Bendol Ulang Tahun…
(Kampanye pangan lokal bersama Langen Ciptaning Rukun Desa
Lembu)
Bendol : “Mbok…dino iki aku ulang taun lho mbok, aku njaluk ditukokke panganan
kanggo ulang taunku”/ (Mbok, hari ini ulang tahunku lho Mbok, aku minta
dibelikan makanan untuk ulang tahunku)
Mbok Sugi : “Lha kowe kepengin panganan opo Le?”/ (Lha kamu ingin dibelikan makanan
apa Nak)
Bendol : “Aku pengen ditukokke roti, hamburger, pitsa, pokoke panganan enak-enak
kae lho mbok…tukokno yo, nggo ulang taunku”/ (Aku ingin dibelikan roti,
hamburger, pizza, pokoknya makanan enak-enak itu lho mbok…belikan ya, untuk
ulang tahunku)
Mbah Sugi : “O, mangkono penjalukmu Le? Nek ngono simbok menyang pasar arep tuku
panganan kuwi yo Le”/ (O, begitu permintaanmu Nak? Kalau begitu Simbok
berangkat ke pasar, akan membeli makanan itu ya Nak)
Mbok Sugi
berangkat ke pasar, tetapi di perjalanan dia terkenang masa kecilnya. Orang
tuanya memberikan makanan umbi-umbian
kepadanya. Ingatan itu mendorong, Mbok Sugi untuk membuat makanan berbahan
umbi-umbian yang tumbuh di pekarangan. Mbok Sugi mengurungkan niatnya pergi ke
pasar, dia berbalik pulang dan langsung menuju kebun belakang rumahnya untuk
mengambil uwi, gembili, ketela dan ganyong. Mbok Sugi tidak jadi membeli roti, hamburger dan pitsa, tetapi justru memutuskan memasak makanan dari umbi-umbi
tanamannya itu untuk disajikan pada ulang tahun si Bendol, anaknya.
Dagelan ini
semakin seru dan lucu tetapi yang mengagumkan adalah tetap mengandung makna
yang mendalam. Awalnya Bendol marah ketika mengetahui simboknya tidak memenuhi
permintaannya untuk membeli roti, pitsa dan hamburger melainkan nyelok (mencari
umbi-umbian di pekarangan). Mbok Sugi membujuk Bendol untuk menerima makanan
dari pekarangannya itu, karena berdasarkan pengalaman dirinya sejak kecil
hingga tua ini, Mbok Sugi sehat dan tidak kekurangan pangan karena di
pekarangan rumah selalu tersedia umbi-umbian dan bahan pangan lainnya. Tetapi Bendol
tetap menganggap makanan dari uwi, gembili, ganyong dan singkong itu tidak
enak, tidak keren dan memalukan kalau
disajikan di pesta ulang tahunnya. Karena takut nantinya malu, Bendol memaksa
Mbok Sugi membeli roti di Warung Mbok Surti tetangga mereka. Tak kurang akal,
Mbok Sugi membayar roti yang dibelinya itu dengan uwi, gembili, ketela dan
ganyong yang diambil dari pekarangannya tadi. Tentu saja Mbok Surti marah dan
menolak pembayaran secara barter itu. “Mbok Sugi,
aku kulakan nganggo duwit. Aku ora iso nampa nek dibayar nganggo barang
elek-elek koyo ngono, wong daganganku iki roti lan donat, sing apik-apik ngene
kok mung diijoli uwi, gembili, telo, ganyong, yo ora level to Mbok Sugi”/ Mbok,
saya kulakan pakai uang, saya tidak bisa menerima kalau dibayar barang
jelek-jelek seperti itu, wong dagangan saya roti dan donat yang bagus-bagus
begini kok cuma ditukar uwi, gembili, ketela dan ganyong, tidak level Mbok Sugi”.
Di tengah perdebatan sengit itu, muncullah Pak Bekel yang kemudian menengahi dan mendamaikan semua pihak dan
menjelaskan bahwa potensi pangan lokal desa harus dikembangkan, tidak perlu
tergantung pada pangan impor. Muatan inti kampanye ini disampaikan oleh Pak
Bekel di akhir cerita.
Itulah
sepenggal dari seluruh cerita Kethoprak Humor Kelompok Kesenian Langen Ciptaning Rukun (LCR) Desa Lembu Kec. Bancak
Kab. Semarang yang bertajuk “Sepele Mrantasi
Gawe” pada pembukaan workshop kerja sama pemerintah-Desa Lembu-Trukajaya-FISKOM
UKSW 4 April 2013 . Cerita selengkapnya dapat anda saksikan di www.facebook.com/eunike.
Tema
kampanye yang dibawakan adalah menghargai kembali potensi pangan lokal di
tengah penjajahan pangan impor.
Suatu tema
berbobot yang dibawakan dengan gaya sederhana namun cerdas dan mengena. Itulah penampilan
kelompok kesenian dari desa Lembu Kec. Bancak Kab. Semarang ini. Sugiyanto yang
berperan sebagai Mbok Sugi sekaligus pengatur scenario cerita, mengaku bahwa untuk
penampilan itu mereka tanpa persiapan naskah (script) ataupun latihan. “Walah,
boten latihan mbak, wong nembe wau ndalu dikandani, terus ngumpul, rembugan isi
critane, terus mbagi peran, paling nyepakke sandhangan kaliyan pupur-benges
thok, niku mpun dho duwe, mpun ngoten thok, isuke langsung tampil. Mpun biasa
main kethoprak, srandul lan campur sari kok Mbak”/ “Walah, tidak latihan
mbak, wong baru semalam diberitahu, lalu berkumpul, membahas isi ceritanya,
lalu pembagian peran, paling-paling menyiapkan kostum dan bedak-lipstik, itu
kami sudah punya, sudah itu saja, paginya langsung tampil. Sudah biasa main
kethoprak, srandul dan campur sari kok Mbak “.
Demikian penuturan Sugiyanto ketika diminta oleh pendamping Desa Lembu
untuk menjelaskan tentang persiapan sebelum penampilan mereka. Di luar tema
kampanye, profil Sugiyanto sendiri cukup menarik untuk ditulis (mungkin dapat
dimuat pada terbitan yang akan datang sesuai temanya). Laki-laki aktivis seni,
asli dari Desa Lembu ini sering memerankan sebagai perempuan, seperti Tessy
Srimulat dan selalu menjadi tokoh sentral yang menghidupkan cerita.
Trukajaya bekerja
sama dengan masyarakat desa Lembu mengusung program ketahanan pangan. Pembelajaran
yang dapat diambil dari kampanye itu adalah bagaimana kita menempatkan pangan
lokal pada tempat terhormat, penting dan harus dikonsumsi oleh orang Indonesia.
Uwi, gembili, kimpul, suweg, ganyong adalah umbi-umbian sumber karbohidrat di
desa-desa yang mulai dilupakan, bahkan dibuang karena dianggap tidak layak
dimakan, tidak enak dan tidak keren.
Sebaliknya berpuluh-puluh tahun yang telah lewat kita lebih suka mengkonsumsi
makanan berbahan gandum impor. Memang gandum mulai banyak dicoba dibudidayakan
namun budidaya gandum di tanah Indoneasia ini masih jadi satu persoalan di
tingkat penelitian. Sementara beras yang menjadi makanan pokok sumber
karbohidrat orang Indonesia sekarang ini tidak mampu dicukupi di dalam negeri
sendiri, harus impor juga. Program-program pemerintah untuk mengatasi persoalan
pangan belum menyentuh akar masalah
tetapi justru bersifat karitatif semu seperti program raskin yang mau tidak mau
harus diterima oleh petani tanpa pilihan lain, padahal beras dari program
RASKIN itu, nasinya sangat tidak layak dimakan.
Dalam
tataran mikro, kampanye itu mengajak kita kembali menghormati pangan-pangan
lokal yang ada di desa, karena pangan lokal itu menjadi sendi ketahanan pangan
kita, orang Indonesia. Bukan menggantungkan kebutuhan pangan pada gandum atau
beras yang dibeli dari negeri orang.
Dalam
tataran makro, kampanye ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan
masyarakat lokal tentang keanekaragaman pangan dan mekanisme produksi, mengembangkan
konsumsi makanan bergizi berbasis lokal dan distribusinya di masyarakat, dan
menerapkan pertanian organic sebagai alat untuk mewujudkan kemandirian pangan.
Penampilan
Kethoprak Humor LCR ini merupakan salah satu strategi program ketahanan pangan.
Kelompok seni LCR ini salah satu asset penting di Desa Lembu yang menghadapi
tantangan ke depan. Mereka terdiri dari seniman-seniman Desa Lembu yang tumbuh
berkesenian dan mencintai dunia seni peran sejak masa mudanya. Di tengah
maraknya media elektronik dan media modern lainnya yang lebih banyak digunakan
orang untuk mengkampanyekan suatu gerakan, kelompok LCR masih yakin menatap
masa depan keseniannya di tengah kesibukan mereka sehari-hari bertani,
berdagang, menjadi pamong desa dan ibu rumah tangga.
Berikut ini
secara singkat profil 4 tokoh kampanye: Adalah Bendol, diperankan oleh Kastin
(seorang anggota BPD Lembu, tinggal di dusun Lembu). Mbok Sugi, ibunya Si Bendol
dimainkan oleh Sugiyanto (seorang pekerja seni desa Lembu, tinggal di dusun
Krempel dan memiliki usaha warungan di depan rumahnya). Sriyatun, ibu dari 4 orang
anak dan berprofesi sebagai ibu rumah tangga, tinggal di dusun Kendel, berperan
sebagai Mbok Surt
i, seorang pedagang warung yang menjual produk-produk impor.
Karjono, Kadus Kendel berperan sebagai Pak Bekel yang menengahi perdebatan
warganya tentang pangan lokal versus pangan impor dan menjadi penyimpul
penampilan berdurasi 20 menit itu dengan ajakan kepada masyarakat untuk
menghargai potensi pangan kita sendiri, mulai dari keluarga dan lingkungan
sekitar dan jangan menganggap remeh (apalagi gengsi) dengan potensi pangan
lokal yang sudah kita miliki, justru kita wajib melestarikan dan
mengembangkannya sebagai kebanggaan Indonesia.
Maju
terus pangan lokal Indonesia
Eunike Widhi wardhani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar