggabungkan keduanya, maka posisi iman berada di atas aturan main
organisasi, bukan kebalikannya.
Ketika suatu kebenaran sudah kita yakini bahwa itulah kebenaran, maka kita tidak akan pernah menawar lagi.
Ketika suatu kebenaran sudah kita yakini bahwa itulah kebenaran, maka kita tidak akan pernah menawar lagi.
Maka
ungkapan “gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di seberang lautan
tampak” dapat digunakan untuk menguji keimanan seseorang yang ketika di
depannya ada banyak gajah-gajah penyalahgunaan kekuasaan, gajah-gajah
kebohongan, gajah-gajah ketidakadilan, tetapi orang itu tidak bisa melihatnya,
tetapi malah fokus membalas seruan-seruan kecil yang mengungkap itu. Orang
yang rajin beribadah dan mengaku mengenal Tuhan, pasti tahu bedanya contoh antara
orang-orang yang jelas-jelas terbukti merugikan organisasi tetapi tidak
dikenai sanksi apapun, malah dilindungi, diselamatkan dan di antaranya justru
diberi jabatan penting terus menerus dibanding orang yang tidak melakukan
kejahatan apapun, justru dibuang karena tidak disukai. Itukah keadilan Tuhan???
Jadi kita harus berhati-hati untuk mengatakan sebuah kebenaran dan keadilan itu dari Tuhan atau bukan. Karena jangan salah. Iblis itu bukannya tidak tahu firman Tuhan lho. Iblis itu justru sangat hafal dan paham firman Tuhan dibanding manusia. Sehingga iblis pun bekerja menggunakan firman Tuhan untuk menjebak manusia.
Jadi kita harus berhati-hati untuk mengatakan sebuah kebenaran dan keadilan itu dari Tuhan atau bukan. Karena jangan salah. Iblis itu bukannya tidak tahu firman Tuhan lho. Iblis itu justru sangat hafal dan paham firman Tuhan dibanding manusia. Sehingga iblis pun bekerja menggunakan firman Tuhan untuk menjebak manusia.
Mengapa
ada orang yang marah-marah, protes, bertanya, dan semacamnya? Karena orang tidak akan marah-marah atau protes kalau segala sesuatu sudah
sesuai sistem yang ada. Apa dikira orang mempertanyakan itu merasakan enak? Tidak
sama sekali. Posisi mempertanyakan itu bukan pilihan, bukan yang diinginkan. Itu sebuah beban
dan sama sekali tidak enak.
Firman
Tuhan minggu lalu tentang pengampunan dari kisah Esau yang bersedia mengampuni
Yakub, itu juga pesan yang sangat penting. Yakub memiliki sikap yang baik dan
menunjukkan rasa bersalahnya secara tulus sehingga bagi Esau adiknya itu layak
diampuni. Coba kalau Yakub itu mentang-mentang atau malah merasa benar, apakah
sikap seperti itu layak untuk diampuni???
Inspirasi
karier tentang ORGANISASI BERKINERJA TINGGI tadi akan bermanfaat kalau kita
punya komitmen dan motivasi kuat pada masa depan organisasi. Tetapi
“gajah-gajah” jadi tidak terlihat, kalau komitmen dan motivasi kita di suatu
organisasi juga tidak jelas, selain hanya melakukan rutinitas untuk menerima
gaji bulanan, tanpa peduli 5 tahun lagi, 10 tahun lagi atau ke depan organisasi
mau jadi seperti apa.
Potensi
bagus bisa berkembang jika didukung system, structure, strategy, people
(orang-orang), culture dan leadership yang mendukung. Potensi yang awalnya
sudah bagus, kalau sekian lama kemudian dirusak terus-menerus bertahun-tahun
oleh system dan tatanan serta culture yang tidak mendukung, ya potensi sebagus
apapun lama-lama akan remuk. Sebaliknya system, culture dan leadership yang
cemerlang, kalau di bawahnya berisi potensi yang tidak bagus dan tidak mau
maju, ya hasilnya tidak akan maksimal. Jadi setiap aspek harus saling
bersinergi menuju satu titik. Itulah kalau kita mau memajukan organisasi. Organizational
diagnostic adalah salah satu rujukan untuk menemukan penyakit dalam
organisasi. Kalau tidak mau membuka diri untuk melakukan diagnosa, bagaimana
sebuah lembaga mau hidup dengan terus-menerus bertambahnya angka pemutihan
kredit menjadi sekian ratus juta, misalnya.
Firman
Tuhan dari Filipi 3, khususnya di ayat 12 : “aku mengejarnya siapa tahu aku
dapat menangkapnya, karena aku juga ditangkap oleh Kristus” adalah ajakan untuk
kita proaktif mengejar kehendak Tuhan. Bukan diam menunggu tanpa berusaha.
Hendaklah itu menginspirasi kita untuk membangun HIGH PERFORMANCE
ORGANIZATION.
Cerita
tentang Maria dan Marta juga bermakna : apa gunanya kita sibuk terfokus
mempersoalkan cara orang mengkritik, bahkan menghakiminya dengan ejekan bahwa
itu cuma akan dicuekin, dibungkam dengan mengatasnamakan keadilan menurut Tuhan
jangan keadilan menurut manusia, tetapi esensi dari kritik itu demi
kelangsungan sebuah lembaga, justru diabaikan.
Malah
“siung memecat” sangat cepat dikeluarkan oleh pimpinan sebuah organisasi ketika
orang berbicara jujur di internal keluarga (tidak sampai ke luar). Itukah keadilan menurut Tuhan?
Sebuah
organisasi dibangun dengan struktur, system, stretegy, people, culture dan
leadership yang baik sejak awal. Dalam perkembangannya
apakah kita bisa selalu yakin segala hal berjalan sesuai relnya? Kalau belasan
tahun kita melihat gajah-gajah ketidakbenaran dan ketidakadilan berseliweran di
depan mata tetapi kita hanya diam, lalu apakah kita ini masih berfungsi sebagai
alat Tuhan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilanNYA???
Renungan Eunike 13 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar