Lembaga
kami Yayasan Kristen Trukajaya didirikan pada tanggal 6 mei 1966 berkantor di
Salatiga. Saat ini beralamat : Jl. Cemara II No. 65 Salatiga namun aktivitas
pendampingan kami di kabupaten Grobogan, Boyolali, Semarang, Klaten, Purworejo.
Desa-desa yang kami dampingi tersebar di 5 kabupaten tersebut dan sebagian
kecil program kami di Kota Salatiga sebagai lokasi kantor kami. Masyarakat yang
kami dampingi adalah masayarakat desa miskin, petani kecil, buruh tani dan
pengusaha kecil perdesaan.
Kondisi
budaya sejarah dan lingkungan masyarakat yang kami dampingi memiliki cerita
tersendiri yang dimulai sebagai berikut: pasca kemerdekaan RI, banyak
masyarakat desa di Jawa yang padat penduduk mulai mengalami kemiskinan dan
kelaparan. Pemerintah mempunyai program transmigrasi, untuk memindahkan
penduduk pulau Jawa ke luar Jawa. Trukajaya didirikan awalnya untuk membantu
masyarakat miskin di perdesaan Jawa Tengah transmigrasi ke Sumatera. Trukajaya
memberi pembekalan sebelum berangkat dan mendampingi masyarakat desa di lokasi
tujuan transmigran sampai mereka dapat hidup secara mandiri. Namun pada tahun
1980-an program transmigrasi hanya boleh ditangani oleh pemerintah, dan
Trukajaya mengalihkan bidang pelayanannya kepada pengembangan masyarakat desa
hingga sekarang.
Entah
mengapa kemiskinan tidak pernah lepas dari masyarakat desa di Jawa. Budaya
“nrimo” sangat menonjol, yaitu mereka terbiasa menganggap kemiskinan adalah
suatu keadaan yang harus diterima tanpa berusaha. Sejarah komunitas yang
didampingi oleh Trukajaya tidak lepas dari sejarah bangsa Indonesia secara
umum. Kekuasaan yang bernuansa otoriter sangat mempengaruhi terbentuknya
karakter komunitas ini. Cerita dari desa Rambat yang saya tulis di jawaban
individu saya, adalah salah satu contoh pengaruh sejarah kekuasaan yang
membentuk karakter masyarakat dengan hadirnya proyek bendungan Kedungombo yang
kebetulan berlokasi di desa Rambat.
Dari
aspek lingkungan, 2 dekade yang lalu tanah Jawa terkenal subur dan produktif
untuk pertanian. Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan pangan dan
tempat tinggal juga meningkat. Untuk memenuhinya, petani memaksa tanah
pertaniannya agar produktivitasnya meningkat dari tahun ke tahun dengan
penggunaan benih unggul hasil rekayasa genetika. Pupuk kimia diberikan secara
berlebihan. Untuk mengatasi hama dan penyakit tanaman, petani menggunakan
pestisida kimia secara berlebihan pula, sementara luasnya secara pasti
berkurang. Kampanye penggunaan pupuk dan pestisida kimia dilakukan gencar oleh
perusahaan-perusahaan pupuk, benih dan pestisida kimia. Petani mulai tergantung
pada input-input kimia tersebut dan lupa bahwa tanahnya sudah menderita
menanggung segala racun yang diberikan.
Keadaan
itu menyebabkan tanah bukan meningkat produktivitasnya tetapi malah rusak,
kesuburannya menurun dan petani kecil di perdesaan tidak memiliki tanah yang
cukup untuk melakukan usaha produktif pertanian. Petani di Jawa Tengah
tergolong dalam petani berlahan sempit, dengan luas lahan garapan kurang dari
5000 m2 dan itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Berbagai
himpitan dan desakan kebutuhan ekonomi sering mendorong petani untuk pergi
meninggalkan desanya dan meninggalkan aktivitas pertanian mereka untuk mencari
penhidupan di kota. Nampaknya fenomena itu terjadi di mana-mana di wilayah
Indonesia.
Desa
semakin ditinggalkan dan tidak menarik bagi masyarakat desa itu sendiri.
Padahal desa merupakan tempat produksi pangan untuk memberi makan semua orang.
Hal itu diperparah dengan kurang berpihaknya pemerintah terhadap pembangunan
desa.
Eunike Widhi Wardhai
Eunike Widhi Wardhai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar