Syahdan di suatu negeri di Somethingnesia di tahun 1600 M,
yang rakyat dan para pemimpinnya sedang dilanda berbagai penyakit baik fisik,
social dan moral; ditemukanlah buah mengkudu. Seorang tabib dari negeri jauh
memberitahu Sang Kepala suku di kampung itu tentang betapa hebat dan manjurnya
khasiat buah noni untuk menyembuhkan berbagai penyakit di kampung mereka. Ada
yang percaya ada yang tidak. Yang jelas, kala itu buah mengkudu masih langka,
sehingga tidak gampang untuk mendapatkannya. Siapa yang mendapatkannya, maka akan
menguasai ilmu pengobatan menggunakan pace itu dan sekaligus menjadi kunci
untuk mempelajari ilmu yang lain.
Dengan memahami hal itu, Sang Kepala Suku tentu saja
mengutamakan memberi kesempatan sekaligus mandat penting ini kepada orang-orang terdekatnya. Orang-orang yang
dianggap setia kepada kepala suku (bukan setia kepada sukunya) ditawari untuk
pergi mencari buah pace itu ke negeri jauh. Satu orang menolak, orang
berikutnya menolak, berikutnya lagi dan berikutnya lagi pun sama. Semua enggan
menerima kesempatan itu dengan alasan : buat apa bepergian jauh dan lama,
meninggalkan keluarga hanya demi pace, si buah yang buruk rupa dan sangat tidak
enak, tidak cantik buah yang lain, baunya pun tak sedap.
Sang Kepala sangat memahami dan tidak kecewa dengan
penolakan orang-orang terdekatnya karena memang itu adalah mandat yang sangat
berat dan tidak sembarang orang mampu mengembannya. Sang kepala suku mulai
pusing kepala. Bagaimana menyelamatkan kampungnya dari berbagai penyakit yang
melanda.
Kemudian lewatlah seorang perempuan, rakyat biasa, lugu, miskin
dan tidak penting sama sekali. Perempuan itu biasa disuruh mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan kasar dan tidak penting serta Kepala suku yang putus asa,
berpikir: siapa tau tawaran itu bisa saya lempar kepada perempuan miskin yang
jelek ini, dan siapa tau dia ini bisa saya suruh mengemban tugas ini, walaupun
hati kecil.
Kepala Suku berkata “ini sebenarnya aku kurang rela, hanya
karena orang-orang terdekatku sudah angkat tangan, terpaksalah kusuruh
perempuan tidak penting ini untuk pergi”.
Di luar dugaan, perempuan tidak penting itu langsung
menerima tawaran itu dengan senang hati dan bersemangat untuk mendedikasikan
itu untuk kampungnya. Kebetulan si perempuan jelek itu selalu antusias dengan
hal-hal baru apalagi ini mandat dari sang kepala suku, maka keseriusannya tidak
perlu dia pertanyakan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar